Apa Itu Conflict of Interest dalam Pengadaan?

Dalam dunia pengadaan barang dan jasa pemerintah, istilah “Conflict of Interest” atau konflik kepentingan menjadi salah satu isu yang paling krusial dan berpotensi merusak integritas proses pengadaan. Konflik kepentingan bukan hanya soal korupsi terang-terangan, tetapi juga bisa muncul dalam bentuk-bentuk yang lebih halus dan tersembunyi. Untuk itu, penting bagi setiap pemangku kepentingan dalam pengadaan memahami secara mendalam apa itu conflict of interest, bagaimana bentuknya, apa dampaknya, dan bagaimana cara mencegah serta menanganinya.

1. Definisi Konflik Kepentingan

Konflik kepentingan, dalam konteks pengadaan barang dan jasa pemerintah, merujuk pada kondisi di mana seseorang yang memiliki posisi, kewenangan, atau pengaruh dalam proses pengadaan memiliki kepentingan pribadi-baik langsung maupun tidak langsung-yang berpotensi memengaruhi objektivitas dan integritas keputusan yang ia buat. Kepentingan pribadi ini bisa berupa hubungan kekeluargaan, kepentingan finansial, kepemilikan usaha, kedekatan emosional, maupun relasi politik yang dapat mengganggu netralitas proses.

Sebagai contoh, jika seorang pejabat pengadaan bertugas menyusun spesifikasi teknis dalam suatu proyek, namun diam-diam memiliki saham di salah satu perusahaan penyedia, maka ada kemungkinan besar spesifikasi tersebut dibuat sedemikian rupa untuk hanya bisa dipenuhi oleh perusahaannya. Inilah bentuk nyata dari konflik kepentingan, karena terjadi benturan antara tugas publik yang diemban dan kepentingan pribadi yang dimiliki.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara eksplisit menekankan bahwa semua pihak yang terlibat dalam PBJ wajib menghindari konflik kepentingan. Pada pasal-pasal terkait, ditegaskan bahwa setiap personel pengadaan harus bersikap jujur, adil, dan tidak memihak kepada pihak tertentu. Bahkan, keberadaan konflik kepentingan yang tidak dideklarasikan atau disembunyikan dianggap sebagai bentuk pelanggaran berat yang dapat berujung pada sanksi administratif hingga pidana.

Dalam praktiknya, banyak konflik kepentingan tidak tampak secara kasat mata (hidden conflict), terutama jika relasinya bersifat tidak langsung, seperti kepemilikan usaha atas nama orang lain, keterlibatan dalam jaringan bisnis keluarga, atau kedekatan yang bersifat emosional. Oleh karena itu, penting bagi setiap aparatur negara yang terlibat dalam pengadaan untuk secara proaktif melakukan self-declaration dan tidak segan mengundurkan diri dari tim apabila terdapat potensi konflik.

Dengan memahami definisi konflik kepentingan secara mendalam, diharapkan seluruh pelaku pengadaan dapat menjaga integritas dan profesionalisme, sekaligus memastikan bahwa anggaran publik dikelola secara jujur dan optimal demi kepentingan masyarakat.

2. Bentuk-Bentuk Konflik Kepentingan

Konflik kepentingan tidak selalu hadir dalam bentuk yang vulgar atau mudah dikenali. Ia sering kali terselubung dalam hubungan sosial, afiliasi usaha, atau kepentingan ekonomi yang kompleks. Berikut ini adalah beberapa bentuk konflik kepentingan yang umum terjadi dalam pengadaan:

2.1. Hubungan Keluarga

Bentuk yang paling sering ditemui di tingkat daerah atau desa adalah hubungan kekerabatan. Misalnya, pejabat pembuat komitmen (PPK) ternyata memiliki hubungan saudara kandung dengan pemilik perusahaan penyedia barang. Meskipun perusahaan tersebut memenuhi syarat administrasi dan teknis, tetap saja keputusannya bisa dipertanyakan karena ada kemungkinan keberpihakan yang tidak disadari.

Contoh lain adalah kepala desa menunjuk koperasi yang diketuai oleh istrinya untuk mengelola pengadaan sembako bantuan sosial. Dalam situasi seperti ini, objektivitas keputusan akan diragukan, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan meningkat tajam.

