Pengadaan barang dan jasa merupakan proses penting dalam tata kelola pemerintahan maupun sektor swasta yang melibatkan alokasi anggaran, pemilihan penyedia, serta pelaksanaan kontrak berdasarkan kesepakatan tertulis. Namun, tidak jarang konflik atau sengketa muncul di tengah jalan, baik terkait interpretasi klausul kontrak, keterlambatan pelaksanaan, ketidaksesuaian kualitas, hingga perselisihan pembayaran. Untuk meminimalkan kerugian materiil, sosial, dan reputasi, kontrak pengadaan harus memuat mekanisme penyelesaian sengketa yang komprehensif, efektif, dan terukur.
1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi Penyelesaian Sengketa
Dalam proses pengadaan, baik di sektor publik maupun swasta, kontrak pengadaan menegaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Namun kontrak sesempurna apa pun tidak dapat sepenuhnya mengantisipasi semua kemungkinan konflik, terutama ketika kondisi di lapangan berubah atau terjadi kesalahpahaman dalam implementasi. Sengketa kontrak pengadaan tidak hanya berdampak pada kerugian finansial tetapi juga berpotensi menimbulkan gangguan pada jadwal proyek, menurunkan kepercayaan pemangku kepentingan, serta memicu dampak hukum yang panjang. Urgensi pencantuman mekanisme penyelesaian sengketa dalam kontrak pengadaan muncul dari kebutuhan untuk:
- Memperkecil gangguan operasional, karena proses yang jelas memungkinkan penyelesaian cepat tanpa harus menunggu putusan pengadilan.
- Mengurangi biaya litigasi, karena jalur alternatif dapat lebih murah dan lebih singkat waktu penyelesaiannya.
- Menjaga hubungan baik antara pihak pengadaan dan penyedia, terutama jika mereka akan bekerjasama pada paket berikutnya.
- Menjamin kepastian hukum, sehingga setiap pihak memahami prosedur yang harus ditempuh ketika terjadi perselisihan.
Oleh karena itu, penyusunan klausul sengketa dalam kontrak pengadaan harus dilakukan secara cermat, dengan mempertimbangkan berbagai metode alternatif penyelesaian yang dapat diterapkan sesuai konteks, nilai kontrak, dan karakteristik risiko.
2. Landasan Hukum dan Prinsip Umum
Dalam dunia pengadaan barang dan jasa, keberadaan landasan hukum yang jelas mengenai mekanisme penyelesaian sengketa bukan sekadar formalitas hukum, melainkan merupakan syarat fundamental untuk menciptakan keadilan kontraktual, melindungi kepentingan para pihak, dan memastikan kelangsungan proyek tetap berjalan meskipun konflik muncul. Sengketa dalam pengadaan tidak bisa dihindari sepenuhnya, tetapi bisa dikelola dan diselesaikan secara tertib jika dibingkai dalam norma hukum yang berlaku.
2.1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Artinya, perjanjian termasuk klausul penyelesaian sengketa bukan hanya bersifat kontraktual, tetapi memiliki daya paksa hukum. Ini menjadi pijakan bagi pengadilan maupun lembaga arbitrase untuk menegakkan isi kontrak sesuai kehendak para pihak.
Dengan asas pacta sunt servanda, KUHPerdata mengajarkan bahwa selama tidak bertentangan dengan undang-undang, moral, atau ketertiban umum, maka semua isi kontrak, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa, wajib dihormati dan dipatuhi oleh kedua belah pihak.
2.2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
UU ini merupakan regulasi utama untuk jalur non-litigasi, seperti arbitrase dan mediasi. Ia memberikan dasar hukum bagi lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa dengan kekuatan hukum tetap. Di dalamnya diatur soal tata cara penunjukan arbiter, prosedur persidangan, sifat tertutup proses, serta kekuatan eksekusi dari putusan arbitrase. Pasal-pasal dalam UU ini juga menjamin independensi pihak ketiga (arbiter atau mediator) dan mengatur batasan intervensi pengadilan umum terhadap proses arbitrase, menjadikan arbitrase pilihan yang final dan efektif.
