Pendahuluan
Tender – mekanisme formal untuk membeli barang/jasa melalui kompetisi – dirancang untuk menjamin transparansi, persaingan sehat, dan penggunaan anggaran yang efisien. Namun di banyak praktik, tender seringkali berubah menjadi arena “titipan”: proyek atau kontrak yang ternyata sudah dialokasikan kepada pihak tertentu sebelum proses resmi dimulai. Fenomena ini merusak tujuan dasar pengadaan publik, menimbulkan pemborosan anggaran, menurunkan kualitas hasil, dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik.
Pertanyaan mendasar adalah: mengapa, meski regulasi semakin ketat dan teknologi e-procurement semakin luas, praktik titipan masih bertahan? Jawabannya tidak tunggal. Ini hasil interaksi kompleks antara kelemahan desain proses, kepentingan manusia (konflik kepentingan, kolusi, suap), celah administratif, tekanan politik, dan kapasitas pengawasan yang terbatas. Selain itu, insentif ekonomi yang tidak tepat – apabila keuntungan pribadi jauh melebihi risiko sanksi – membuat perilaku curang terlampau “menguntungkan”.
Artikel ini akan membedah fenomena tender sebagai ajang titipan secara menyeluruh dan terstruktur. Setiap bagian menjelaskan satu lapis masalah – mulai dari titik rawan prosedural, faktor manusia, peran politik, sampai teknis manipulasi dokumen – serta langkah mitigasi praktis yang bisa diterapkan. Tujuannya bukan sekadar mengidentifikasi permasalahan, tetapi memberi peta tindakan untuk pembuat kebijakan, pengelola pengadaan, auditor, dan publik agar tender kembali berfungsi sebagai alat akuntabilitas dan nilai uang publik. Bacaan ini ditulis agar mudah diikuti dan bisa langsung dipakai sebagai bahan diskusi reformasi pengadaan.
1. Memahami “Titipan”: Bentuk, Mekanisme, dan Dampaknya
Sebelum menganalisis penyebab, penting mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “titipan” dalam konteks tender. Titipan bukan selalu berarti korupsi eksplisit; ia mencakup berbagai modus di mana hasil tender tidak tercapai melalui kompetisi terbuka dan objektif. Bentuk umum meliputi: tender “diatur” (pre-determined winner), spesifikasi yang tailor-made untuk vendor tertentu, penilaian teknis yang berat sebelah, diskualifikasi administratif terhadap pesaing kuat, negosiasi tertutup pasca-evaluation, serta alokasi subkontrak ke pihak afiliasi pemenang.
Mekanisme titipan sering kali melibatkan kombinasi tindakan: dokumen tender yang sengaja disusun untuk menguntungkan pihak tertentu (mis. spesifikasi sangat teknis yang hanya dapat dipenuhi satu penyedia), kebocoran informasi sensitif selama proses klarifikasi (memberi waktu bagi calon favorit menyesuaikan tawaran), serta manipulasi tim evaluasi (pemilihan evaluator yang bias, pengaruh melalui hadiah, atau ancaman).
Dampaknya multifaset. Secara ekonomi, titipan mengakibatkan value for money hilang – pembeli mungkin membayar lebih untuk kualitas yang sama atau lebih rendah. Dari sisi teknis, produk atau jasa yang tidak kompetitif seringkali berkualitas buruk, sehingga biaya pemeliharaan dan perbaikan meningkat. Secara institusional, praktik ini merusak reputasi organisasi, menurunkan moral pegawai yang jujur, dan menciptakan efek chilling bagi vendor sehat yang enggan ikut tender akibat persepsi ketidakadilan. Pada tataran sosial, publik kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi-yang berpotensi menurunkan kepatuhan pada kebijakan publik.
Penting juga dicatat bahwa titipan bisa bersifat sistemik: ketika mekanisme ini sudah terbentuk, ia menciptakan jaringan kepentingan (vendor, pejabat, konsultan) yang bekerja untuk menjaga status quo. Memecah jaringan tersebut memerlukan intervensi kuat-bukan hanya aturan tambahan, tetapi penegakan hukum yang konsisten, transparansi yang bermakna, dan perubahan insentif.
2. Titik Rawan Prosedural yang Membuka Ruang Titipan
Siklus tender terdiri dari sejumlah fase – perencanaan kebutuhan, penyusunan dokumen tender, publikasi dan masa klarifikasi, pemasukan penawaran, evaluasi teknis dan komersial, awarding, hingga manajemen kontrak. Pada setiap fase terdapat titik rawan yang sering dieksploitasi untuk tujuan titipan.
