Perbedaan Mendasar Swakelola vs Kontraktual

Pengadaan barang dan jasa dalam pemerintahan Indonesia dijalankan dengan berbagai metode, yang paling umum adalah melalui kontraktual-baik melalui tender, seleksi langsung, atau penunjukan langsung-serta melalui swakelola, yaitu pelaksanaan internal oleh instansi pemerintah atau kelompok mitra masyarakat. Meskipun tujuan dasarnya sama-memenuhi kebutuhan barang/jasa-keduanya memiliki karakteristik, mekanisme, dan implikasi yang sangat berbeda. Artikel ini akan membahas secara panjang dan mendalam perbedaan mendasar antara swakelola dan kontraktual, mulai dari definisi, landasan hukum, proses, penganggaran, risiko, hingga strategi pengelolaan dan bentuk pertanggungjawaban, dengan uraian yang panjang dan sistematis agar pembaca awam sekalipun dapat memahami nuance dan implikasi praktis dari masing‑masing metode pengadaan.

1. Definisi dan Ruang Lingkup Pelaksanaan

1.1. Kontraktual

Pengadaan secara kontraktual merupakan metode yang paling umum digunakan dalam sistem pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam metode ini, instansi pemerintah bertindak sebagai pengguna barang/jasa, sementara pihak ketiga-baik itu perusahaan, penyedia jasa, atau kontraktor swasta-bertindak sebagai pelaksana. Hubungan kerja ini diikat oleh suatu perjanjian hukum formal (kontrak) yang mengatur hak, kewajiban, sanksi, serta standar kinerja kedua belah pihak. Kontrak tersebut disusun berdasarkan dokumen pengadaan yang telah ditetapkan sebelumnya, dan pelaksanaannya mengacu pada standar akuntabilitas serta regulasi ketat dalam Peraturan Presiden maupun peraturan teknis LKPP.

Kontraktual dapat digunakan untuk hampir semua bentuk pengadaan, mulai dari pengadaan alat tulis kantor senilai puluhan juta rupiah, hingga pembangunan infrastruktur berskala besar seperti jalan raya, rumah sakit, dan sistem irigasi senilai miliaran hingga triliunan rupiah. Bahkan untuk jasa intelektual seperti konsultan perencanaan strategis, jasa audit independen, atau pengembangan sistem informasi, metode kontraktual tetap menjadi andalan utama. Karena melibatkan pihak luar, proses kontraktual selalu membutuhkan tahapan kompetitif seperti tender umum, tender terbatas, seleksi, atau penunjukan langsung, tergantung nilai dan kompleksitas pengadaan.

1.2. Swakelola

Berbeda dari kontraktual, metode swakelola menekankan pada pelibatan internal instansi atau kelompok mitra non-komersial dalam pelaksanaan pengadaan. Artinya, pekerjaan tidak diberikan kepada pihak ketiga secara terbuka melalui proses kompetisi, melainkan ditangani sendiri oleh pemerintah atau badan yang memiliki tanggung jawab sosial. Swakelola bukan sekadar solusi internal, tetapi juga merupakan pendekatan strategis untuk mendorong partisipasi masyarakat, optimalisasi SDM instansi, serta pemberdayaan lembaga non-profit atau BUMN/D.

LKPP membagi swakelola menjadi empat tipe utama, yaitu:

  • Swakelola Tipe I: Dilaksanakan langsung oleh instansi pemerintah dengan menggunakan pegawai dan sumber daya internal.
  • Swakelola Tipe II: Dilakukan oleh instansi lain yang memiliki kompetensi teknis, tetapi tetap berada dalam lingkungan pemerintahan.
  • Swakelola Tipe III: Menggunakan Kelompok Masyarakat (Pokmas) sebagai pelaksana, biasanya untuk program pemberdayaan, pembangunan desa, atau kegiatan berbasis komunitas.
  • Swakelola Tipe IV: Melibatkan Badan Hukum Non-Komersial seperti BUMN, BUMD, yayasan pendidikan, atau lembaga riset untuk kegiatan yang bersifat spesifik dan membutuhkan dukungan kelembagaan.