2.2. Kepemilikan Saham atau Afiliasi Bisnis

Panitia pengadaan yang secara langsung atau tidak langsung memiliki saham atau afiliasi bisnis di perusahaan peserta tender adalah bentuk konflik kepentingan yang sangat merugikan. Meskipun pemilikannya tidak eksplisit (misalnya melalui nominee atau pihak ketiga), tetap saja pengaruhnya bisa memengaruhi proses seleksi.

Sebagai ilustrasi, seorang bendahara proyek mengalihkan sebagian pengadaan alat peraga ke perusahaan yang dimiliki oleh anaknya melalui skema subkontrak. Meskipun legal secara administratif, hal ini tetap termasuk konflik kepentingan karena ada keuntungan pribadi yang diperoleh dari posisinya sebagai pejabat publik.

2.3. Kepentingan Ekonomi Pribadi

Dalam beberapa kasus, pihak yang menyusun dokumen tender atau menyetujui pembayaran diketahui menerima gratifikasi, fee tersembunyi, atau janji proyek dari penyedia tertentu. Meski tidak ada hubungan keluarga atau kepemilikan saham, relasi yang terbangun atas dasar keuntungan pribadi jelas mengganggu netralitas dalam penilaian penawaran.

Praktik seperti ini sering disebut sebagai kickback, di mana penyedia “membalas jasa” dengan sejumlah uang setelah memenangkan kontrak. Praktik ini sangat merusak sistem pengadaan dan sulit dilacak jika tidak ada whistleblower atau investigasi menyeluruh.

2.4. Jabatan Ganda

Di beberapa wilayah, pejabat pemerintah juga menjabat sebagai pengurus ormas, koperasi, atau LSM yang kemudian ditunjuk sebagai pelaksana swakelola. Walaupun secara hukum hal ini bisa dibenarkan jika sesuai aturan swakelola tipe III, namun jika tidak diungkap secara transparan dan tidak ada mekanisme pengawasan, maka ini menjadi konflik kepentingan yang nyata.

2.5. Kedekatan Personal atau Politik

Hubungan non-formal seperti kedekatan emosional, pertemanan lama, atau afiliasi politik antara pejabat pengadaan dan penyedia juga termasuk dalam konflik kepentingan. Misalnya, seorang kepala dinas memberikan proyek kepada rekan satu partainya tanpa proses evaluasi yang adil.

Bentuk konflik ini sulit dibuktikan secara hukum, tetapi sangat merusak kepercayaan publik terhadap sistem pengadaan. Oleh karena itu, diperlukan prinsip kehati-hatian dan dokumentasi yang akurat dalam setiap pengambilan keputusan.

3. Dampak Konflik Kepentingan

Konflik kepentingan bukan sekadar masalah etika internal, melainkan dapat berdampak luas terhadap kualitas belanja publik, efektivitas program, hingga kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah. Berikut adalah beberapa konsekuensi utama dari konflik kepentingan dalam pengadaan:

Menurunnya Kualitas Barang/Jasa

Ketika penyedia barang/jasa dipilih bukan karena keunggulan teknis atau harga terbaik, melainkan karena relasi pribadi, maka besar kemungkinan produk atau layanan yang disediakan akan jauh dari standar yang diharapkan. Misalnya, proyek pengadaan meja sekolah menggunakan kayu berkualitas rendah karena penyedianya adalah saudara panitia lelang. Akibatnya, barang cepat rusak dan membutuhkan biaya perbaikan atau pengadaan ulang, yang berarti pemborosan anggaran.

Kerugian Keuangan Negara

Keterlibatan pihak yang memiliki konflik kepentingan sering kali menyebabkan harga barang/jasa dinaikkan secara tidak wajar. Penggelembungan harga (mark-up), pengadaan fiktif, atau spesifikasi yang terlalu longgar adalah beberapa modus yang umum terjadi. Ini menyebabkan pengeluaran negara jauh melebihi nilai manfaat yang diterima masyarakat.