- Perencanaan & Spesifikasi: Menentukan kebutuhan adalah fase paling sensitif karena spesifikasi teknik dan kualifikasi menentukan siapa yang bisa masuk. Spesifikasi yang terlalu kacau memberi celah interpretasi; spesifikasi yang “terlalu spesifik” (tailor-made) mendiskualifikasi banyak vendor selain yang diinginkan. Jika unit perencanaan tidak melibatkan ahli independen, tugas ini mudah disalahgunakan.
- Dokumen Tender & Kriteria Evaluasi: Kriteria yang ambigu atau bobot yang tidak jelas membuka peluang subjektivitas. Perubahan bobot setelah menerima penawaran-atau penyusunan skema scoring yang rumit-dapat dimanipulasi untuk memutar preferensi pemenang.
- Masa Klarifikasi: Proses tanya-jawab harus dipublikasikan untuk semua peserta. Bila klarifikasi dilakukan secara privat, vendor tertentu memperoleh keuntungan informasi, memungkinkan mereka menyesuaikan penawaran lebih cepat.
- Pemasukan Dokumen & Pengadministrasian: Penerimaan penawaran yang tidak terdokumentasi dengan baik (mis. bukti waktu, tanda terima elektronik yang mudah diubah) memungkinkan manipulasi file setelah deadline. Di era elektronik, keamanan sistem menjadi kunci.
- Evaluasi Teknis: Penilaian teknis seringkali bersifat kualitatif. Di sinilah subyektivitas muncul-jika evaluator tidak memakai rubrik jelas, skor bisa didikte. Pemilihan evaluator yang berkepentingan atau tidak independen memperbesar risiko.
- Negosiasi Pasca-Evaluasi & Awarding: Bahkan setelah proses formal selesai, negosiasi harga/syarat dengan calon pemenang tanpa mekanisme dokumentasi yang kuat dapat menutupi asal usul titipan. Penunjukan pemenang tanpa reasoned explanation mempersulit audit eksternal.
- Adendum & Perubahan Kontrak: Setelah awarding, perubahan ruang lingkup (change orders) yang banyak dan bernilai besar tanpa tender ulang memberikan kesempatan vendor favorit mendapatkan nilai ekstra.
Menutup titik rawan ini memerlukan proses yang ketat: rubrik evaluasi terperinci, publikasi semua klarifikasi, e-procurement dengan audit trail tidak bisa diubah, registrasi evaluator independen, serta ketentuan ketat untuk adendum. Prosedur yang transparan dan terdokumentasi menjauhkan peluang titipan.
3. Peran Faktor Manusia: Konflik Kepentingan, Kolusi, dan Etika
Di balik banyak manipulasi tender terdapat faktor manusia: konflik kepentingan, kolusi antar pihak, dan lemahnya etika profesional. Memahami perilaku ini penting untuk merancang mitigasi.
- Konflik Kepentingan muncul ketika pejabat pengadaan, evaluator, atau pejabat yang berwenang memiliki hubungan finansial, keluarga, atau prospek pekerjaan dengan vendor. Konflik bukan hanya soal keuntungan finansial langsung; janji pekerjaan setelah pensiun, hadiah, ataupun prospek bisnis di masa depan bisa memengaruhi objektivitas. Deklarasi konflik kepentingan wajib tetapi seringkali hanya formalitas jika tidak disertai mitigasi (recusal, verifikasi independen).
- Kolusi antara Vendor dan Internal seringkali lebih berbahaya. Vendor dapat berkolusi dengan pihak internal: mendapatkan draft spesifikasi, informasi pricing buyer, atau memanfaatkan koneksi untuk meloloskan penawaran. Kolusi juga mencakup pengaturan tender antar vendor-membagi wilayah, menetapkan pemenang bergilir, atau mengecilkan kompetisi melalui diskualifikasi terkoordinasi.
- Etika Profesional yang Lemah menjadi faktor pemulus praktik titipan. Jika organisasi tidak memberikan reward bagi integritas atau bahkan menoleransi pelanggaran kecil, perilaku oportunistik meningkat. Pelatihan etika, whistleblower protection, dan sanksi yang konsisten menjadi elemen penting untuk mengubah norma perilaku.
