Menyusun kontrak yang kuat secara hukum adalah langkah krusial dalam memastikan kesepakatan antara para pihak berjalan lancar tanpa risiko gugatan di kemudian hari. Kontrak bukan sekadar dokumen administratif, tetapi merupakan alat hukum yang mengikat dan melindungi hak serta kewajiban semua pihak. Dalam konteks pengadaan barang/jasa, bisnis, maupun hubungan kerja, kontrak yang lemah atau ambigu bisa menjadi celah bagi sengketa hukum yang mahal dan memakan waktu. Berikut adalah panduan lengkap dan mendalam mengenai cara menyusun kontrak agar tidak gampang digugat.
1. Pahami Tujuan dan Ruang Lingkup Kontrak
Langkah pertama dan paling fundamental dalam menyusun kontrak yang kokoh secara hukum adalah memahami dan merumuskan dengan tepat tujuan dari kontrak tersebut serta menetapkan ruang lingkup kerja yang akan dilaksanakan. Kontrak bukan sekadar dokumen formalitas, melainkan kesepakatan tertulis yang menggambarkan kehendak para pihak, serta menjadi landasan pelaksanaan hubungan hukum antara mereka.
Oleh karena itu, bagian awal kontrak harus mencantumkan tujuan kontrak secara eksplisit dan rinci. Apakah kontrak ini untuk pekerjaan konstruksi, pengadaan barang, penyediaan jasa konsultansi, kerja sama operasional, atau bentuk perjanjian lain? Tujuan ini bisa dituliskan dalam bagian “konsideran” atau pembukaan, disertai narasi singkat mengenai latar belakang mengapa kontrak dibuat. Narasi ini tidak hanya memberikan konteks bagi pembaca, tetapi juga memperkuat posisi kontrak apabila kelak terjadi interpretasi berbeda di kemudian hari.
Sementara itu, ruang lingkup kontrak harus dirumuskan secara terukur, terbatas, dan jelas. Apa yang termasuk dalam ruang lingkup kerja dan apa yang tidak termasuk, harus dijelaskan tanpa keraguan. Misalnya, jika kontrak pengadaan mencakup pengiriman barang hingga gudang tujuan, maka harus ditulis jelas siapa yang menanggung ongkos kirim, siapa yang melakukan bongkar muat, dan bagaimana kondisi serah terima dilakukan.
Kesalahan umum yang sering ditemui adalah penggunaan istilah multitafsir atau terlalu umum seperti “barang dikirim dalam kondisi baik” tanpa mendefinisikan apa yang dimaksud “baik”. Di sinilah potensi gugatan bisa muncul karena pihak lain bisa menginterpretasikan secara berbeda. Solusi praktisnya, gunakan lampiran terpisah seperti bill of quantity, gambar teknis, atau daftar spesifikasi untuk memperkuat ruang lingkup pekerjaan, dan pastikan dokumen tersebut disebutkan secara eksplisit sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kontrak.
2. Cantumkan Identitas Para Pihak secara Lengkap dan Sah
Salah satu penyebab kontrak dinyatakan batal atau cacat secara hukum adalah ketidaktepatan dalam mencantumkan identitas para pihak yang menandatangani kontrak. Oleh karena itu, bagian ini tidak boleh disepelekan.
Jika pihak dalam kontrak adalah badan hukum (perusahaan, koperasi, yayasan), maka yang harus dituliskan antara lain: nama badan hukum, nomor dan tanggal akta pendirian, surat keputusan pengesahan dari Kemenkumham, alamat terdaftar, serta nama pejabat yang berwenang menandatangani kontrak (biasanya direktur atau yang diberi kuasa dengan akta notariil).
Apabila yang menjadi pihak adalah perorangan, maka identitas yang harus dicantumkan meliputi nama lengkap sesuai KTP, nomor induk kependudukan (NIK), alamat lengkap, dan kapasitasnya dalam kontrak (misalnya sebagai penyewa, penjual, konsultan, dll).