Swakelola umumnya digunakan untuk pekerjaan dengan nilai menengah ke bawah, namun penting secara sosial-seperti pelatihan masyarakat, program padat karya, kegiatan sosialisasi kebijakan, atau pengadaan logistik pemilu. Namun, dalam konteks yang lebih kompleks seperti riset teknologi pertanian, swakelola tetap bisa digunakan melalui kemitraan dengan lembaga litbang atau universitas.

2. Landasan Hukum dan Kebijakan Pengadaan

2.1. Kontraktual

Kontraktual mendapatkan landasan hukum utama dari Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang merupakan amandemen dari Perpres Nomor 16 Tahun 2018. Perpres ini mengatur secara detail prinsip-prinsip dasar pengadaan, mulai dari efisiensi, transparansi, akuntabilitas, hingga keberlanjutan. Semua bentuk kontraktual-baik pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, maupun jasa lainnya-harus mengikuti prinsip-prinsip tersebut.

Selain itu, proses kontraktual juga tunduk pada ketentuan teknis dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). LKPP menerbitkan pedoman operasional, dokumen pemilihan standar, serta sistem elektronik e-procurement bernama SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik), yang wajib digunakan dalam setiap proses pengadaan.

Secara fiskal, pengadaan kontraktual harus sesuai dengan regulasi dari Kementerian Keuangan, terutama mengenai DIPA, pagu anggaran, sistem pembayaran, serta pertanggungjawaban anggaran negara (SAK). Kontrak kerja, baik dalam bentuk Surat Perjanjian (SP), Surat Perintah Kerja (SPK), maupun kontrak lump sum, wajib mengacu pada standar akuntansi pemerintahan dan tata kelola keuangan negara.

2.2. Swakelola

Metode swakelola juga diakui dan diatur secara eksplisit dalam Perpres 12 Tahun 2021, khususnya pada Bab V. Swakelola tidak dianggap sebagai pengecualian atau kelonggaran hukum, melainkan sebagai metode pengadaan yang sah dan setara secara kedudukan hukum dengan metode kontraktual. Untuk pelaksanaan teknisnya, LKPP telah menerbitkan Peraturan Lembaga dan pedoman pelaksanaan swakelola, termasuk formulir standar, matriks penilaian kapasitas pelaksana, dan standar biaya kegiatan swakelola.

Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) mengatur swakelola dalam konteks pemerintahan daerah dan desa. Permendagri memberi fleksibilitas kepada pemerintah daerah untuk menyesuaikan implementasi swakelola dengan kondisi sosial, geografis, dan kelembagaan lokal. Misalnya, kegiatan pembangunan sumur air di desa terpencil dapat dilakukan melalui swakelola tipe III tanpa harus menunggu penyedia dari kota.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) juga memberi ruang legal bagi pembiayaan swakelola, termasuk mekanisme pertanggungjawaban, SPJ, serta audit oleh BPKP atau Inspektorat. Bahkan, beberapa daerah telah menyusun Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) sebagai turunan dari kebijakan nasional, sehingga swakelola dapat menjadi bagian integral dari strategi pembangunan lokal.

3. Proses Perencanaan dan Pemilihan Metode

3.1. Tahap Perencanaan Kontraktual

Perencanaan dalam kontraktual dimulai jauh sebelum pelelangan dilakukan. Tahapan pertamanya adalah penyusunan Rencana Umum Pengadaan (RUP), yang berfungsi sebagai pengumuman awal kepada publik dan sebagai dokumen acuan bagi seluruh proses pengadaan. RUP ini wajib dimasukkan ke sistem LPSE dan memuat informasi dasar seperti nama paket, pagu anggaran, jadwal pelaksanaan, dan metode pemilihan penyedia.