- Insentif Ekonomi yang Akut: Jika potensi keuntungan titipan (fee, kickback) jauh melebihi risiko hukuman-apabila penegakan lemah-rasio risiko-manfaat condong ke tindakan curang. Oleh karena itu penegakan hukum, investigasi menyeluruh, dan efek jera (penjara, denda, blacklist) harus nyata agar insentif merata.
- Kekuatan Jaringan: Titipan sering berlangsung dalam jaringan: kontraktor, pejabat, konsultan, hingga pihak ketiga (broker). Jaringan ini saling melindungi. Memecah jaringan memerlukan pendekatan yang menyasar struktur: audit forensik berulang, pemutakhiran rekam jejak pelaku, dan pemblokiran akses pasar (blacklisting).
Mengatasi faktor manusia bukanlah tugas administratif semata. Ia memerlukan perubahan budaya organisasi: kepemimpinan yang memberi contoh, transparansi insentif, mekanisme perlindungan pelapor, dan penegakan cepat serta transparan atas pelanggaran. Tanpa perubahan perilaku, perbaikan prosedur akan mudah diakali.
4. Peran Politik dan Tekanan Eksternal dalam Menjadikan Tender Titipan
Dalam banyak kasus, tender yang tampak resmi sebenarnya merupakan akibat dari tekanan politik dan kepentingan eksternal. Proyek bernilai tinggi atau yang mendapat sorotan publik sering menarik intervensi politis: penunjukan vendor tertentu sebagai imbalan dukungan politik, pengamanan lapangan kerja bagi konstituen, atau penggunaan anggaran sebagai alat patronase.
- Intervensi Politik Langsung: Kepala daerah, pejabat kementerian, atau politisi tertentu dapat memberi “arah” kepada unit pengadaan untuk menunjuk vendor pilihan. Instruksi bisa eksplisit (surat/telepon) atau terselubung lewat pertemuan informal. Pejabat yang wajib menegakkan standar sering kali dihadapkan pada dilema: memuaskan permintaan politik atau mempertahankan profesionalisme.
- Tekanan dari Donor/Stakeholder Lain: Dalam proyek yang didanai donor atau kerjasama internasional, tekanan dari pihak luar yang punya preferensi vendor-misal karena hubungan bisnis sebelumnya-juga bisa memengaruhi keputusan. Bahkan di sektor swasta, klien kuat bisa menekan bagian pembelian untuk memperlakukan vendor preferen.
- Dinamika Politik Lokal: Pada proyek lokal, faktor patronase dan aliansi politik mempengaruhi siapa yang mendapat proyek-apalagi di daerah di mana kontrol pusat lemah. Dalam situasi ini, tender menjadi alat distribusi sumber daya politik, bukan mekanisme alokasi efisien.
- Akibat bagi Sistem Pengadaan: Intervensi politik menciptakan impunity: jika pemenang dipilih atas dasar politis, sanksi administratif menjadi tidak efektif kecuali ada independensi institusi pengawas. Ini juga membuat vendor sehat ragu ikut tender – karena kompetisi tidak fair – sehingga ekosistem pemasok terdegradasi.
Solusi untuk Meredam Pengaruh Politik:
- Pemindahan kewenangan ke sistem e-procurement yang otomatis dan terstandarisasi, mengurangi ruang intervensi manual.
- Penguatan pengawas independen (ombudsman, lembaga anti-korupsi) dengan wewenang memeriksa keputusan tender bermuatan politis.
- Publikasi alasan keputusan (reasoned explanation) sehingga pemangku kepentingan dan publik dapat menilai logika pemenang.
- Sanksi reputasional yang signifikan: publikasi pelanggaran dan konsekuensi politik, yang dapat menahan politisi dari intervensi terang-terangan.
Tanpa mengatasi tekanan politik, reformasi teknis akan terbentur. Oleh karena itu, pemberdayaan institusi pengawas, keterbukaan informasi, dan akuntabilitas politik menjadi prasyarat perubahan.
5. Teknik Manipulasi Dokumen dan Administrasi yang Sering Dipakai
Manipulasi tender tidak selalu membutuhkan tindakan besar; taktik administratif sederhana sering kali cukup untuk menyingkirkan kompetitor dan mengamankan pemenang. Beberapa teknik yang sering ditemui:
- Tailoring Spesifikasi: Menyusun spesifikasi teknis yang terlalu detail sehingga hanya vendor tertentu yang bisa memenuhinya. Teknik ini halus-terlihat teknis-tetapi pada praktiknya mengunci kompetisi.
