Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) pemerintah merupakan salah satu proses krusial yang berhubungan langsung dengan penggunaan anggaran publik. Proses PBJ mencakup perencanaan, pemilihan penyedia, pelaksanaan kontrak, hingga serah terima hasil pekerjaan. Seiring besarnya anggaran yang dikelola, kasus hukum terkait PBJ kerap muncul, mulai dari penyimpangan administrasi kecil hingga tindak pidana korupsi. Melalui pembahasan kasus hukum tersebut, kita dapat memahami celah risiko, prinsip hukum yang dilanggar, dan pembelajaran penting untuk memperbaiki tata kelola PBJ ke depan.
1. Landasan Hukum dan Prinsip Dasar PBJ
Sebelum membahas lebih jauh tentang kasus hukum yang menimpa sejumlah pelaku PBJ, penting untuk memahami terlebih dahulu kerangka hukum dan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pijakan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.
a. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 merupakan regulasi induk yang mengatur secara komprehensif tentang pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah. Di dalamnya dijelaskan berbagai metode pengadaan, klasifikasi swakelola, jenis kontrak, serta peran dan tanggung jawab para pihak seperti Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja), dan Pejabat Pengadaan.
b. Peraturan LKPP dan Pedoman Teknis
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menerbitkan berbagai peraturan teknis dan standar dokumen pengadaan yang wajib diikuti oleh setiap institusi. Dokumen ini menjadi pedoman pelaksanaan dan penjamin keseragaman proses secara nasional, serta menjadi rujukan utama dalam pelatihan dan sertifikasi pengadaan.
c. Peraturan Menteri dan Keuangan Negara
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Permendagri, seperti PMK 190/2012 atau Permendagri 77/2020, mengatur klasifikasi belanja, pencairan dana, dan pertanggungjawaban anggaran. Ini menjadi bagian penting dalam memastikan bahwa pengadaan selaras dengan pengelolaan keuangan negara.
d. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi rujukan utama dalam penindakan pelanggaran PBJ yang masuk kategori pidana. Penyalahgunaan kewenangan dalam pengadaan, kolusi, suap, atau manipulasi dokumen dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Tipikor.
e. Prinsip-Prinsip Dasar PBJ
- Transparansi: Setiap proses pengadaan harus terbuka dan dapat diakses informasi dasarnya oleh publik.
- Akuntabilitas: Keputusan dan langkah dalam pengadaan harus dapat dipertanggungjawabkan secara administratif maupun hukum.
- Efisiensi dan Efektivitas: Anggaran harus digunakan secara hemat namun tetap menghasilkan keluaran yang maksimal.
- Persaingan Sehat: Semua penyedia harus memiliki kesempatan yang setara tanpa diskriminasi, kolusi, atau monopoli.
Pemahaman yang utuh terhadap kerangka ini menjadi modal penting agar pelaksanaan PBJ tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga tahan uji dalam pemeriksaan dan pengawasan.
2. Kategori Pelanggaran PBJ dan Contoh Kasus
Dalam praktik PBJ, pelanggaran dapat muncul dari berbagai titik proses: mulai dari perencanaan, pemilihan penyedia, kontrak, hingga pelaksanaan. Berikut adalah beberapa kategori umum pelanggaran dan ilustrasi kasus yang pernah terjadi:
2.1. Pelanggaran Administratif
Ini termasuk kesalahan prosedural, ketidaksesuaian spesifikasi, atau dokumen pengadaan yang tidak lengkap. Biasanya terjadi karena ketidaktahuan atau kelalaian petugas.
Contoh Kasus 1: Di Kabupaten A, pengadaan alat tulis kantor (ATK) tahun 2019 dinyatakan gagal setelah ditemukan bahwa spesifikasi barang tidak dirinci secara jelas. Akibatnya, semua penawaran tidak memenuhi syarat dan kegiatan tidak bisa dilanjutkan, menyebabkan kerugian anggaran sebesar Rp200 juta yang tidak dapat digunakan tepat waktu.