UU ini juga mengakui bahwa akta perdamaian hasil mediasi bisa diajukan ke pengadilan untuk memperoleh kekuatan eksekutorial, sehingga meskipun mediasi bersifat sukarela, hasilnya dapat dipaksakan pelaksanaannya secara hukum.
2.3. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Perpres ini mengatur secara eksplisit bahwa sengketa dalam pengadaan dapat diselesaikan melalui jalur alternatif terlebih dahulu, seperti mediasi atau arbitrase, sebelum ditempuh jalur pengadilan. Dalam praktiknya, kontrak PBJ wajib mencantumkan klausul penyelesaian sengketa sebagai bagian dari syarat sah dokumen pengadaan. Perpres ini juga mendorong penyelesaian cepat dan efisien agar kegiatan pengadaan tetap berjalan dan tidak tersandera oleh konflik hukum yang berkepanjangan.
Perpres ini menjadi penting terutama dalam pengadaan publik, karena pemerintah sebagai pengguna barang/jasa terikat pada prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas. Sengketa yang tidak diselesaikan dengan cepat akan berdampak pada pelayanan publik dan mengganggu pelaksanaan APBN/APBD.
2.4. Peraturan Mahkamah Agung dan Prosedur Litigasi
Litigasi tetap menjadi jalur terakhir jika semua metode alternatif gagal. Prosedur penyelesaian melalui pengadilan tunduk pada HIR/RBg dan peraturan pelaksananya, termasuk Perma (Peraturan Mahkamah Agung) yang mengatur prosedur perdata, e-litigasi, dan eksekusi putusan. Dalam pengadaan pemerintah, penyelesaian di pengadilan negeri sering digunakan untuk kasus wanprestasi yang berujung pemutusan kontrak atau tuntutan ganti rugi.
Prinsip Umum dalam Menyusun Klausul Penyelesaian Sengketa
Beberapa prinsip mendasar harus menjadi rujukan saat merancang mekanisme penyelesaian sengketa dalam kontrak:
- Kebebasan Berkontrak: Pihak-pihak memiliki hak menentukan bentuk, isi, serta forum penyelesaian, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Klausul sengketa dapat disusun fleksibel sesuai kebutuhan para pihak.
- Kepastian Hukum: Klausul harus spesifik, menyebutkan metode penyelesaian yang diinginkan, forum yang dituju (misalnya BANI atau pengadilan), dan waktu pelaksanaan setiap tahap penyelesaian.
- Efisiensi dan Efektivitas: Mekanisme yang dipilih harus memperhatikan biaya, waktu, dan dampak terhadap kelangsungan proyek. Penyelesaian sengketa sebaiknya tidak lebih mahal dari nilai sengketa itu sendiri.
- Keadilan dan Keseimbangan: Klausul tidak boleh berat sebelah. Keduanya harus memiliki hak yang sama untuk memulai proses dan mendapatkan akses pada informasi dan pembelaan.
- Non-Publikasi dan Kerahasiaan: Untuk kontrak yang bernuansa bisnis atau memiliki konten teknis sensitif, penyelesaian tertutup (arbitrase atau mediasi) memberikan perlindungan atas reputasi dan data komersial yang tidak bisa diberikan oleh proses litigasi publik.
3. Jenis-Jenis Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Dalam prakteknya, ada lima metode utama yang umum digunakan untuk menyelesaikan sengketa kontrak pengadaan:
3.1. Negosiasi
Negosiasi adalah langkah awal di mana para pihak secara langsung berusaha mencapai kesepakatan pemecahan masalah tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi bersifat informal, fleksibel, dan dapat diinisiasi sewaktu-waktu.
Proses Negosiasi:
- Pengajuan masalah secara tertulis.
- Pertemuan langsung antara perwakilan masing-masing pihak.
- Diskusi dan tawar-menawar syarat perbaikan atau kompensasi.
- Kesepakatan dituangkan dalam Berita Acara Negosiasi atau Addendum Kontrak.
Negosiasi efektif untuk sengketa ringan atau yang berkaitan dengan penyesuaian jadwal, klaim biaya tambahan kecil, atau revisi spesifikasi teknis. Karena tidak formal, hasil negosiasi tidak diwajibkan melalui pengadilan dan cenderung cepat.