Menurunnya Kepercayaan Publik

Salah satu indikator keberhasilan pemerintahan yang bersih adalah tingkat kepercayaan masyarakat. Jika publik mengetahui bahwa proyek-proyek pemerintah selalu “dimenangkan” oleh pihak-pihak tertentu karena relasi, bukan kompetensi, maka akan muncul persepsi bahwa pengadaan hanya menjadi ajang bagi-bagi proyek. Ini sangat merusak kredibilitas pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Potensi Masalah Hukum dan Sanksi

Konflik kepentingan yang terbukti merugikan keuangan negara atau melanggar prosedur pengadaan dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001). Pejabat pengadaan, kepala dinas, bahkan kepala desa bisa dikenai sanksi pidana, denda, dan pemecatan. Kasus-kasus semacam ini seringkali menjadi fokus penyelidikan inspektorat daerah atau aparat penegak hukum, terutama ketika ditemukan audit BPK yang bermasalah.

Terhambatnya Persaingan Usaha Sehat

Konflik kepentingan menyebabkan penyedia yang benar-benar kompeten enggan mengikuti lelang karena merasa hasilnya sudah “diatur”. Akibatnya, dunia usaha kehilangan kepercayaan terhadap sistem pengadaan pemerintah. Hal ini menurunkan partisipasi penyedia dan membuat kualitas pengadaan stagnan atau menurun karena tidak ada tekanan persaingan.

4. Regulasi Terkait Konflik Kepentingan

Untuk memastikan bahwa proses pengadaan barang dan jasa berlangsung secara adil, transparan, dan akuntabel, pemerintah telah menetapkan sejumlah regulasi yang secara eksplisit mengatur larangan serta mekanisme penanganan konflik kepentingan. Aturan-aturan ini tidak hanya menjadi dasar hukum yang mengikat, tetapi juga menjadi pedoman etis dan administratif bagi seluruh pelaku pengadaan.

a. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021

Perpres ini merupakan payung hukum utama pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam regulasi tersebut, konflik kepentingan diatur dengan tegas, termasuk dalam pasal-pasal yang membahas integritas pelaku pengadaan. Salah satu poin penting dari Perpres 12/2021 adalah kewajiban setiap pihak dalam proses pengadaan, baik pejabat pengadaan, panitia, maupun penyedia, untuk menandatangani pakta integritas. Dokumen ini berisi pernyataan tidak adanya konflik kepentingan serta kesanggupan untuk mematuhi prinsip-prinsip pengadaan yang bersih dan profesional.

Jika terbukti melanggar pakta integritas, maka pelaku dapat dikenai sanksi administratif, seperti diskualifikasi dari proses lelang, hingga penghapusan dari daftar penyedia pemerintah.

b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

UU ini menegaskan pentingnya prinsip bebas dari konflik kepentingan sebagai bagian dari asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Pasal 17 secara eksplisit menyatakan bahwa pejabat pemerintah dilarang mengambil keputusan atau tindakan apabila memiliki konflik kepentingan dengan keputusan yang akan dibuat. UU ini memberikan dasar hukum untuk mencopot atau menonaktifkan pejabat apabila terbukti membuat keputusan yang tidak netral.

c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)

Jika konflik kepentingan berkembang menjadi tindakan koruptif, seperti menerima gratifikasi, suap, atau memperkaya diri sendiri melalui wewenang jabatan, maka pelaku dapat dijerat pasal-pasal dalam UU Tipikor. Ancaman hukuman dalam UU ini tergolong berat, mulai dari pidana penjara hingga denda miliaran rupiah. Kasus konflik kepentingan yang menyebabkan kerugian negara sering kali menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum dalam mengusut praktik korupsi dalam proyek pengadaan.

d. Peraturan LKPP dan SK Kepala Daerah

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah menerbitkan berbagai regulasi teknis dan pedoman pelaksanaan pengadaan, termasuk standar dokumen, kode etik, dan modul pelatihan yang memuat bahasan khusus tentang pencegahan konflik kepentingan. Di tingkat daerah, Kepala Daerah juga dapat menerbitkan Surat Keputusan (SK) atau Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang mengatur teknis pelaporan, penanganan, dan pembentukan tim etik apabila ditemukan potensi konflik.

