Siapa Saja yang Terlibat dalam Tim Swakelola?

Swakelola sebagai salah satu metode pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari metode kontraktual. Dalam mekanisme swakelola, peran sumber daya manusia sangat vital karena keberhasilan kegiatan sangat bergantung pada koordinasi, kompetensi, dan tanggung jawab tim pelaksana. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam tim swakelola, apa saja tugas dan fungsinya, serta bagaimana struktur koordinasi yang ideal agar kegiatan dapat berjalan sesuai prinsip efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.

1. Pendahuluan: Mengapa Komposisi Tim Swakelola Itu Penting?

Dalam setiap kegiatan swakelola, penentuan komposisi tim bukanlah sekadar urusan administratif semata, melainkan merupakan elemen strategis yang akan menentukan kualitas dan kelancaran pelaksanaan kegiatan dari awal hingga akhir. Tim swakelola bukan hanya terdiri dari orang-orang yang “ditugaskan”, tetapi dari individu-individu yang memikul tanggung jawab penuh atas keberhasilan teknis, administrasi, dan keuangan kegiatan pengadaan yang dilaksanakan secara non-komersial.

Apabila komposisi tim disusun secara asal-asalan, tanpa mempertimbangkan kecakapan teknis, integritas personal, serta kesiapan waktu untuk melaksanakan kegiatan, maka berbagai risiko bisa terjadi di lapangan. Risiko-risiko tersebut antara lain tumpang tindih tugas yang mengganggu koordinasi, pelaporan keuangan yang terlambat atau tidak akurat, hingga pelaksanaan kegiatan yang melenceng dari rencana awal. Tidak jarang pula, ketiadaan pengawasan internal dalam tim menyebabkan timbulnya temuan audit, bahkan sanksi hukum apabila kegiatan dinilai menyimpang dari peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, perencanaan pembentukan tim swakelola harus dilakukan secara serius sejak awal proses perencanaan kegiatan. Tim ideal adalah tim yang anggotanya dipilih berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan ketersediaan waktu. Penugasan sebaiknya tidak diberikan semata-mata karena jabatan, melainkan karena kemampuan menjalankan peran dan tanggung jawab yang sesuai dengan kebutuhan teknis maupun administratif kegiatan.

2. Dasar Hukum dan Acuan Penetapan Tim

Pembentukan tim swakelola tidak bisa dilakukan sembarangan. Terdapat kerangka hukum yang secara tegas mengatur siapa yang berwenang membentuk tim, bagaimana format struktur tim, serta apa saja tugas dan tanggung jawab setiap anggotanya. Hal ini diatur dalam sejumlah peraturan nasional, antara lain:

  • Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, khususnya dalam Bab V yang membahas secara lengkap mengenai definisi swakelola, tipe pelaksana, dan kewajiban administratif kegiatan swakelola.
  • Peraturan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), yang memuat panduan teknis penyusunan dokumen swakelola, contoh format struktur tim, formulir pelaporan, dan standar pertanggungjawaban.
  • Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Keuangan, terutama yang menyangkut tata kelola anggaran swakelola di tingkat pusat maupun daerah, termasuk dalam hal pencairan dana, penggunaan anggaran, dan pelaporan.
  • Peraturan Kepala Daerah atau Peraturan Daerah, yang dapat menjadi dasar penyesuaian teknis pelaksanaan swakelola sesuai konteks daerah masing-masing, misalnya pembentukan Pokmas atau kerja sama dengan BUMDesa.

Penetapan tim swakelola harus dibuktikan secara formal melalui Surat Keputusan (SK) yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (misalnya Kepala Dinas, Kepala Sekolah, Kepala Desa, atau PPK). SK ini tidak hanya mencantumkan nama dan jabatan para anggota tim, tetapi juga menjelaskan secara eksplisit tugas, fungsi, masa kerja, ruang lingkup kegiatan, dan dasar hukum penugasan.

Penting juga dipastikan bahwa penunjukan tim swakelola sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, yaitu transparan, akuntabel, bebas konflik kepentingan, serta memiliki prosedur check and balance. Tanpa legalitas formal melalui SK, kegiatan swakelola bisa dianggap tidak sah, dan berpotensi menimbulkan konsekuensi administratif atau hukum.

