Akuntabilitas Kegiatan Swakelola di Pemerintah Desa

Pengelolaan kegiatan pemerintah desa melalui mekanisme swakelola menjadi pilihan strategis untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, mempercepat pelaksanaan proyek, dan memberdayakan potensi lokal. Namun, keberhasilan swakelola tidak hanya diukur dari selesainya fisik kegiatan, melainkan juga dari tingkat akuntabilitas yang terjaga sepanjang proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban. Artikel berikut menjelaskan secara panjang, rinci, dan mudah dipahami oleh pembaca awam mengenai pentingnya akuntabilitas dalam kegiatan swakelola di pemerintah desa, langkah-langkah membangun sistem yang transparan, tantangan yang dihadapi, serta rekomendasi praktis untuk memperkuat tata kelola desa.

1. Pengantar: Apa Itu Swakelola dan Mengapa Desa Memilihnya?

Swakelola adalah metode pengadaan barang/jasa di mana pelaksanaan proyek tidak dilakukan melalui mekanisme tender atau kontrak kepada pihak ketiga komersial, melainkan dikerjakan langsung oleh unit kerja pemerintahan (disebut juga “desertari”) atau mitra masyarakat yang memiliki hubungan sosial dan administratif dengan pemerintah desa.

Dalam praktiknya, pemerintah desa dapat bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), kelompok tani, karang taruna, kelompok perempuan, dan kelompok pemuda untuk menjalankan kegiatan swakelola. Jenis kegiatan yang dilaksanakan dapat bervariasi mulai dari pembangunan infrastruktur desa seperti jalan lingkungan dan irigasi, pengadaan sarana prasarana kesehatan dan pendidikan, pelatihan keterampilan warga, hingga kegiatan sosial dan budaya. Alasan pemerintah desa memilih swakelola sangat erat kaitannya dengan kebutuhan lokal, ketersediaan sumber daya manusia di desa, serta pentingnya mempercepat pelaksanaan program tanpa prosedur panjang seperti dalam metode kontraktual.

Pertama, efisiensi waktu menjadi salah satu keunggulan utama swakelola karena prosesnya tidak memerlukan tender terbuka atau seleksi penyedia jasa.

Kedua, peningkatan kapasitas lokal, karena warga desa sendiri yang dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan, sehingga mereka mendapatkan kesempatan belajar dan meningkatkan keterampilan teknis maupun manajerial.

Ketiga, penghematan biaya, sebab swakelola tidak membebankan margin keuntungan sebagaimana yang lazim diberikan kepada kontraktor swasta.

Keempat, pemberdayaan komunitas, di mana pelibatan langsung warga menciptakan rasa memiliki terhadap hasil kegiatan, menjamin keberlanjutan, dan memperkuat kohesi sosial di tingkat lokal.

Namun demikian, pendekatan swakelola juga membawa sejumlah risiko, khususnya dalam aspek akuntabilitas. Tanpa dokumentasi yang baik, pemantauan progres kegiatan yang terstruktur, serta mekanisme pelaporan yang transparan, kegiatan swakelola bisa rawan terhadap penyimpangan penggunaan dana, pengabaian mutu pekerjaan, dan minimnya partisipasi publik dalam evaluasi.

Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa dan bahkan dapat berujung pada sanksi hukum atau administratif terhadap kepala desa jika ditemukan pelanggaran dalam audit keuangan.