Penting dicatat, jika penandatangan adalah kuasa dari perusahaan, maka surat kuasa tertulis dan sah harus dilampirkan. Banyak kasus hukum berawal dari klaim bahwa penandatangan tidak berwenang, sehingga kontrak dianggap tidak sah dan bisa dibatalkan di pengadilan.
Untuk mencegah hal tersebut, sebaiknya lakukan verifikasi legalitas sebelum kontrak ditandatangani, misalnya dengan meminta salinan akta terbaru, mengecek keaslian NIB atau NPWP, dan mencocokkan dokumen identitas pribadi. Langkah ini terlihat administratif, tetapi sangat vital dalam menjamin validitas kontrak.
3. Struktur dan Format Kontrak yang Sistematis
Penyusunan kontrak yang baik bukan hanya soal isi, tetapi juga soal format dan struktur. Kontrak yang sistematis akan memudahkan pembacaan, referensi silang antar klausul, dan mengurangi potensi salah tafsir karena kerancuan redaksional.
Struktur kontrak idealnya terdiri dari bagian-bagian berikut:
- Judul Kontrak – singkat, deskriptif, dan mencerminkan isi perjanjian.
- Konsideran – menjelaskan latar belakang, niat, dan dasar hukum pembuatan kontrak.
- Definisi Istilah – bagian penting yang sering diabaikan. Semua istilah teknis atau kata kunci seperti “pekerjaan”, “pihak pertama”, “pihak kedua”, “serah terima”, “penghentian” harus didefinisikan agar tidak multitafsir.
- Objek Kontrak – menjelaskan apa yang menjadi pokok perjanjian, misalnya pembangunan jalan sepanjang 1 km, penyediaan 50 unit komputer, pelatihan 100 peserta, dll.
- Hak dan Kewajiban Para Pihak – masing-masing pihak harus mengetahui secara jelas peran dan tanggung jawabnya.
- Jangka Waktu Kontrak – tanggal mulai, durasi pekerjaan, dan kapan kontrak berakhir. Termasuk juga toleransi keterlambatan atau kondisi force majeure.
- Ketentuan Pembayaran – menjelaskan nilai kontrak, termin pembayaran, persyaratan pencairan dana, hingga potongan atau pajak.
- Sanksi dan Pemutusan Kontrak – menjelaskan konsekuensi jika salah satu pihak melanggar, serta syarat penghentian hubungan kerja.
- Mekanisme Penyelesaian Sengketa – termasuk forum penyelesaian (misalnya pengadilan negeri atau arbitrase), hukum yang berlaku, dan langkah mediasi.
- Penutup dan Tanda Tangan – bagian akhir yang menunjukkan bahwa kedua belah pihak telah membaca, memahami, dan menyetujui isi kontrak.
Gunakan penomoran berjenjang (misalnya 3.1, 3.2, dst.) agar referensi antar bagian menjadi mudah. Hindari paragraf panjang tanpa jeda atau pengulangan kalimat yang membuat kontrak tampak tidak profesional.
Kontrak juga sebaiknya diketik dengan huruf yang mudah dibaca (misalnya Arial 11 atau Times New Roman 12), memiliki margin standar, dan dicetak serta dijilid secara resmi, terutama untuk nilai kontrak besar.
4. Jelaskan Hak dan Kewajiban secara Simetris dan Terukur
Salah satu ciri kontrak yang baik dan tahan gugatan adalah kontrak yang adil dan seimbang (fair and balanced). Dalam praktiknya, ini tercermin dalam rumusan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Jika penyedia barang/jasa diwajibkan menyelesaikan pekerjaan dalam 90 hari, maka pengguna jasa harus menjamin pembayaran termin tepat waktu sesuai progres. Jika kontraktor bertanggung jawab atas kualitas material, maka pemilik pekerjaan harus menyelesaikan proses persetujuan gambar kerja dalam jangka waktu yang disepakati.