Regulasi-regulasi ini mempertegas bahwa konflik kepentingan adalah isu serius yang tidak bisa diabaikan, dan bahwa penanganannya membutuhkan pendekatan multi-level: administratif, etik, dan hukum.

5. Mekanisme Pencegahan

Mencegah konflik kepentingan jauh lebih efektif dan murah dibandingkan dengan menangani dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan PBJ yang sehat menuntut penerapan prinsip preventif dan sistemik sejak awal proses perencanaan pengadaan. Berikut adalah berbagai langkah pencegahan yang dapat dilakukan oleh institusi pengadaan:

5.1. Pakta Integritas

Pakta integritas merupakan dokumen yang wajib ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan, termasuk pejabat pembuat komitmen (PPK), panitia/pejabat pemilihan, dan penyedia. Dalam dokumen ini dinyatakan bahwa pihak tersebut tidak memiliki konflik kepentingan dan akan menjalankan tugasnya dengan jujur serta profesional. Penandatanganan pakta integritas juga berfungsi sebagai pernyataan tanggung jawab moral dan hukum jika kemudian terbukti terjadi pelanggaran.

Pakta integritas biasanya dilampirkan dalam dokumen pemilihan dan menjadi bahan evaluasi apabila terjadi sengketa.

5.2. Deklarasi Bebas Konflik Kepentingan

Selain pakta integritas, setiap pejabat pengadaan dan penyedia diharuskan membuat deklarasi bebas konflik kepentingan. Pernyataan ini mencantumkan secara eksplisit bahwa tidak terdapat hubungan keluarga, afiliasi usaha, atau kepentingan pribadi lainnya antara dirinya dan peserta pengadaan. Jika dalam evaluasi ditemukan pelanggaran terhadap deklarasi ini, maka proses pengadaan dapat dibatalkan dan pelakunya dikenai sanksi.

Beberapa daerah bahkan mengadopsi sistem daring untuk deklarasi ini agar lebih mudah diverifikasi dan terdokumentasi secara digital.

5.3. Uji Kepatutan dan Latar Belakang (Background Check)

Sebelum menetapkan tim pengadaan, idealnya dilakukan pemeriksaan latar belakang personel untuk memastikan bahwa mereka tidak memiliki afiliasi dengan peserta lelang atau kepentingan bisnis yang berkaitan. Background check ini bisa dilakukan dengan meminta surat pernyataan, menelusuri data di OSS, AHU Online, dan LPSE, serta meminta klarifikasi atas informasi mencurigakan.

Salah satu praktik baik adalah membentuk tim etik atau compliance unit yang bertugas khusus untuk melakukan pengawasan dan audit personalia sebelum pengadaan dimulai.

5.4. Rotasi Tugas

Sistem rotasi jabatan secara berkala, terutama pada posisi strategis seperti pejabat pengadaan, sangat penting untuk mencegah pembentukan jaringan informal yang bisa memunculkan konflik kepentingan. Pejabat yang terlalu lama menjabat di satu unit cenderung membentuk kedekatan dengan penyedia tertentu atau mengembangkan “zona nyaman” yang rawan penyimpangan.

Rotasi yang diatur dengan baik juga memberi kesempatan kepada SDM lain untuk belajar dan terlibat dalam pengadaan, memperkuat ketahanan organisasi dari risiko moral hazard.

5.5. Sosialisasi dan Pelatihan Etika Pengadaan

Salah satu akar konflik kepentingan adalah kurangnya pemahaman terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam proses PBJ. Oleh karena itu, pelatihan etika pengadaan sangat penting diberikan secara rutin kepada pejabat pengadaan, auditor internal, dan pengawas eksternal. Materi pelatihan bisa mencakup studi kasus konflik kepentingan, simulasi pengambilan keputusan etis, dan tata cara pelaporan pelanggaran.

Sosialisasi yang efektif bukan hanya mencakup aturan teknis, tetapi juga pendekatan budaya organisasi yang mendorong integritas dan kejujuran sebagai nilai utama.