2. Landasan Hukum dan Kebijakan Swakelola Desa

Untuk memastikan kegiatan swakelola di desa berlangsung sesuai aturan, berbagai peraturan perundang-undangan telah disiapkan oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai kerangka hukum yang wajib dipedomani oleh pemerintah desa dalam merancang dan melaksanakan kegiatan swakelola. Beberapa regulasi penting yang menjadi rujukan utama adalah sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan legitimasi kepada desa untuk mengelola keuangan secara mandiri, termasuk pelaksanaan kegiatan pembangunan melalui swakelola. UU ini menegaskan bahwa desa memiliki hak untuk merencanakan, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan kegiatan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat setempat.
  2. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, yang menjabarkan siklus keuangan desa dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, hingga pertanggungjawaban. Di dalamnya juga diatur soal pengeluaran kas, format pembukuan, serta prinsip transparansi dan akuntabilitas yang harus dijunjung tinggi dalam setiap kegiatan.
  3. Peraturan Kepala LKPP tentang Swakelola dan Pedoman Teknis dari BPKP, yang memuat petunjuk teknis pelaksanaan swakelola termasuk klasifikasi swakelola (Tipe I-IV), daftar dokumen wajib, serta tata cara penyusunan rencana anggaran biaya (RAB), surat keputusan (SK), dan dokumen pertanggungjawaban. Meski pedoman ini awalnya disusun untuk lembaga pemerintah, prinsip dan formatnya juga digunakan oleh desa sebagai acuan praktik yang baik.
  4. Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada), yang sering kali melengkapi dan menyesuaikan prosedur swakelola sesuai konteks lokal, terutama menyangkut pelibatan kelompok masyarakat, batasan nilai anggaran, dan pelaporan kegiatan.

Dengan memahami dan menerapkan landasan hukum ini, desa dapat menyusun sistem kerja yang sah dan terukur dalam melaksanakan swakelola. Misalnya, kegiatan pembangunan saluran irigasi yang dilakukan secara swakelola harus dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) dan kemudian diturunkan dalam bentuk anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Pelaksana kegiatan diangkat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa, dan seluruh pembelanjaan harus dicatat dalam pembukuan resmi desa. Penguasaan terhadap regulasi ini juga penting untuk menghindari kesalahan administratif yang dapat mengakibatkan temuan dalam audit, misalnya pembayaran tanpa dasar dokumen, kegiatan tanpa SK pelaksana, atau pembelian bahan bangunan tanpa kwitansi resmi. Oleh karena itu, desa perlu membentuk tim teknis yang memiliki pemahaman cukup terhadap hukum dan administrasi publik dalam menjalankan kegiatan swakelola.

3. Tahapan Akuntabilitas dalam Swakelola Desa

3.1. Perencanaan yang Transparan

Perencanaan merupakan tahap awal yang sangat menentukan bagi keberhasilan sekaligus akuntabilitas kegiatan swakelola di desa. Proses ini sebaiknya diawali dengan Musyawarah Desa (Musdes) yang terbuka dan inklusif, di mana masyarakat diajak berdiskusi mengenai prioritas kebutuhan desa, tujuan kegiatan, volume pekerjaan yang akan dilaksanakan, serta indikator keberhasilan yang diharapkan. Hasil dari musyawarah ini dituangkan dalam dokumen Musrenbangdes dan selanjutnya dijadikan dasar penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) dan Rencana Kegiatan dan Anggaran Desa (RKAD). Dokumen perencanaan ini harus mencakup rincian teknis kegiatan, seperti spesifikasi pekerjaan, jenis bahan yang akan digunakan, estimasi biaya per item, jadwal pelaksanaan, dan tolok ukur capaian (output dan outcome). Semakin rinci dan disepakati bersama, maka fondasi akuntabilitas akan semakin kuat, karena seluruh pihak sudah mengetahui sejak awal apa yang akan dilakukan dan berapa besar biayanya. Selain itu, publikasi dokumen perencanaan ini di papan informasi desa atau situs resmi desa akan memperkuat transparansi dan membuka ruang partisipasi aktif dari warga untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan.

3.2. Penetapan Pelaksana dan Jaminan Mutu

Dalam pelaksanaan swakelola desa, pelaksana kegiatan biasanya berasal dari kelompok masyarakat yang ada di desa, seperti kelompok tani, karang taruna, kelompok perempuan, atau lembaga kemasyarakatan desa lainnya. Penetapan kelompok pelaksana dilakukan melalui Surat Keputusan Kepala Desa, dan harus dilengkapi dengan dokumen legal yang sah, seperti akta pendirian kelompok, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), serta nomor rekening terpisah untuk transaksi dana kegiatan. Untuk menjamin mutu pelaksanaan, desa dapat menerapkan skema jaminan pelaksanaan sederhana. Misalnya, desa menahan 10% dari anggaran kegiatan sebagai retensi, yang baru akan dibayarkan setelah hasil pekerjaan diverifikasi oleh tim pemeriksa seperti BPD, LPM, atau pihak kecamatan. Selain itu, sistem pembayaran bertahap berdasarkan progres pekerjaan-misalnya 30%-40%-30%-dapat membantu mencegah penggunaan dana yang tidak bertanggung jawab sejak awal dan memastikan kegiatan berjalan sesuai jadwal.