Setiap kewajiban harus dirumuskan secara terukur. Hindari frasa seperti “secepatnya”, “sesuai kesepakatan”, “dalam waktu wajar” yang multitafsir. Gunakan satuan waktu atau angka: misalnya “10 hari kerja sejak surat perintah dimulai” atau “maksimal 3 kali revisi”. Dengan begitu, apabila timbul sengketa, akan mudah dibuktikan siapa yang telah melaksanakan kewajibannya dan siapa yang lalai.
Hak para pihak juga harus diperlakukan setara. Jika satu pihak dikenai denda keterlambatan 1‰ per hari, maka pihak lain yang telat membayar juga sebaiknya dikenai denda serupa. Kontrak yang hanya memuat sanksi berat bagi satu pihak tetapi tidak memberikan konsekuensi bagi pelanggaran pihak lain akan dianggap tidak adil dan bisa dibatalkan sebagian.
Lebih lanjut, cantumkan prosedur pelaporan dan bukti pelaksanaan kewajiban, misalnya “pelaksanaan dianggap selesai setelah berita acara serah terima ditandatangani”, atau “pembayaran dilakukan setelah faktur disetujui oleh pejabat pembuat komitmen”.
Dengan perumusan hak dan kewajiban yang proporsional, lengkap, dan operasional, kontrak akan lebih tahan uji jika terjadi audit, sengketa, atau klaim hukum lainnya.
5. Masukkan Klausul Penyelesaian Sengketa Secara Jelas
Salah satu bagian yang paling krusial namun kerap diremehkan dalam penyusunan kontrak adalah klausul penyelesaian sengketa. Padahal, bagian inilah yang menjadi “penyelamat terakhir” saat terjadi perselisihan antara para pihak yang tidak dapat diselesaikan secara informal. Oleh karena itu, klausul ini harus dirumuskan dengan bahasa hukum yang tegas, eksplisit, dan mencerminkan kesepakatan yang benar-benar dipahami oleh kedua belah pihak.
Secara umum, penyelesaian sengketa dalam kontrak dibagi menjadi dua jalur utama:
A. Litigasi
Litigasi adalah penyelesaian melalui jalur pengadilan. Jika memilih jalur ini, maka kontrak harus menyebutkan kompetensi relatif, yakni pengadilan mana yang berwenang menangani perkara tersebut. Contoh rumusan: “Apabila terjadi sengketa, para pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Penetapan lokasi ini penting karena bisa mencegah forum shopping (pemilihan pengadilan demi keuntungan sepihak) dan mempercepat proses hukum jika sengketa timbul.
Namun, perlu dicatat bahwa litigasi dapat menjadi mahal, lama, dan terbuka untuk umum-yang mungkin tidak diinginkan oleh para pihak, terutama dalam urusan komersial yang menyangkut reputasi.
B. Non-Litigasi
Non-litigasi mencakup penyelesaian sengketa melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase. Jika para pihak lebih memilih jalur ini, maka kontrak harus menyebutkan secara tegas metode mana yang digunakan, dan jika arbitrase, lembaga mana yang akan memfasilitasi (misalnya BANI – Badan Arbitrase Nasional Indonesia, SIAC di Singapura, atau ICC di Paris).
Contoh rumusan yang baik: “Setiap sengketa yang timbul dari pelaksanaan perjanjian ini akan diselesaikan terlebih dahulu secara musyawarah. Jika dalam waktu 30 hari musyawarah tidak membuahkan hasil, para pihak sepakat menyelesaikan melalui Arbitrase BANI sesuai peraturan yang berlaku.”
Klausul seperti “akan diselesaikan secara musyawarah terlebih dahulu” saja, tanpa tindak lanjut jika musyawarah gagal, dapat dianggap tidak memberikan kepastian hukum. Pengadilan bisa mengesampingkan klausul ini karena tidak mengikat secara operasional. Oleh karena itu, penting memastikan bahwa jalur penyelesaian sengketa tertulis secara lengkap, terukur waktunya, dan logis dalam pelaksanaannya.