3.2. Mediasi
Mediasi merupakan metode penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) yang memfasilitasi dialog dan usulan solusi. Beda dengan negosiasi, mediator tidak berwenang memutuskan sengketa tetapi membantu pencarian win-win solution.
Langkah Mediasi:
- Para pihak sepakat menunjuk mediator (bisa dari BANI, Bar Association, atau lembaga independen).
- Para pihak mengajukan posisi, bukti, dan harapan kepada mediator.
- Mediator memfasilitasi dialog dan mengajukan opsi kompromi.
- Jika tercapai kesepakatan, mediator menyusun Akta Perdamaian yang mengikat.
Mediasi cocok untuk sengketa dengan nilai sedang, di mana hubungan bisnis kedua pihak penting dipertahankan. Waktu penyelesaian biasanya 1-2 bulan.
3.3. Konsiliasi
Konsiliasi mirip dengan mediasi, namun konsiliator dapat lebih proaktif dalam memberikan rekomendasi solusi. Biasanya, konsiliasi digunakan dalam sengketa teknis yang memerlukan keahlian tertentu.
Proses Konsiliasi:
- Penunjukan konsiliator yang memiliki kompetensi teknis.
- Konsiliator mempelajari kontrak, laporan lapangan, dan melakukan inspeksi jika perlu.
- Konsiliator memberikan rekomendasi resmi.
- Bila disetujui, direkam dalam Berita Acara Konsiliasi.
3.4. Arbitrase
Arbitrase adalah metode non-litigasi di mana para pihak sepakat menyerahkan sengketa kepada arbiter atau panel arbitrase yang berwenang mengeluarkan Putusan Arbitrase yang final dan mengikat.
Tahapan Arbitrase:
- Para pihak sepakat klausul arbitrase dalam kontrak atau menandatangani Perjanjian Arbitrase saat sengketa terjadi.
- Pemilihan arbiter sesuai ketentuan (BANI, ICC, SIAC dsb).
- Penyampaian klaim dan jawaban secara tertulis.
- Sidang arbitrase, presentasi bukti, saksi, dan ahli.
- Putusan arbitrase dalam batas waktu yang disepakati.
Arbitrase populer untuk sengketa bernilai besar atau melibatkan pihak asing karena prosesnya tertutup, final, dan dapat dijalankan tanpa mengikat negara setempat. Biaya bisa tinggi, namun kepastian hasil sangat terjamin.
3.5. Litigasi
Litigasi dilakukan di pengadilan negeri atau pengadilan niaga, mengikuti prosedur peradilan umum. Litigasi bersifat formal, terbuka, dan diatur oleh hukum acara perdata.
Prosedur Litigasi:
- Pemohon (penggugat) mengajukan Gugatan ke pengadilan negeri.
- Tergugat mengajukan Jawaban.
- Rapat permohonan penetapan hakim.
- Serangkaian persidangan: pemeriksaan bukti, saksi, dan ahli.
- Putusan pengadilan tingkat pertama, dapat diajukan Banding dan Kasasi.
Litigasi memakan waktu relatif lama (12-24 bulan) dan biaya cukup besar, tetapi memberikan akses publik dan preseden hukum.
4. Tahapan Umum dalam Setiap Mekanisme
Meskipun setiap metode penyelesaian sengketa memiliki prosedur teknis dan format masing-masing, terdapat serangkaian tahapan umum yang hampir selalu dilalui oleh para pihak dalam setiap mekanisme. Tahapan-tahapan ini penting untuk memastikan proses berjalan terstruktur, akuntabel, dan tidak menimbulkan sengketa tambahan akibat ketidaktertiban prosedural.
1. Pemberitahuan Sengketa (Notice of Dispute)
Tahapan ini merupakan langkah formal pertama yang menandai bahwa sengketa telah timbul. Pihak yang merasa dirugikan wajib menyampaikan pemberitahuan resmi secara tertulis kepada pihak lainnya, sebagaimana diatur dalam klausul kontrak. Isi dari pemberitahuan ini harus mencakup uraian singkat sengketa, dasar klaim, bukti awal, serta harapan penyelesaian. Biasanya terdapat tenggat waktu dalam kontrak, misalnya 5-14 hari setelah peristiwa sengketa terjadi, untuk menyampaikan notice ini agar tidak kehilangan hak atas klaim.