- Deadline & Clarification Games: Memberi addendum atau jawaban klarifikasi di akhir masa pengajuan sehingga hanya vendor yang sudah “diinfokan” bisa menyesuaikan. Atau memperpanjang deadline secara selektif.
- Diskualifikasi Administratif Terpilih: Menolak dokumen pesaing dengan alasan administratif kecil (mis. tanda tangan yang berbeda, halaman hilang), sementara memberikan kelonggaran pada pemenang. Ketidakseragaman penerapan aturan administratif menjadi alat diskualifikasi halus.
- Pengaturan Substitusi & Subkontrak: Memungkinkan subkontrak ke entitas tertentu pada tahap pelaksanaan, sehingga meski tender resmi dimenangkan pihak A, pekerjaan sesungguhnya diberikan kepada pihak lain yang sudah “disepakati”. Cara ini menyamarkan titipan.
- Manipulasi Format Penilaian / Bobot: Mengubah bobot evaluasi di saat terakhir atau menggunakan formula scoring yang kompleks sehingga hasil akhir dapat “diatur”. Ketiadaan transparansi perhitungan mempermudah manipulasi.
- Penggunaan Dokumen Palsu atau Referensi Fiktif: Calon vendor memasukkan surat pengalaman palsu atau dokumen dukungan. Jika verifikasi tidak kuat, dokumen palsu ini bisa menipu evaluator.
- Pengaturan Tender Kembali (Split Tendering): Memecah proyek besar menjadi tender kecil agar vendor favorit dapat memenangkan lot yang sesuai. Teknik ini memanfaatkan threshold pengadaan untuk menghindari tender terbuka skala penuh.
Pencegahan teknik-teknik ini memerlukan kontrol administratif yang kuat: standardized checklists, verifikasi independen dokumen (cross-check referensi, pemeriksaan keabsahan sertifikat), konversi semua klarifikasi ke publik, dan penggunaan sistem e-procurement yang menegakkan rules engine (tidak bisa diubah manual).
6. Kelemahan Pengawasan dan Penegakan Hukum sebagai Faktor Penguat
Regulasi saja tidak cukup; pengawasan efektif dan penegakan hukum yang konsisten adalah kunci untuk menekan praktik titipan. Kelemahan pada dua aspek ini sering menjadi alasan kenapa tindakan manipulatif bertahan lama.
- Keterbatasan Kapasitas Auditor dan Pengawas: Audit internal sering kekurangan sumber daya teknis untuk menguji aspek teknis tender; auditor eksternal (mis. BPK) punya beban kerja besar sehingga tidak bisa memeriksa semua proyek. Tanpa sampling risk-based audit dan kemampuan forensik, penyimpangan sulit dibuktikan.
- Proses Investigasi yang Berbelit: Investigasi kasus pengadaan memerlukan pengumpulan bukti teknis, komunikasi elektronik, dan data log. Bila proses hukum panjang, rawan penundaan, atau bukti mudah dimusnahkan, efek jera berkurang. Pelaku curang menghitung bahwa kemungkinan ditindak rendah.
- Sanksi Lemah atau Tidak Konsisten: Bila sanksi administratif berupa peringatan atau denda kecil, pelaku mungkin menganggap itu sebagai “biaya bisnis”. Penegakan pidana terhadap korupsi pengadaan harus cepat dan transparan untuk memberi deterrent.
- Keterpaduan Data dan Sistem yang Buruk: Tanpa integrasi antar sistem (e-procurement, keuangan, aset), jejak transaksi mudah diputus. Data tak terintegrasi mempersulit audit dan penelusuran aliran uang.
- Politik & Intervensi dalam Penegakan: Bila penegakan dipengaruhi politik-contohnya perlindungan bagi aktor tertentu-maka proses hukum kehilangan independensi. Ini mengurangi kepercayaan publik dan memberi ruang bagi praktik titipan.
Perbaikan memerlukan beberapa langkah: penguatan unit audit forensik, quick reaction taskforce untuk tindaklanjut laporan, integrasi sistem digital dengan logging immutability, serta independensi lembaga pengawas. Selain itu, membangun public dashboard pengaduan dan hasil penindakan meningkatkan transparansi dan memperbesar risiko reputasi bagi pelaku.
7. Peran Teknologi: Solusi dan Keterbatasan e-Procurement
Digitalisasi pengadaan (e-procurement) sering diangkat sebagai solusi utama untuk mengurangi titipan. Sistem yang baik memang mengurangi manipulasi manual, tetapi teknologi bukan panacea-implementasi dan governance menentukan efektivitas.