6. Hindari Klausul yang Melanggar Hukum atau Ketentuan Publik
Tidak semua isi kontrak dapat dianggap sah secara hukum, sekalipun disetujui oleh kedua belah pihak. Kontrak tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, dan ketertiban umum. Jika terdapat klausul yang bertentangan, maka klausul tersebut dapat dibatalkan, bahkan kontrak secara keseluruhan bisa dianggap tidak sah oleh pengadilan.
Contoh klausul yang melanggar hukum adalah:
- “Pihak Kedua tidak berhak mengundurkan diri dari pekerjaan ini selama 10 tahun.” Klausul ini melanggar hak asasi manusia dalam hal kebebasan bekerja, dan dapat dianggap sebagai bentuk perbudakan terselubung.
- “Pihak Pertama tidak dapat digugat atas keterlambatan pembayaran.” Ini bertentangan dengan prinsip keadilan kontraktual, karena memberikan impunitas kepada satu pihak tanpa tanggung jawab.
- “Pihak Kedua melepaskan haknya untuk menuntut.” Klausul semacam ini dapat dianggap sebagai bentuk pengalihan tanggung jawab secara sepihak yang tidak sah menurut hukum kontrak maupun prinsip perlindungan konsumen.
Sesuai Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian yang isinya bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan adalah batal demi hukum. Jadi, sekalipun para pihak menandatangani dan menyepakati, jika isi bertentangan dengan norma hukum dan ketertiban umum, maka kontrak tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat secara yuridis.
Solusinya, pastikan bahwa semua klausul telah disesuaikan dengan regulasi sektoral, peraturan turunan, dan kebijakan instansi yang berlaku, terutama jika kontrak menyangkut ranah publik, keuangan negara, atau hubungan kerja.
7. Lakukan Review Hukum (Legal Review)
Kontrak yang kuat dan tahan gugat adalah hasil dari kombinasi antara kekuatan substansi teknis dan ketepatan aspek hukum. Oleh sebab itu, sebelum kontrak ditandatangani, legal review atau peninjauan hukum harus dilakukan secara menyeluruh, baik oleh tim hukum internal, konsultan hukum independen, maupun pengacara profesional.
Legal review bertujuan untuk:
- Mengidentifikasi potensi pasal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
- Menemukan redaksi yang multitafsir, yang bisa membuka celah sengketa.
- Memastikan keselarasan kontrak dengan perjanjian pokok, kontrak induk, atau kontrak sebelumnya.
- Menyesuaikan klausul dengan praktik hukum dan putusan pengadilan terkini.
Dalam proses review ini, biasanya disusun dokumen yang disebut legal opinion atau pendapat hukum, yang memuat catatan, rekomendasi, atau koreksi atas kontrak. Dokumen ini menjadi bukti bahwa proses penyusunan kontrak dilakukan secara hati-hati dan berbasis hukum.
Untuk instansi pemerintah, legal review bisa dilakukan oleh Bagian Hukum Setda, Biro Hukum, atau unit kerja hukum instansi, sesuai kewenangan. Sedangkan dalam sektor swasta, biasanya tim legal in-house atau notaris yang melakukan pengecekan sebelum proses penandatanganan.
Melalui proses review ini pula, aspek-aspek yang mungkin tidak terpikirkan secara teknis, seperti klausul arbitrase lintas negara, implikasi perpajakan, hingga potensi konflik yurisdiksi, bisa terdeteksi lebih dini.
8. Dokumentasi dan Distribusi Kontrak
Setelah kontrak disepakati dan ditandatangani, pekerjaan belum selesai. Tahap berikutnya yang sangat penting adalah mengelola dokumentasi kontrak secara sistematis dan aman. Banyak sengketa muncul bukan karena substansi kontrak yang salah, tetapi karena versi kontrak berbeda, tidak ada salinan sah, atau dokumen hilang saat dibutuhkan.