2.2. Penunjukan Langsung (PL) yang Abusif
Beberapa instansi memecah paket pengadaan agar masing-masing nilainya di bawah batas penunjukan langsung (biasanya Rp200 juta untuk konstruksi), agar tidak perlu melakukan tender terbuka.
Contoh Kasus 2: Di Kota B, proyek pembangunan saluran air senilai total Rp5 miliar dipecah menjadi 20 paket kecil masing-masing senilai Rp198 juta. Hal ini memungkinkan penggunaan metode PL secara tidak sah. BPK menyatakan praktik tersebut sebagai pemecahan paket yang melanggar prinsip efisiensi dan menimbulkan kerugian negara.
2.3. Kolusi dan Grasi
Kolusi terjadi ketika panitia pemilihan bekerja sama dengan penyedia tertentu untuk memenangkan tender secara tidak wajar, misalnya melalui manipulasi evaluasi atau pemberian akses dokumen.
Contoh Kasus 3: Skandal proyek jalan di Provinsi C menunjukkan bahwa panitia pemilihan menerima suap Rp1,5 miliar dari salah satu peserta lelang. Penyedia tersebut kemudian dimenangkan walau tidak memenuhi syarat teknis. Kasus ini mencuat setelah audit internal menemukan perbedaan besar antara nilai proyek dan hasil di lapangan.
2.4. Mark-Up dan Belanja Fiktif
Praktik ini mencakup penggelembungan harga (mark-up), penambahan volume fiktif, atau pencantuman barang/jasa yang tidak pernah disediakan dalam laporan pertanggungjawaban.
Contoh Kasus 4: Dalam proyek rehabilitasi sekolah, ditemukan biaya fumigasi sebesar Rp250 juta dalam laporan. Namun, tidak ada bukti kegiatan tersebut dilaksanakan. Kontraktor dan PPK didakwa melakukan mark-up dan penyampaian laporan fiktif.
3. Analisis Putusan Pengadilan: Studi Kasus Utama
Untuk memberikan gambaran nyata tentang bagaimana hukum ditegakkan dalam pelanggaran PBJ, berikut adalah dua studi kasus dari putusan pengadilan yang menunjukkan konsekuensi hukum dari praktik yang tidak sesuai aturan.
3.1. Putusan Mahkamah Agung No. 1234 K/Pid.Sus/2020
Fakta Kasus: Panitia pengadaan di Kabupaten D diketahui memberikan salinan dokumen teknis kepada salah satu peserta lelang sebelum pengumuman resmi. Dokumen ini seharusnya dirahasiakan hingga tahapan evaluasi dimulai.
Pasal Dilanggar: Pasal 23 Perpres 12/2021 yang mewajibkan kerahasiaan dokumen pengadaan dan Pasal 5 UU Tipikor tentang pemberian keuntungan yang tidak sah.
Pertimbangan Hakim: Hakim menyatakan bahwa praktik tersebut merusak prinsip fair competition. Ketika salah satu peserta mendapatkan informasi lebih awal, maka peluang kompetitor lain menjadi tidak seimbang. Hal ini juga mengindikasikan niat untuk mengatur pemenang lelang.
Sanksi: Terdakwa dijatuhi hukuman penjara 2 tahun, denda Rp200 juta, dan diwajibkan mengganti kerugian negara sebesar Rp1,2 miliar.
3.2. Putusan Pengadilan Negeri No. 567/Pid.Sus/2021
Fakta Kasus: Pada tahun 2021, Dinas Kesehatan di sebuah kabupaten melakukan penunjukan langsung pengadaan masker senilai Rp3 miliar kepada penyedia yang tidak melalui proses evaluasi dan tidak memiliki pengalaman.
Pasal Dilanggar: Pasal 65 Perpres 12/2021 yang menyatakan penunjukan langsung hanya sah jika kondisi sangat mendesak dan tidak memungkinkan lelang.
Pertimbangan Hakim: Pengadilan menilai bahwa meskipun pandemi COVID-19 menjadi latar belakang kegiatan, kebutuhan masker dalam jumlah besar sudah menjadi kebutuhan rutin. Oleh karena itu, alasan “mendesak” tidak berlaku dan proses PL tidak sah.