2. Upaya Awal (Cooling-Off Period)
Setelah pemberitahuan diterima, umumnya kontrak mengatur masa cooling-off, yaitu periode tertentu di mana para pihak didorong untuk melakukan dialog informal, negosiasi bilateral, atau bahkan mini-mediation secara sukarela. Tujuan dari fase ini adalah meredam ketegangan emosional, membuka ruang kompromi, dan mencari solusi cepat tanpa harus segera masuk ke proses penyelesaian yang lebih formal dan kompleks. Fase ini seringkali menjadi momen penting untuk mempertahankan hubungan baik dan menyelamatkan kerja sama jangka panjang.
3. Pemilihan Metode Penyelesaian
Apabila upaya awal tidak membuahkan hasil, maka para pihak akan beralih ke mekanisme penyelesaian yang lebih formal. Pemilihan metode ini merujuk pada klausul kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Biasanya kontrak mencantumkan urutan berjenjang (multi-tier clause), seperti: negosiasi → mediasi → arbitrase → litigasi. Jika tidak disebutkan dalam kontrak, para pihak harus membuat kesepakatan baru untuk memilih metode dan forum penyelesaian.
4. Penunjukan Neutral Party
Neutral party adalah pihak ketiga yang tidak berpihak dan dipercaya untuk membantu penyelesaian. Dalam mediasi, disebut mediator; dalam konsiliasi, disebut konsiliator; dan dalam arbitrase, disebut arbiter atau panel arbitrase. Penunjukan ini bisa dilakukan melalui lembaga (misalnya BANI atau ICC) atau disepakati secara independen. Untuk litigasi, pengadilan negeri berwenang akan secara otomatis menangani perkara setelah gugatan diajukan.
5. Penyusunan Dokumen
Setiap metode penyelesaian membutuhkan dokumentasi formal sebagai dasar proses. Dokumen ini meliputi pernyataan klaim, tanggapan (jawaban), bukti dokumen (kontrak, faktur, surat menyurat), serta daftar saksi atau ahli yang akan diajukan. Kualitas dan kelengkapan dokumen akan sangat memengaruhi arah dan hasil akhir penyelesaian sengketa.
6. Proses Penyelesaian
Tahap ini merupakan inti dari mekanisme. Pada negosiasi atau mediasi, proses biasanya berlangsung dalam satu atau beberapa pertemuan, difasilitasi oleh mediator profesional. Pada arbitrase, dilangsungkan serangkaian sidang tertutup dengan pengajuan bukti, argumen hukum, dan pemeriksaan ahli. Sementara pada litigasi, proses dilakukan secara terbuka melalui sistem peradilan umum yang mencakup panggilan sidang, pengajuan jawaban, replik, duplik, pembuktian, dan putusan.
7. Putusan atau Akta Perdamaian
Setelah seluruh proses dijalankan, hasil akhir dituangkan dalam dokumen formal yang mengikat. Dalam mediasi atau konsiliasi, dibuat akta perdamaian yang ditandatangani para pihak dan dapat didaftarkan di pengadilan untuk memperoleh kekuatan eksekusi. Dalam arbitrase, putusan bersifat final dan mengikat, tidak dapat diajukan banding. Dalam litigasi, putusan bisa dibawa ke tingkat banding atau kasasi sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.
8. Implementasi
Tahapan ini menyangkut pelaksanaan hasil penyelesaian. Baik berupa pembayaran ganti rugi, pemenuhan kewajiban kontraktual, maupun tindakan korektif tertentu. Pelaksanaan dilakukan berdasarkan jadwal dan mekanisme yang disepakati atau ditetapkan dalam putusan.