Keuntungan e-Procurement:
- Audit Trail: Semua tindakan terdokumentasi (upload, clearances, access logs) sehingga manipulasi manual lebih sulit.
- Automated Compliance Checks: Sistem dapat melakukan validasi awal terhadap dokumen administratif, mengurangi diskualifikasi sewenang-wenang.
- Anonymized Bid Opening: Meminimalkan pengaruh interpersonal saat penilaian.
- Public Access: Publikasi tender dan klarifikasi secara online memudahkan pengawasan eksternal.
Keterbatasan & Risiko:
- Administrator Privileges: Jika pengelola sistem memiliki hak mengubah data, mereka menjadi titik rawan. Bisnis titipan kemudian beralih ke mempengaruhi admin IT. Segregation of duties harus ditegakkan.
- Insider Threat & Kebocoran Data: Jika ada akses ilegal ke draft dokumen atau klarifikasi, vendor favorit masih bisa disuntikkan informasi. Keamanan siber jadi kritikal.
- Sistem yang Buruk Desain: Kalau rules engine longgar atau ada celah untuk perubahan manual, e-procurement hanyalah lapisan digital yang bisa dimanipulasi.
- Kesenjangan Kapasitas Pengguna: Operator, evaluator, atau vendor yang kurang terlatih dapat memunculkan praktik work-around yang menimbulkan risiko.
- Dependensi pada Vendor Teknologi: Jika platform di-host oleh pihak ketiga tanpa governance ketat, isu governance dan akses data muncul.
Untuk memaksimalkan manfaat, e-procurement harus di-desain dengan prinsip least privilege, immutable logging (append-only), role-based access, dan automated rule enforcement. Audit keamanan berkala, sertifikasi platform, serta transparansi kode (atau audit code oleh pihak independen) meningkatkan kepercayaan. Namun, teknologi harus disertai reformasi proses dan kapasitas SDM agar tidak berubah menjadi alat titipan baru.
8. Strategi Pencegahan dan Reformasi yang Efektif
Mengurangi tender sebagai ajang titipan menuntut intervensi multidimensi: perbaikan proses, penguatan institusi, teknologi aman, dan budaya integritas. Berikut strategi praktis:
- Desain Spesifikasi yang Independen dan Multi-stakeholder: Libatkan pengguna teknis, ahli independen, dan bahkan perwakilan masyarakat saat menyusun spesifikasi. Dokumentasikan alasan teknis untuk setiap requirement.
- Rubrik Evaluasi Terperinci & Dokumented Moderation: Buat rubrik penilaian yang jelas dan contoh bukti untuk tiap skor. Wajibkan rapat moderation tercatat (minutes) yang menjelaskan perbedaan skor.
- Publikasi Semua Klarifikasi & Draft: Semua Q&A harus dipublikasikan waktu nyata. Draft dokumen yang berubah harus mempunyai change log dan justifikasi yang terlihat publik.
- Independensi Evaluator & Rotasi Staf: Bangun pool evaluator independen dengan mekanisme rotasi. Wajibkan deklarasi konflik kepentingan yang diverifikasi.
- E-Procurement dengan Audit Trail Immutable: Implementasikan platform yang tidak memungkinkan perubahan retroaktif tanpa jejak, serta segregasi tugas antara admin dan approver.
- Whistleblower Protection & Reward: Sediakan kanal aman untuk pelaporan dan berikan perlindungan hukum. Insentif bagi pelapor yang terbukti membantu penindakan dapat meningkatkan penemuan kasus.
- Forensic Procurement Analytics: Gunakan analytics untuk mendeteksi pattern abnormal: kemenangan berulang vendor, penarikan dokumen mendadak, atau korelasi antara pejabat dan vendor.
- Penegakan Hukum Cepat & Transparan: Pastikan hasil audit ditindaklanjuti secara hukum dan publik. Efek jera datang dari kombinasinya: reputasi, sanksi administratif, dan pidana.
- Kebijakan Politik Anti-Intervensi: Atur mekanisme formal untuk menolak intervensi politik-mis. surat permintaan politis harus terekam dan dipublikasikan; pejabat politik yang memberi instruksi bisa menjadi subjek audit.
- Capacity Building: Latih tim pengadaan dalam drafting spesifikasi, evaluasi teknis, dan manajemen kontrak. Tingkatkan literasi digital bagi operator e-procurement.