6. Penanganan Jika Konflik Ditemukan

Meskipun pencegahan telah dilakukan, dalam praktiknya tetap dimungkinkan muncul konflik kepentingan, baik yang disengaja maupun tidak. Maka dari itu, organisasi pengadaan harus memiliki mekanisme responsif dan tegas dalam menangani dugaan atau laporan konflik kepentingan. Berikut adalah tahapan penanganannya:

a. Pelaporan Internal

Jika seseorang mengetahui adanya potensi konflik kepentingan, langkah pertama yang harus diambil adalah melapor kepada atasan langsung, Unit Layanan Pengadaan (ULP), atau Inspektorat Daerah. Pelaporan ini sebaiknya disertai bukti pendukung seperti dokumen, komunikasi tertulis, atau pernyataan pihak terkait. Di beberapa daerah telah tersedia saluran whistleblower berbasis online yang menjamin kerahasiaan pelapor.

b. Audit dan Klarifikasi

Inspektorat atau unit pengawasan internal dapat melakukan audit investigatif atau klarifikasi terhadap keputusan dan dokumen pengadaan yang dicurigai mengandung konflik kepentingan. Proses ini melibatkan penelusuran dokumen tender, notulen rapat, jejak digital, dan keterangan dari pihak-pihak yang terlibat. Tujuannya adalah memastikan apakah benar telah terjadi pelanggaran dan sejauh mana dampaknya.

c. Pencoretan Peserta Lelang

Jika ditemukan bahwa peserta lelang memiliki konflik kepentingan yang tidak dideklarasikan, maka panitia dapat mendiskualifikasi peserta tersebut. Ini sesuai dengan prinsip fair competition dalam pengadaan yang mengharuskan semua peserta berada pada level yang setara.

d. Penggantian Pejabat Pengadaan

Jika konflik bersumber dari panitia atau pejabat pengadaan, maka pimpinan instansi wajib mengganti personel tersebut untuk menjaga netralitas proses. Penggantian harus disertai notulensi, SK baru, dan penyesuaian jadwal jika diperlukan.

e. Proses Hukum

Jika konflik kepentingan berdampak pada kerugian negara, pemberian gratifikasi, atau penyalahgunaan kewenangan, maka kasus dapat diteruskan ke aparat penegak hukum. Proses hukum ini dapat berujung pada tuntutan pidana, sanksi administratif, hingga pemecatan. Oleh karena itu, penting memastikan bahwa seluruh keputusan pengadaan terdokumentasi dan bebas dari intervensi tidak sah.

7. Studi Kasus: Proyek Fiktif dan Hubungan Afiliasi

Salah satu kasus nyata yang menggambarkan bagaimana konflik kepentingan dapat merusak proses pengadaan terjadi di sebuah kabupaten di Indonesia bagian timur. Kasus ini menjadi sorotan nasional karena melibatkan pejabat eselon II yang memiliki peran strategis dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Kronologinya bermula dari sebuah proyek pembangunan fasilitas olahraga yang dicanangkan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga setempat. Proyek tersebut memiliki nilai anggaran yang cukup besar, mencapai Rp4,5 miliar, dan dibagi dalam dua paket pekerjaan yang akan dilaksanakan pada tahun anggaran yang sama. Meskipun di atas kertas proses pengadaan dilakukan melalui tender terbuka, namun hasil investigasi menunjukkan bahwa dokumen spesifikasi teknis dan persyaratan administrasi dibuat dengan sangat spesifik dan mengarah pada satu penyedia tertentu.

Penyedia tersebut, setelah diselidiki, ternyata adalah perusahaan konstruksi yang dimiliki oleh adik kandung kepala dinas bersangkutan. Meskipun nama perusahaan berbeda dan tidak secara langsung mencantumkan hubungan keluarga dalam dokumen, namun jejak digital dan dokumen akta pendirian menunjukkan adanya kepemilikan saham mayoritas oleh keluarga inti. Panitia pengadaan tidak menyatakan adanya konflik kepentingan, bahkan justru menyatakan dalam pakta integritas bahwa semua pihak bebas dari afiliasi dengan peserta lelang.