3. Struktur Tim Swakelola dan Perannya

Struktur tim swakelola dibentuk dengan mempertimbangkan sifat kegiatan, tingkat kompleksitas, dan tipe swakelola yang digunakan. Meskipun masing-masing tipe (I-IV) memiliki fleksibilitas dalam pembentukan tim, ada elemen-elemen kunci yang umumnya selalu ada dalam struktur tersebut:

3.1. Penanggung Jawab Kegiatan

Merupakan posisi tertinggi dalam struktur tim swakelola, biasanya dijabat oleh kepala instansi atau satuan kerja. Ia bukan hanya bertugas menyetujui rencana kegiatan, tetapi juga memastikan bahwa seluruh pelaksanaan kegiatan swakelola tetap dalam koridor regulasi dan mendukung pencapaian target organisasi. Penanggung jawab memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja tim, menetapkan perubahan strategi jika diperlukan, dan memastikan hasil akhir kegiatan dapat digunakan sesuai peruntukannya.

3.2. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

PPK memiliki fungsi sentral dalam kegiatan swakelola, terutama dalam aspek administrasi dan anggaran. Tugas utamanya adalah menjembatani antara rencana teknis dan proses realisasi anggaran. Ia harus mampu menyusun Rencana Kebutuhan Barang/Jasa (RKBJ) yang rinci, memilih metode pengadaan yang sesuai (termasuk menentukan tipe swakelola), dan menerbitkan dokumen hukum seperti SPK Internal. Di tahap pelaksanaan, PPK bertanggung jawab atas kelancaran pencairan dana dan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan penggunaan anggaran.

3.3. Koordinator Teknis atau Ketua Pokja

Dalam kegiatan swakelola yang lebih kompleks (seperti Tipe II atau III), koordinator teknis atau ketua Pokja menjadi pusat koordinasi teknis. Ia harus memiliki pemahaman mendalam tentang substansi kegiatan, mampu menyusun jadwal pelaksanaan, mendistribusikan tugas ke anggota tim, serta menjembatani komunikasi teknis antara pelaksana dan PPK. Koordinator teknis juga bertugas memantau progres harian atau mingguan, melakukan troubleshooting terhadap hambatan lapangan, dan memastikan bahwa mutu pekerjaan sesuai dengan standar teknis.

3.4. Sekretaris Tim

Meskipun perannya sering dipandang administratif, sekretaris memegang peran vital dalam menjaga keberlangsungan dokumentasi yang sah dan tertelusur. Ia harus mencatat seluruh kegiatan rapat tim, menyimpan dokumen pendukung kegiatan (seperti daftar hadir, surat tugas, laporan kegiatan), serta menyusun laporan pertanggungjawaban administrasi. Peran sekretaris menjadi sangat penting saat audit atau review dilakukan, karena semua data dan dokumen biasanya akan dikonsultasikan pertama kali kepadanya.

3.5. Bendahara Kegiatan

Bendahara adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap tata kelola keuangan swakelola. Ia harus memastikan bahwa alokasi dana sesuai dengan RAB, mengatur pencairan sesuai termin atau milestone, serta menyimpan bukti-bukti transaksi seperti kuitansi, faktur, dan nota pembelian. Bendahara juga wajib membuat laporan keuangan periodik dan laporan akhir, serta membantu proses audit anggaran.

3.6. Anggota Tim Pelaksana

Tugas utama anggota tim pelaksana adalah melaksanakan kegiatan di lapangan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Mereka bisa berasal dari staf teknis instansi, anggota kelompok masyarakat (Tipe III), atau personel dari badan hukum non-komersial (Tipe IV). Mereka bertanggung jawab untuk menjaga kualitas, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, serta aktif melakukan pelaporan kepada ketua tim atau koordinator teknis.

3.7. Tim Pengawas Internal

Satu elemen yang tidak kalah penting adalah keberadaan pengawas internal yang berperan sebagai penyeimbang (check and balance) dalam pelaksanaan kegiatan. Tim ini biasanya berasal dari Inspektorat, SPI, atau unit pengawasan internal lain di instansi. Tugas mereka adalah melakukan review proses, mengidentifikasi potensi risiko, memberikan rekomendasi perbaikan, serta melakukan audit terbatas jika diperlukan. Dengan pengawasan yang kuat, potensi penyimpangan dapat ditekan, dan akuntabilitas tim meningkat secara signifikan.

4. Contoh Praktik Lapangan: Komposisi Tim Swakelola Tipe II

Salah satu praktik terbaik dalam pelaksanaan swakelola tipe II dapat dilihat dari kegiatan Pelatihan Kewirausahaan Bagi Calon Wirausaha Baru yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian Kabupaten Z. Kegiatan ini merupakan bagian dari program pemberdayaan ekonomi lokal, yang dirancang untuk meningkatkan kapasitas 150 peserta dari kalangan pemuda produktif dan ibu rumah tangga dalam memulai usaha kecil berbasis rumah tangga.