Implementasi ini memerlukan komitmen top-down dan alokasi sumber daya. Reformasi terbaik dimulai dari pilot di kategori mayoritas risiko (konstruksi, IT, medis), lalu diperluas berdasarkan evaluasi. Kombinasi teknologi, proses, pemeriksaan independen, dan penegakan yang kuat adalah resep ampuh.
9. Studi Kasus Hipotetis dan Rekomendasi Implementasi
Untuk mengilustrasikan langkah implementasi, bayangkan sebuah pemerintah daerah memiliki masalah tender konstruksi jalan yang sering dimenangkan vendor sama dengan kualitas buruk. Rangka tindakan:
Fase 1 – Diagnosis (0-3 bulan):
- Audit cepat terhadap 10 tender terakhir: periksa spesifikasi, klarifikasi, file e-procurement, dan minutes evaluasi.
- Gunakan analytics untuk mendeteksi pola kemenangan vendor.
- Identifikasi titik rawan (mis. spesifikasi tailor-made, evaluator tetap).
Fase 2 – Perbaikan Prosedur (3-9 bulan):
- Revisi standar spesifikasi untuk jenis pekerjaan dengan checklist teknis yang disusun bersama asosiasi insinyur independen.
- Terapkan rubrik evaluasi standar disertai contoh bukti per level skor.
- Publikasikan seluruh Q&A di portal publik.
Fase 3 – Teknologi & Pengawasan (6-12 bulan):
- Tingkatkan platform e-procurement: immutable logging, role-based access, dan anonymized bid opening.
- Bentuk unit forensic analytics kecil yang memonitor tender bernilai tinggi.
- Sediakan kanal whistleblower dan perlindungan.
Fase 4 – Penegakan & Pembelajaran (12-24 bulan):
- Tindaklanjuti audit dengan sanksi administratif dan investigasi pidana bila ditemukan korupsi.
- Publikasikan hasil dan corrective actions.
- Evaluasi hasil pilot: perubahan biaya per KM, waktu pengerjaan, dan komplain kualitas.
Outcome yang Diharapkan:
- Penurunan pola kemenangan berulang tanpa kompetisi.
- Perbaikan kualitas output (penurunan retur, klaim garansi).
- Peningkatan kepercayaan publik dan partisipasi vendor sehat.
Model ini bisa disesuaikan pada sektor lain. Kunci: data-driven diagnosis, redesign proses, teknologi aman, dan penegakan konsisten.
Kesimpulan
Tender yang berubah menjadi ajang titipan adalah masalah multidimensional: melibatkan desain proses yang rentan, faktor manusia dengan konflik kepentingan dan kolusi, tekanan politik, celah administratif, kelemahan pengawasan, dan implementasi teknologi yang belum matang. Mengatasi masalah ini tidak mungkin melalui satu solusi tunggal. Diperlukan kombinasi reformasi teknis-seperti rubrik evaluasi terperinci, e-procurement dengan audit trail immutable, dan verifikasi dokumen ketat-serta reformasi institusional: penguatan pengawas independen, penegakan hukum cepat, dan protokol anti-intervensi politik.
Yang tidak boleh dilupakan adalah aspek budaya organisasi: integritas harus diberi penghargaan, whistleblower harus dilindungi, dan pimpinan harus mengambil sikap nol toleransi terhadap penyimpangan. Teknologi dapat memperkecil ruang manipulasi, tetapi tanpa tata kelola dan kapasitas manusia yang memadai, ia bisa berubah menjadi alat baru bagi praktik lama. Implementasi bertahap-dimulai dari pilot di area berisiko tinggi-dapat menunjukkan bukti efektivitas dan membangun dukungan untuk reformasi lebih luas.
Akhirnya, keberhasilan reformasi tender membutuhkan komitmen politik dan sosial: publik yang peka, media yang kritis, lembaga pengawas yang berdaya, serta aktor internal yang berintegritas. Ketika mekanisme kompetisi kembali dipercaya sebagai cara paling adil untuk mengalokasikan sumber daya publik, anggaran akan memberi manfaat maksimal bagi masyarakat. Menghapus praktik titipan adalah tugas sulit, tetapi tidak mustahil – dengan desain kebijakan yang tepat, penegakan konsisten, dan perubahan budaya, tender dapat kembali menjadi instrumen akuntabilitas dan pelayanan publik yang sejati.