3.3. Pelaksanaan Berdasarkan SOP

Agar kegiatan swakelola berjalan tertib dan akuntabel, desa harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) internal yang mengatur setiap tahapan pelaksanaan. SOP ini mencakup prosedur pengambilan dan pencairan dana, pembelian bahan dan alat, pelaksanaan kegiatan fisik, pencatatan transaksi, serta dokumentasi proses kegiatan. Dalam pelaksanaannya, setiap transaksi harus dilengkapi bukti seperti kwitansi atau nota pembelian, dan kegiatan harus didokumentasikan dengan baik menggunakan foto atau video, baik sebelum, saat, maupun setelah pelaksanaan. Tim pelaksana juga perlu membuat catatan harian kegiatan yang mencerminkan progres harian atau mingguan, termasuk kendala yang dihadapi dan tindak lanjut yang dilakukan. Semua dokumen ini nantinya menjadi bagian penting dalam proses pertanggungjawaban dan audit.

3.4. Pelaporan Berkala dan Publikasi

Setiap kegiatan swakelola harus disertai dengan mekanisme pelaporan yang tertib dan berkelanjutan. Desa perlu menyusun laporan progres bulanan dan laporan akhir kegiatan yang berisi informasi tentang capaian fisik (misalnya volume pekerjaan yang selesai), capaian keuangan (realisasi anggaran), kendala yang muncul, serta langkah perbaikan. Laporan ini harus ditandatangani oleh ketua kelompok pelaksana dan diverifikasi oleh pihak pemerintah desa. Lebih dari itu, desa wajib mempublikasikan laporan kegiatan kepada masyarakat, baik melalui papan informasi desa, pengumuman di balai desa, atau media sosial resmi desa. Tujuannya adalah untuk memberi ruang bagi masyarakat melakukan kontrol sosial, menyampaikan kritik, atau memberikan masukan terhadap pelaksanaan program. Transparansi pelaporan ini juga akan memperkuat legitimasi pemerintah desa di mata publik.

3.5. Audit Internal dan Eksternal

Untuk memastikan kegiatan swakelola berjalan sesuai prinsip akuntabilitas, desa harus membuka ruang audit baik dari dalam maupun luar. Audit internal dapat dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan anggaran. Sementara audit eksternal biasanya dilaksanakan oleh inspektorat kabupaten/kota atau auditor dari pemerintah pusat seperti BPKP. Audit ini berfungsi untuk mengidentifikasi adanya kelemahan dalam pelaksanaan, pelanggaran terhadap peraturan, atau potensi penyimpangan dana. Temuan audit menjadi dasar untuk memberikan sanksi administratif jika diperlukan, serta sebagai bahan evaluasi agar pelaksanaan swakelola berikutnya dapat diperbaiki. Desa juga perlu mendokumentasikan hasil audit dan menindaklanjuti seluruh rekomendasi yang diberikan secara tertulis.