Dalam merancang dan melaksanakan kegiatan ini, Dinas Perindustrian Kabupaten Z memilih metode swakelola tipe II, dengan alasan utama bahwa sebagian besar kegiatan dapat dijalankan oleh unit kerja internal dan tidak memerlukan kontrak pihak ketiga dalam bentuk jasa pelatihan dari luar. Hal ini juga dilakukan sebagai bagian dari efisiensi anggaran dan pemanfaatan optimal sumber daya ASN teknis di bidang pelatihan dan pemberdayaan usaha kecil.

Komposisi tim swakelola tipe II yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Dinas sebagai berikut:

  • Penanggung Jawab: Kepala Dinas PerindustrianBerperan mengesahkan rencana kerja tim, menyetujui anggaran, dan melakukan evaluasi strategis atas hasil kegiatan.
  • PPK (Pejabat Pembuat Komitmen): Sekretaris DinasBertugas mengelola anggaran kegiatan, mengesahkan Surat Perintah Kerja (SPK) internal, serta mengoordinasikan pertanggungjawaban keuangan.
  • Ketua Pokja: Kepala Bidang PelatihanMemimpin Pokja teknis yang merancang kurikulum pelatihan, jadwal, pengelolaan instruktur internal, serta mengatur urusan logistik kegiatan.
  • Sekretaris Tim: Staf AdministrasiMengelola penyusunan dokumen kegiatan, seperti notulen rapat, daftar hadir peserta, rekapitulasi kebutuhan logistik, serta laporan pertanggungjawaban kegiatan.
  • Bendahara: Bendahara Pembantu Belanja LangsungMenyusun pembukuan harian, mengelola pembayaran honor narasumber internal, pengadaan konsumsi peserta, dan biaya ATK pelatihan.
  • Anggota Pelaksana:Terdiri dari tiga orang staf teknis dari Subbidang Pelatihan, serta satu orang staf dokumentasi dan media, yang bertugas merekam jalannya kegiatan dan menyusun dokumentasi foto/video untuk kebutuhan laporan dan publikasi.
  • Tim Pengawas Internal: Auditor dari Inspektorat DaerahMelakukan monitoring mingguan dan audit ringan terhadap jalannya kegiatan dan kesesuaian dengan anggaran.

Tim ini bekerja selama tiga bulan secara penuh, dimulai dari tahap awal perencanaan program, seperti penyusunan kerangka acuan kegiatan (KAK), jadwal pelaksanaan, skema rekrutmen peserta melalui seleksi terbuka, hingga tahap pelaksanaan pelatihan yang berlangsung dalam tiga gelombang, masing-masing selama lima hari pelatihan intensif. Materi pelatihan mencakup penyusunan rencana bisnis, manajemen keuangan sederhana, teknik produksi olahan pangan rumahan, hingga pemasaran melalui media sosial.

Seluruh proses pelaksanaan kegiatan dirancang dan dijalankan berdasarkan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Rapat koordinasi rutin dilaksanakan setiap pekan oleh Ketua Pokja untuk mengevaluasi progres, mengidentifikasi hambatan lapangan, dan mendistribusikan kembali tugas jika diperlukan. PPK dan Penanggung Jawab menerima laporan mingguan terstruktur yang mencakup progres teknis, serapan anggaran, dan kendala administratif.

Evaluasi terhadap kegiatan ini dilakukan secara menyeluruh dengan mengacu pada tiga indikator utama keberhasilan, yakni:

  1. Tepat Waktu Pelaksanaan: Seluruh rangkaian kegiatan berhasil diselesaikan sesuai jadwal, tanpa adanya penundaan signifikan. Bahkan, gelombang ketiga berhasil diselenggarakan lebih cepat 2 hari dari rencana semula karena efisiensi logistik dan kesiapan materi.
  2. Realisasi Anggaran Mencapai 98% dari Total Pagu: Dari total anggaran Rp450 juta, hanya sekitar 2% anggaran tidak terserap, yang berasal dari efisiensi pembelian konsumsi dan ATK melalui belanja langsung di e-Katalog lokal.
  3. Tingkat Kepuasan Peserta Tinggi: Berdasarkan kuesioner kepuasan yang diisi oleh 146 dari 150 peserta, sebanyak 92% peserta merasa puas dengan kualitas materi, fasilitator, dan fasilitas kegiatan. Hal ini menunjukkan bahwa mutu pelatihan yang diberikan oleh SDM internal tidak kalah dibanding pelatihan yang menggunakan jasa pihak ketiga.

Selain indikator kuantitatif tersebut, kegiatan ini juga meninggalkan jejak manfaat non-fisik yang signifikan. Misalnya, dari hasil wawancara lanjutan 2 bulan pasca pelatihan, diketahui bahwa 35% peserta telah mulai memproduksi dan menjual produk rumahan seperti keripik singkong, minuman herbal, dan kue kering secara daring maupun offline. Beberapa bahkan telah bergabung dalam koperasi lokal yang didampingi oleh Dinas Koperasi.