9. Penegakan (Enforcement)
Jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai hasil penyelesaian, maka pihak lainnya berhak mengajukan permohonan eksekusi. Untuk arbitrase, putusan diajukan ke pengadilan negeri untuk mendapatkan perintah pelaksanaan. Untuk litigasi, eksekusi dilakukan melalui panitera dan juru sita pengadilan. Dalam kasus tertentu, penegakan bisa mencakup penyitaan aset, pencairan jaminan, atau pemotongan tagihan.
5. Kelebihan dan Kekurangan Masing-Masing Metode
Metode | Kelebihan | Kekurangan |
---|---|---|
Negosiasi | Proses cepat, sangat hemat biaya, fleksibel, dan menjaga hubungan kerja antarpihak | Tidak memiliki kekuatan hukum jika tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis atau MoU |
Mediasi | Menjaga kerahasiaan, menghindari konflik berkepanjangan, mengurangi tekanan hukum formal | Tidak mengikat secara hukum kecuali hasilnya dituangkan dalam akta perdamaian dan didaftarkan |
Konsiliasi | Memungkinkan solusi teknis berbasis saran dari ahli, relatif cepat jika para pihak terbuka | Rekomendasi tidak mengikat dan bersifat sukarela |
Arbitrase | Putusan bersifat final dan mengikat, bersifat rahasia, lebih cepat dari litigasi, lintas negara | Biaya relatif tinggi, prosedur lebih formal, tidak tersedia mekanisme banding |
Litigasi | Putusan memiliki kekuatan hukum tetap, dapat menjadi preseden hukum, tersedia mekanisme banding | Proses sangat panjang, biaya tinggi, terbuka untuk umum, berisiko mencoreng reputasi |
6. Pilihan Mekanisme Berdasarkan Karakteristik Sengketa
Pemilihan metode penyelesaian sengketa tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan harus mempertimbangkan karakteristik dari sengketa itu sendiri, kondisi hubungan para pihak, urgensi penyelesaian, serta kebutuhan untuk menjaga reputasi dan kesinambungan proyek. Beberapa faktor pertimbangan yang dapat digunakan antara lain:
1. Nilai Sengketa
Sengketa dengan nilai yang relatif kecil lebih cocok diselesaikan melalui mekanisme informal seperti negosiasi atau mediasi. Hal ini untuk menghindari biaya yang tidak proporsional terhadap nilai klaim. Sebaliknya, untuk sengketa bernilai besar, terutama jika melibatkan pengadaan skala besar atau proyek infrastruktur multiyears, arbitrase atau litigasi menjadi pilihan yang lebih tepat karena menawarkan kepastian hukum dan daya eksekusi yang kuat.
2. Hubungan Antarpihak
Jika relasi bisnis antara pihak-pihak yang bersengketa dipandang strategis untuk dipertahankan, metode mediasi atau konsiliasi lebih disarankan. Kedua metode ini memberikan ruang dialog terbuka tanpa tekanan yuridis, sehingga memungkinkan tercapainya solusi win-win dan mencegah retaknya hubungan kerja jangka panjang.
3. Tingkat Kerahasiaan
Dalam beberapa kasus, sengketa menyangkut informasi sensitif seperti teknologi, harga strategis, atau reputasi institusi. Untuk kondisi ini, arbitrase menjadi mekanisme unggulan karena bersifat tertutup dan menjaga kerahasiaan dokumen serta proses. Litigasi, sebaliknya, bersifat terbuka dan semua dokumen menjadi bagian dari catatan publik.
4. Kecepatan Penyelesaian
Negosiasi adalah metode tercepat karena tidak memerlukan struktur formal. Jika gagal, mediasi tetap menawarkan waktu yang relatif singkat. Arbitrase butuh waktu lebih lama, tetapi jauh lebih cepat daripada litigasi, yang dapat memakan waktu bertahun-tahun karena kompleksitas tahap-tahap peradilan dan kemungkinan upaya hukum lanjutan seperti banding dan kasasi.
5. Kompleksitas Teknis
Jika substansi sengketa sangat teknis (misalnya proyek konstruksi atau teknologi informasi), konsiliasi atau arbitrase yang melibatkan ahli teknis independen bisa menjadi pilihan tepat. Para ahli ini dapat memberikan masukan objektif yang membantu pencapaian kesepakatan atau pengambilan keputusan yang adil.