Berikut langkah yang harus dilakukan:
A. Penataan Arsip Fisik dan Digital
Setiap pihak yang menandatangani kontrak harus menerima salinan asli, lengkap dengan stempel, paraf tiap halaman, dan tanda tangan basah. Dokumen fisik sebaiknya dijilid atau dibendel agar tidak mudah rusak. Simpan dalam lemari arsip tahan api dan lembap.
Sementara itu, dokumentasi digital dalam format PDF/A harus disimpan dalam sistem pengarsipan elektronik yang memiliki backup berkala, hak akses terbatas, dan fitur pencarian cepat. Simpan juga email atau bukti korespondensi selama proses kontrak berlangsung.
B. Notarisasi dan Pendaftaran
Untuk kontrak bernilai besar atau menyangkut aset tetap (misalnya properti, kendaraan, proyek konstruksi), sebaiknya dilakukan notarisasi atau pendaftaran ke instansi terkait. Contohnya, kontrak jual beli tanah bisa didaftarkan ke BPN. Notarisasi tidak wajib secara umum, tapi akan menambah kekuatan pembuktian di pengadilan jika sengketa muncul.
C. Distribusi Formal
Distribusi kontrak ke semua pihak harus dilakukan secara resmi. Cantumkan daftar distribusi dan buat berita acara penyerahan dokumen jika perlu. Pastikan semua pihak memahami bahwa versi yang berlaku adalah versi terakhir yang telah ditandatangani kedua belah pihak, lengkap dengan semua lampiran dan adendum jika ada.
9. Perbarui dan Evaluasi Kontrak Secara Berkala
Untuk kontrak jangka panjang, evaluasi dan pembaruan adalah hal yang mutlak diperlukan. Dunia berubah cepat-regulasi baru diterbitkan, nilai tukar berubah, harga bahan baku naik, atau muncul teknologi baru yang lebih efisien. Jika kontrak tidak fleksibel terhadap perubahan tersebut, maka pelaksanaan kerja bisa terganggu dan merugikan salah satu pihak.
Evaluasi kontrak bisa dijadwalkan setiap:
- 6 bulan untuk proyek pembangunan
- Setiap tahun untuk kontrak layanan atau kerja sama bisnis
- Setiap selesai termin besar
Evaluasi ini bertujuan untuk:
- Menyesuaikan kontrak dengan perkembangan hukum dan regulasi
- Mengakomodasi perubahan nilai pekerjaan, baik naik maupun turun
- Memperbaiki klausul yang terbukti multitafsir atau problematik
- Menghindari konflik kontrak baru dengan kontrak yang sudah berjalan
Jika ada bagian yang perlu diubah, maka disusun dokumen adendum kontrak, yang ditandatangani oleh para pihak, dan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kontrak awal. Adendum harus menyebutkan bagian yang diubah, dihapus, atau ditambahkan, dan tidak boleh merombak substansi kontrak secara keseluruhan (karena akan dianggap sebagai kontrak baru).
Dengan evaluasi berkala ini, kontrak akan selalu relevan, dan risiko gugatan akibat ketidaksesuaian dapat diminimalkan.
Penutup
Menyusun kontrak agar tidak gampang digugat bukan sekadar urusan redaksional atau administrasi. Ini adalah soal komitmen profesional, pemahaman hukum, ketelitian logis, dan kehati-hatian moral. Kontrak yang disusun dengan benar akan menjadi dasar yang kuat dalam pelaksanaan kerja sama, melindungi semua pihak dari risiko, serta menciptakan suasana bisnis atau proyek yang sehat dan saling menghormati.
Dengan mengikuti prinsip-prinsip yang telah dijelaskan-mulai dari memahami ruang lingkup, menyusun klausul penyelesaian sengketa, melakukan review hukum, hingga menyimpan dan memperbarui dokumen kontrak-maka potensi gugatan dapat ditekan seminimal mungkin. Lebih dari itu, Anda juga akan membangun kepercayaan dan kredibilitas yang menjadi modal utama dalam setiap kemitraan profesional.