4. Peran Masyarakat dalam Menjaga Akuntabilitas

Partisipasi masyarakat tidak hanya penting pada tahap perencanaan, tetapi juga sangat menentukan keberhasilan pengawasan dan evaluasi kegiatan swakelola. Ada beberapa bentuk konkret peran masyarakat dalam menjaga akuntabilitas, antara lain:

  • Kehadiran dalam Musrenbangdes, untuk menyuarakan kebutuhan riil dan memastikan program-program yang direncanakan benar-benar berasal dari aspirasi warga.
  • Terlibat dalam Forum Monitoring Desa, di mana masyarakat diberi akses untuk memantau progres kegiatan, mengajukan pertanyaan, bahkan mengadakan inspeksi lapangan secara partisipatif.
  • Memanfaatkan akses informasi publik, dengan membaca laporan dan dokumen yang dipasang di papan pengumuman desa atau situs resmi desa. Warga bisa menanyakan langsung kepada perangkat desa jika ada ketidaksesuaian antara dokumen dan kondisi lapangan.
  • Melaporkan penyimpangan secara anonim, jika menemukan indikasi korupsi, kolusi, atau penyalahgunaan anggaran. Mekanisme ini dikenal sebagai whistleblowing, yang dapat ditujukan kepada inspektorat, BPD, atau lembaga pengawasan lainnya.

Dengan keterlibatan aktif warga, kegiatan swakelola tidak hanya menjadi proyek pembangunan biasa, tetapi menjadi sarana pembelajaran kolektif, penguatan kelembagaan desa, dan peningkatan kualitas demokrasi lokal yang berbasis akuntabilitas dan transparansi.

5. Tantangan Umum dan Cara Mengatasinya

Meskipun kerangka hukum sudah tersedia dan praktik swakelola di desa makin meluas, masih terdapat sejumlah tantangan yang dapat menghambat akuntabilitas pelaksanaan kegiatan swakelola. Tantangan ini bersifat struktural maupun kultural dan memerlukan solusi yang konkret serta dapat diterapkan di berbagai konteks desa.

a. Kemampuan Administrasi Terbatas

Desa sering kali mengalami keterbatasan dalam jumlah maupun kapasitas perangkat desa, terutama dalam hal administrasi keuangan, penyusunan laporan, dan dokumentasi teknis. Banyak staf desa belum memiliki pelatihan formal dalam akuntansi publik atau pengelolaan dokumen pertanggungjawaban yang sesuai standar pemerintah.

Solusi: Pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran pelatihan rutin bagi perangkat desa, baik secara langsung maupun bekerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga pelatihan swasta. Selain itu, kader lokal yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi atau administrasi dapat dilibatkan secara sukarela atau melalui insentif khusus.

b. Budaya Transparansi yang Belum Kuat

Di sejumlah desa, keterbukaan informasi masih dianggap sebagai beban administratif ketimbang kewajiban hukum. Banyak aparat desa yang merasa enggan atau tidak terbiasa mempublikasikan laporan keuangan atau progres kegiatan kepada publik, sehingga menimbulkan kesan tertutup dan mengundang kecurigaan dari masyarakat.

Solusi: Peraturan desa dapat mengatur sanksi administratif ringan seperti teguran atau pembekuan sementara kegiatan jika desa tidak melaksanakan kewajiban publikasi. Pemerintah kecamatan juga dapat menilai kinerja desa berdasarkan indikator transparansi informasi dan menjadikannya salah satu penilaian dalam pemberian insentif desa berprestasi.

c. Ketergantungan pada Satu Kelompok

Swakelola yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu kadang menimbulkan dominasi satu kelompok dalam setiap kegiatan pembangunan desa. Hal ini bisa memicu kecemburuan sosial dan menurunkan partisipasi kelompok lain.

Solusi: Kepala desa perlu melakukan rotasi pelaksanaan antar kelompok yang ada dan memastikan bahwa tugas serta tanggung jawab kegiatan dibagi secara proporsional dan merata. Keterlibatan BPD sangat penting dalam melakukan evaluasi partisipasi kelompok masyarakat.

d. Pendanaan Tertunda

Proses pencairan dana desa yang terlambat atau tidak sinkron dengan jadwal pelaksanaan kegiatan sering kali membuat proyek tertunda, atau bahkan terancam gagal karena tidak sesuai musim atau kondisi lapangan.

Solusi: Desa dapat menerapkan sistem termin pembayaran, misalnya 30% pada awal kegiatan, 40% saat pertengahan, dan 30% saat penyelesaian. Mekanisme ini disesuaikan dengan progres yang terlapor secara resmi dan disetujui oleh pengawas kegiatan.