Kunci keberhasilan dari swakelola tipe II ini terletak pada tiga faktor utama:

  • Sinergi antar peran tim yang berjalan harmonis dan saling mengisi. Tidak ada ego sektoral antar bidang dalam dinas, dan semua anggota memahami pentingnya kolaborasi untuk pencapaian hasil.
  • Komitmen tinggi terhadap target dan rencana kerja. Setiap anggota merasa memiliki tanggung jawab personal atas keberhasilan program, bukan sekadar melaksanakan tugas administratif.
  • Kepatuhan terhadap dokumen kerja dan standar pelaporan. Semua dokumen mulai dari SK Tim, RKBJ, SPK internal, hingga laporan pertanggungjawaban disusun dan diperiksa secara ketat sesuai standar LKPP dan aturan keuangan daerah.

Sebagai bentuk lesson learned, Dinas Perindustrian Kabupaten Z kemudian menyusun modul pelatihan internal tentang manajemen swakelola tipe II, yang kini digunakan untuk pelatihan ASN baru di dinas tersebut. Bahkan, praktik baik ini telah diadopsi oleh dua OPD lainnya (Dinas Koperasi dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat) yang akan melaksanakan kegiatan serupa di tahun anggaran berikutnya.

Melalui contoh nyata ini, tampak bahwa swakelola tipe II bukan hanya solusi pengadaan efisien, tetapi juga instrumen pemberdayaan organisasi dan penguatan kapasitas ASN. Ketika dijalankan dengan serius, profesional, dan berbasis perencanaan yang baik, metode ini mampu menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang nyata, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip akuntabilitas publik.

5. Tantangan Umum dalam Pembentukan Tim

Beberapa kendala yang sering dihadapi dalam pembentukan dan pelaksanaan tim swakelola antara lain:

  • Kurangnya pemahaman anggota tim terhadap regulasi swakelola: Banyak anggota tim yang belum memahami perbedaan mendasar antara swakelola dan pengadaan kontraktual, termasuk bagaimana pelaporan, pertanggungjawaban, dan format dokumen dilakukan.
  • Beban kerja ganda karena tidak ada personel khusus: Sebagian besar personel tim swakelola adalah pegawai aktif dengan tugas pokok yang sudah berat, sehingga kegiatan swakelola menjadi tambahan beban yang memicu kelelahan dan risiko kelalaian.
  • Koordinasi yang lemah antar unit kerja: Dalam swakelola tipe II yang melibatkan lintas bidang, kurangnya koordinasi dapat menyebabkan keterlambatan dan miskomunikasi antar bagian.
  • Ketidaktepatan waktu pencairan anggaran: Proses administrasi yang lambat dari bendahara atau bagian keuangan bisa menghambat pelaksanaan, terutama saat pengadaan bahan pelatihan atau pembayaran honor narasumber.
  • Minimnya pelatihan teknis sebelum kegiatan dimulai: Tim sering langsung “dijatuhkan ke lapangan” tanpa briefing atau pelatihan tentang prosedur kerja dan standar mutu.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, disarankan adanya:

  • Pelatihan teknis swakelola secara berkala, terutama saat awal tahun anggaran.
  • Penyusunan SOP internal untuk pelaksanaan swakelola yang merinci alur kerja, pelaporan, dan pembagian tugas.
  • Pelibatan pejabat pengadaan berpengalaman sebagai mentor dalam penyusunan dokumen dan monitoring kegiatan.
  • Penetapan personel berdasarkan kompetensi dan kesiapan waktu, bukan semata jabatan struktural.

6. Kesimpulan

Tim swakelola adalah fondasi utama dari keberhasilan kegiatan pengadaan yang dilakukan tanpa kontraktor. Dengan komposisi yang tepat, peran yang jelas, dan koordinasi yang baik, swakelola dapat menjadi metode yang efektif dan efisien, terutama untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pekerjaan internal pemerintah. Penetapan tim tidak boleh dianggap sebagai formalitas administratif, tetapi sebagai langkah strategis untuk menciptakan kegiatan yang berkualitas, akuntabel, dan selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Lebih jauh lagi, keberhasilan tim swakelola bukan hanya dinilai dari output fisik yang dihasilkan, tetapi juga dari proses kerja yang transparan, pertanggungjawaban yang tertelusur, serta kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Dengan demikian, setiap tim swakelola yang dibentuk harus menjadi simbol integritas dan kolaborasi lintas fungsi yang mampu menjawab tantangan pengadaan publik secara efektif dan berkelanjutan.