7. Studi Kasus dan Contoh Implementasi
Proyek Konstruksi
Pemerintah provinsi X menghadapi sengketa kualitas beton dalam proyek pembangunan jembatan. Setelah negosiasi dan mediasi gagal, para pihak bersepakat mengajukan sengketa ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Proses arbitrase berlangsung selama 6 bulan dengan serangkaian sidang tertutup dan pemeriksaan ahli konstruksi independen. Putusan akhir memerintahkan penyedia untuk memperbaiki struktur dan memberikan kompensasi keterlambatan sebesar 10% dari nilai kontrak. Putusan ini bersifat final dan dieksekusi oleh pengadilan negeri.
Pengadaan IT
Sebuah perusahaan swasta nasional mengalami perselisihan dengan vendor pengembang sistem manajemen keuangan terkait keterlambatan modul dan tidak sesuainya fitur. Alih-alih menempuh jalur hukum, kedua belah pihak sepakat menyelesaikan melalui mediasi yang difasilitasi oleh asosiasi industri TI nasional. Setelah dua sesi mediasi, kedua pihak menandatangani akta perdamaian yang mengatur jadwal baru dan pemberian diskon 15% dari nilai kontrak. Kedua kasus ini menegaskan pentingnya fleksibilitas dalam memilih metode yang sesuai, serta efektivitas penyelesaian di luar pengadilan untuk mempercepat solusi dan meminimalkan disrupsi proyek.
8. Rekomendasi Praktis untuk Kontrak Pengadaan
Dalam rangka memastikan bahwa proses penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara tertib, cepat, dan adil, maka disarankan agar kontrak pengadaan mencantumkan:
- Klausul Penyelesaian Sengketa Berjenjang (Multi-Tier Clause): Nyatakan urutan penyelesaian mulai dari negosiasi internal, mediasi, arbitrase, hingga litigasi sebagai upaya terakhir.
- Tenggat Waktu Jelas untuk Setiap Tahapan: Misalnya 14 hari untuk negosiasi, 30 hari untuk mediasi, agar tidak terjadi penundaan tanpa batas.
- Penunjukan Lembaga yang Kredibel: Cantumkan nama lembaga mediasi atau arbitrase (misal: BANI, SIAC, ICC) secara eksplisit untuk menghindari perdebatan saat sengketa muncul.
- Prosedur Penunjukan Mediator/Arbiter: Jelaskan proses dan kriteria pemilihan pihak netral agar tidak terjadi deadlock.
- Pembagian Biaya: Tegaskan siapa yang menanggung biaya proses-dibagi rata, ditanggung pihak kalah, atau sesuai kesepakatan.
- Klausul Penegakan Putusan: Tambahkan ketentuan bahwa para pihak sepakat untuk melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela dan bila perlu akan mendaftarkannya di pengadilan untuk eksekusi.
Dengan pengaturan klausul yang baik, kontrak pengadaan tidak hanya menjadi alat pengikat kerja sama, tetapi juga menjadi instrumen mitigasi risiko hukum yang efektif.
9. Kesimpulan dan Langkah Ke Depan
Mekanisme penyelesaian sengketa yang dicantumkan secara jelas dan komprehensif dalam kontrak pengadaan adalah fondasi untuk memastikan bahwa perselisihan dapat ditangani efektif, efisien, dan adil. Dengan pemilihan metode yang tepat-mengacu pada nilai sengketa, kebutuhan kerahasiaan, dan urgensi penyelesaian-pihak pengadaan dapat meminimalkan gangguan pelaksanaan proyek serta kerugian finansial. Ke depan, diperlukan harmonisasi klausul sengketa dalam standar dokumen pengadaan, pelatihan bagi tim pengadaan untuk memahami setiap metode, serta integrasi data pengadaan dalam sistem e-procurement agar peringatan dini sengketa dapat terdeteksi. Dengan demikian, kontrak pengadaan tidak hanya menjadi instrumen administratif, tetapi juga mekanisme perlindungan dan penyelesaian konflik yang kokoh dan terpercaya.