Audit investigatif yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kemudian mengungkap sejumlah pelanggaran serius. Selain ditemukan mark-up harga sebesar Rp800 juta-terutama pada item bahan bangunan seperti semen, baja ringan, dan alat olahraga-hasil pembangunan juga tidak sesuai dengan spesifikasi yang dicantumkan dalam kontrak. Bangunan tribun yang seharusnya menampung 500 orang hanya bisa digunakan oleh separuhnya karena struktur baja yang tipis dan kualitas lantai yang mudah retak.

Lebih jauh lagi, BPK juga menemukan bahwa beberapa dokumen pelaporan progres pekerjaan, termasuk laporan mingguan dan dokumentasi foto, dibuat secara fiktif. Dengan kata lain, proses pembangunan yang ditampilkan dalam laporan tidak sesuai kenyataan di lapangan. Fakta ini memperkuat dugaan adanya proyek yang dijalankan dengan niat memperkaya diri sendiri, bukan untuk kepentingan publik.

Setelah laporan audit diserahkan kepada aparat penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan dan menyelidiki lebih lanjut. Kepala dinas tersebut akhirnya dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), khususnya Pasal 3 tentang penyalahgunaan wewenang dan Pasal 12 huruf i mengenai konflik kepentingan dalam pengadaan. Ia divonis 4 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda serta pengembalian kerugian negara sebesar Rp1,1 miliar.

Kasus ini memberikan pelajaran yang sangat penting bahwa:

  • Konflik kepentingan dapat disembunyikan melalui skema administratif yang kompleks, seperti pemecahan kepemilikan saham atau penggunaan pihak ketiga sebagai direktur boneka.
  • Spesifikasi teknis yang terlalu sempit bisa menjadi alat manipulasi pengadaan, terutama jika hanya bisa dipenuhi oleh penyedia tertentu.
  • Dokumen pakta integritas bukan sekadar formalitas, melainkan komitmen hukum yang bisa digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan apabila terjadi pelanggaran.

Lebih dari itu, kasus ini mengingatkan semua pihak bahwa pengawasan masyarakat, audit yang tajam, dan sistem pelaporan yang transparan menjadi benteng terakhir untuk menjaga keadilan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

8. Kesimpulan

Konflik kepentingan adalah salah satu ancaman paling serius terhadap integritas dan efektivitas sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ia tidak selalu hadir dalam bentuk suap atau korupsi terbuka, namun kerap bersembunyi dalam relasi kekeluargaan, kepemilikan bisnis terselubung, atau kedekatan emosional yang memengaruhi objektivitas pengambilan keputusan. Justru karena bentuknya yang tidak selalu kasat mata, konflik kepentingan menjadi tantangan besar dalam tata kelola pengadaan publik.

Dalam konteks pemerintahan yang ingin membangun sistem pengadaan yang transparan, adil, dan berkelanjutan, konflik kepentingan harus dihadapi dengan strategi yang sistemik. Hal ini meliputi:

  • Penerapan regulasi yang tegas, seperti Perpres 12/2021 dan UU Tipikor, untuk memberi efek jera pada pelaku pelanggaran.
  • Pencegahan sejak awal, melalui pakta integritas, deklarasi bebas konflik, dan background check terhadap pejabat pengadaan dan penyedia.
  • Pendidikan etika pengadaan kepada seluruh pihak yang terlibat, agar memahami pentingnya menjaga netralitas dan menjauhkan kepentingan pribadi dalam keputusan publik.
  • Pelibatan pengawasan masyarakat, termasuk LSM, media, dan whistleblower, untuk memperkuat sistem pengendalian eksternal di luar instansi pemerintah.
  • Penegakan hukum yang konsisten, agar setiap pelanggaran ditindak tanpa pandang bulu, sekaligus membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem pengadaan pemerintah.

Tanpa upaya nyata dalam mendeteksi dan mencegah konflik kepentingan, sebanyak apa pun anggaran yang digelontorkan akan sulit memberikan dampak positif yang merata dan berkelanjutan bagi masyarakat. Sebaliknya, pengadaan yang bersih dari konflik akan memastikan bahwa setiap rupiah anggaran publik benar-benar digunakan untuk kepentingan bersama, membangun infrastruktur, layanan, dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.

Dengan menjadikan integritas sebagai fondasi, sistem pengadaan akan menjadi lebih kuat, dipercaya, dan berdaya guna dalam jangka panjang.