6. Studi Kasus: Swakelola Jalan Pertanian di Desa Makmur

Desa Makmur, sebuah desa agraris di Kabupaten Timur Raya, memanfaatkan mekanisme swakelola untuk membangun infrastruktur jalan pertanian sepanjang 2 kilometer dengan nilai proyek sebesar Rp500 juta. Pelaksanaan proyek melibatkan kelompok tani sebagai pelaksana teknis dan karang taruna sebagai tim pendukung logistik dan dokumentasi. Skema pembiayaan dilakukan dengan termin 40%-40%-20%, di mana pencairan anggaran dilakukan sesuai dengan laporan progres fisik yang telah diverifikasi oleh BPD dan tim teknis dari kecamatan.

Setiap minggu, laporan progres proyek dipublikasikan melalui papan informasi desa dan grup WhatsApp warga, lengkap dengan foto kegiatan dan perbandingan antara rencana dan realisasi. Kegiatan ini berhasil diselesaikan tepat waktu, tanpa deviasi anggaran berarti, dan mendapatkan respons positif dari masyarakat. Hasil audit inspektorat daerah menunjukkan tidak ada temuan administratif atau teknis yang berarti. Kunci keberhasilan dari kegiatan ini terletak pada:

  • Perencanaan yang rinci dan melibatkan berbagai pihak sejak awal.
  • Transparansi pelaporan dan keterbukaan informasi kepada publik.
  • Pelibatan aktif BPD dalam proses monitoring dan evaluasi.
  • Dokumentasi lapangan berupa foto dan video yang diunggah secara berkala ke website desa.

7. Rekomendasi dan Langkah Ke Depan

Untuk memperkuat akuntabilitas swakelola di desa, diperlukan pendekatan sistematis yang berkelanjutan dan berbasis pada praktik terbaik yang telah terbukti efektif. Beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:

a. Standarisasi SOP Swakelola Desa

Pemerintah kabupaten/kota melalui dinas pemberdayaan masyarakat desa perlu menyusun format baku atau SOP pelaksanaan swakelola di desa, termasuk dokumen perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan pengawasan. Standar ini akan membantu desa dalam menjaga kualitas dan konsistensi pelaksanaan kegiatan.

b. Digitalisasi Pengelolaan

Desa dapat mengembangkan website resmi atau aplikasi mobile sederhana untuk menginput dan mempublikasikan data kegiatan secara real time. Hal ini akan mempermudah pelaporan, audit, dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan.

c. Penguatan Kapabilitas SDM

Pelatihan intensif dalam bidang akuntansi desa, dokumentasi kegiatan, dan teknik audit internal perlu dilakukan secara berkala. Desa dapat menganggarkan dana pelatihan atau mengakses program pendampingan dari perguruan tinggi dan LSM.

d. Kolaborasi Lintas Sektor

Pelaksanaan swakelola dapat diperkuat dengan melibatkan pihak luar seperti universitas, lembaga riset, media lokal, dan LSM. Kolaborasi ini penting dalam memberikan perspektif baru, memperluas kapasitas desa, dan meningkatkan kredibilitas kegiatan.

e. Evaluasi Berkelanjutan

Setiap akhir tahun, desa perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan swakelola, meninjau efektivitas SOP, mengidentifikasi kendala, dan menyusun rencana perbaikan. Evaluasi ini dapat dimasukkan dalam agenda musyawarah desa tahunan.

8. Kesimpulan

Akuntabilitas kegiatan swakelola di pemerintah desa merupakan prasyarat mutlak untuk mewujudkan penggunaan dana desa yang efektif, efisien, dan transparan. Dengan melibatkan masyarakat dalam setiap tahap-mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga audit-desa dapat memastikan bahwa pembangunan benar-benar sesuai kebutuhan warga. Melalui standarisasi dokumen, digitalisasi, penguatan kapasitas SDM, dan kolaborasi multipihak, swakelola desa akan menjadi model pengelolaan keuangan publik yang kredibel, akuntabel, dan berkelanjutan.