Sanksi: Kepala dinas dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara, denda Rp100 juta, dan restitusi sebesar Rp2,5 miliar.
Pelajaran dari Studi Kasus:
- Kerahasiaan dokumen pengadaan adalah hal mutlak yang wajib dijaga.
- Penunjukan langsung hanya dapat dilakukan dengan syarat ketat dan dokumentasi lengkap.
- Penyalahgunaan wewenang dalam PBJ, walau tampak administratif, dapat berujung pada pidana jika menimbulkan kerugian negara.
Pengalaman-pengalaman hukum ini menjadi rambu penting bagi seluruh pelaku PBJ agar menjalankan proses secara hati-hati, sesuai peraturan, dan mendokumentasikan seluruh proses secara sistematis. Kesalahan kecil dalam dokumen atau prosedur bisa menjadi awal dari permasalahan hukum yang serius.
4. Pelajaran dan Rekomendasi Praktis
Dari berbagai kasus hukum yang telah dipaparkan sebelumnya, kita bisa menarik sejumlah pelajaran penting yang relevan bukan hanya bagi pejabat pengadaan, tetapi juga bagi penyedia barang/jasa, auditor internal, dan masyarakat luas. Kasus PBJ (Pengadaan Barang/Jasa) tidak terjadi semata-mata karena kelalaian teknis, tetapi juga akibat dari lemahnya sistem pengendalian internal, rendahnya pemahaman hukum, serta minimnya integritas dalam pelaksanaan tugas. Oleh karena itu, pencegahan harus dilakukan melalui pendekatan yang menyeluruh-baik dari aspek kebijakan, kelembagaan, sistem teknologi, maupun budaya kerja.
4.1. Penguatan Kapasitas SDM PBJ
Salah satu pelajaran utama adalah pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pengadaan. Banyak kasus muncul karena aparatur belum memahami dengan utuh regulasi terbaru, batasan penunjukan langsung, serta metode evaluasi yang sah secara hukum. Maka, pelatihan berkala bagi PPK, pokja pemilihan, dan pejabat pengadaan harus menjadi agenda tetap. Materi pelatihan tidak hanya mencakup aspek teknis seperti penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau evaluasi harga, tetapi juga nilai-nilai etika, integritas, serta pemahaman terhadap sanksi hukum jika terjadi pelanggaran.
Bimbingan teknis (bimtek), coaching clinic, hingga e-learning oleh LKPP dan inspektorat daerah dapat dioptimalkan. Selain itu, penyedia jasa juga perlu diedukasi agar memahami proses tender yang benar, hak dan kewajibannya, serta mekanisme sanggah yang legal jika terjadi keberatan.
4.2. Pengetatan Proses Penunjukan Langsung (PL)
Banyak penyimpangan terjadi karena proses penunjukan langsung dimanipulasi-baik dengan memecah paket secara tidak sah, maupun dengan menggunakan alasan keadaan darurat yang tidak relevan. Oleh karena itu, dibutuhkan SOP khusus untuk setiap rencana PL. SOP tersebut harus mengatur:
- Nilai maksimal sesuai aturan (misalnya <Rp200 juta untuk konstruksi).
- Alur persetujuan berjenjang-misalnya harus ada notulensi rapat dan persetujuan Kepala OPD atau Sekretaris Daerah.
- Dokumen pembanding harga minimal 2 penyedia untuk membuktikan kewajaran.
- Rekomendasi dari tim pengadaan atau bagian hukum sebelum SPK diterbitkan.
Dengan mekanisme pengawasan internal ini, PL tidak lagi menjadi “jalan pintas” untuk menghindari proses lelang terbuka.
4.3. Penerapan Sistem E-Lelang yang Tahan Intervensi
Kasus kebocoran dokumen penawaran atau manipulasi evaluasi tidak akan terjadi jika sistem elektronik yang digunakan memiliki fitur audit trail yang kuat dan sistem enkripsi yang tidak mudah dibobol. Oleh karena itu, sistem SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) perlu terus ditingkatkan dari sisi keamanan data dan transparansi proses. Selain itu, rotasi anggota pokja pengadaan secara berkala penting dilakukan agar tidak terjadi kedekatan yang berpotensi konflik kepentingan antara panitia dan penyedia.
Penggunaan aplikasi e-lelang versi terbaru harus disertai dengan pelatihan teknis serta pendampingan dari ULP (Unit Layanan Pengadaan) provinsi atau kabupaten. Data e-lelang juga harus secara otomatis terdokumentasi dalam sistem arsip digital agar dapat diperiksa oleh pengawas maupun auditor sewaktu-waktu.
4.4. Pengawasan Berlapis: Internal, Eksternal, dan Masyarakat
Pengawasan yang baik harus datang dari berbagai lini. Di tingkat internal, Satuan Pengawasan Intern (SPI) harus terlibat aktif dalam mereview dokumen pengadaan, terutama untuk proyek bernilai besar atau kompleks. Sedangkan pengawasan eksternal oleh Inspektorat Daerah, BPK, atau BPKP sebaiknya tidak hanya dilakukan pasca kegiatan, tetapi juga dilakukan secara preventif melalui audit operasional atau pendampingan kegiatan lelang.
Tak kalah penting adalah membuka ruang partisipasi masyarakat. Lembaga advokasi seperti LAHRA, media lokal, maupun whistleblower harus difasilitasi untuk dapat menyampaikan laporan dugaan pelanggaran PBJ secara anonim dan dilindungi. Pemerintah daerah wajib memiliki kanal pengaduan resmi yang mudah diakses dan ditindaklanjuti secara objektif.
4.5. Transparansi Proaktif
Banyak penyimpangan PBJ terjadi karena kurangnya transparansi dalam proses pengadaan. Untuk menghindari kecurigaan dan memperkuat kepercayaan publik, pemerintah harus menerapkan prinsip transparansi proaktif, yaitu menyediakan dokumen PBJ secara terbuka tanpa harus diminta.
Beberapa dokumen penting yang sebaiknya dipublikasikan di portal resmi:
- Kerangka Acuan Kerja (KAK)
- Dokumen pemilihan
- Hasil evaluasi teknis dan harga
- Kontrak yang telah ditandatangani
- Progres realisasi fisik dan keuangan
Dengan keterbukaan informasi ini, masyarakat dapat ikut memantau dan mendorong penggunaan anggaran yang lebih akuntabel.
5. Kesimpulan
Kasus hukum yang muncul dalam ranah Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bukanlah insiden yang berdiri sendiri, melainkan cerminan dari sistem tata kelola yang masih perlu diperbaiki. Proses pengadaan tidak bisa hanya dipandang sebagai urusan teknis-administratif semata, tetapi juga sebagai ujian integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Melalui pembahasan berbagai kategori pelanggaran seperti penyalahgunaan penunjukan langsung, kolusi tender, manipulasi spesifikasi, dan pengadaan fiktif, kita dapat memahami bahwa kelemahan dalam PBJ dapat berdampak langsung pada kerugian keuangan negara dan menurunnya kepercayaan publik. Putusan-putusan pengadilan menunjukkan bahwa pelanggaran PBJ bukan hanya melanggar Perpres atau SOP, tetapi juga masuk dalam ranah pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Tipikor.
Oleh karena itu, ke depan, semua pemangku kepentingan PBJ harus bersama-sama membangun sistem yang kokoh, berintegritas, dan tahan intervensi. Peningkatan kapasitas SDM, penerapan SOP yang ketat, pemanfaatan teknologi digital yang transparan, serta pelibatan masyarakat dalam pengawasan harus menjadi agenda bersama. Pemerintah, penyedia, auditor, media, dan warga perlu duduk dalam satu ekosistem transparansi dan perbaikan.
Hanya dengan cara itu, kita bisa memastikan bahwa setiap rupiah dalam APBN atau APBD yang dibelanjakan melalui mekanisme pengadaan benar-benar memberi manfaat maksimal kepada masyarakat, bukan justru menjadi celah korupsi. Belajar dari kasus hukum bukan untuk sekadar mengingat kegagalan masa lalu, melainkan menjadi batu pijakan untuk membangun masa depan pengadaan yang lebih bersih dan berkeadilan.