Proses perencanaan selanjutnya meliputi:

  • Analisis Kebutuhan dan Spesifikasi Teknis, di mana PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) atau tim teknis merinci dengan jelas jenis barang atau jasa yang dibutuhkan, termasuk standar mutu, kapasitas, daya tahan, dan kriteria teknis lainnya.
  • Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB), yang menjadi dasar perhitungan biaya dan ruang lingkup pekerjaan. KAK harus ditulis rinci agar tidak menimbulkan multitafsir pada saat lelang.
  • Evaluasi Risiko, baik dari sisi teknis (misalnya ketergantungan pada satu vendor), sisi hukum (sengketa kontrak), maupun dari sisi waktu pelaksanaan (musim hujan, tahun politik, dll).

Pemilihan metode kontraktual harus dilakukan dengan mempertimbangkan nilai paket, jenis pekerjaan, dan kompleksitas. Contohnya, paket konstruksi di atas Rp100 juta wajib melalui tender umum, sedangkan jasa non-konsultansi di bawah Rp200 juta dapat menggunakan penunjukan langsung.

3.2. Tahap Perencanaan Swakelola

Perencanaan swakelola berawal dari Rencana Kebutuhan Barang/Jasa (RKBJ) yang lebih bersifat internal. Tidak seperti RUP yang harus diumumkan ke publik, RKBJ biasanya merupakan dokumen internal yang menjelaskan:

  • Justifikasi Swakelola, alasan mengapa pekerjaan tersebut tidak dilakukan secara kontraktual, misalnya karena bersifat mendesak, berskala kecil, atau bertujuan pemberdayaan.
  • Analisis Kapasitas Internal, termasuk ketersediaan pegawai, alat, dan infrastruktur. Untuk tipe III, perlu juga menilai kesiapan kelompok masyarakat.
  • Penetapan Tipe Swakelola, sesuai dengan ketentuan LKPP berdasarkan siapa yang akan melaksanakan kegiatan. Hal ini ditetapkan dalam SK Pelaksana dan dituangkan dalam dokumen pelaksanaan.

Langkah penting dalam perencanaan swakelola adalah menyusun Surat Keputusan (SK) Penunjukan Tim Pelaksana Swakelola atau Kelompok Masyarakat, serta merancang mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan. Selain itu, instansi juga harus menentukan indikator kinerja, jadwal pelaksanaan, dan format laporan progres.

Perlu digarisbawahi bahwa perencanaan swakelola tidak bisa sembarangan. Setiap instansi wajib menyertakan dokumen-dokumen pendukung, seperti SOP pelaksanaan, format SPJ, hingga jadwal audit oleh pengawas internal. Hal ini penting agar pelaksanaan tetap akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan auditor.

4. Mekanisme Penganggaran dan Pembayaran

4.1. Penganggaran Kontraktual

Pada metode kontraktual, penganggaran dimulai sejak penyusunan DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) yang disahkan dalam rencana anggaran tahunan instansi. Setiap paket pekerjaan yang bersifat kontraktual akan dicantumkan sebagai satu entitas terpisah dalam dokumen RUP (Rencana Umum Pengadaan), lengkap dengan nilai pagu anggaran, jadwal pelaksanaan, dan metode pemilihan penyedia. Setelah kontrak ditandatangani, sistem pembayaran dilakukan melalui mekanisme yang rigid dan dikontrol ketat oleh peraturan keuangan negara.

Mekanisme pembayaran kontraktual secara umum mencakup:

  • Uang Muka (Advance Payment): Pemerintah memberikan uang muka kepada penyedia sebesar maksimal 30% dari nilai kontrak. Namun, pemberian uang muka ini tidak dilakukan secara otomatis, melainkan harus disertai jaminan bank (bank garansi) yang berlaku penuh hingga termin pertama selesai dibayarkan. Tujuannya untuk menjamin bahwa penyedia tidak menyalahgunakan dana sebelum melaksanakan pekerjaan.
  • Pembayaran Termin (Progress Payment): Setelah pekerjaan dimulai, pembayaran dilakukan secara bertahap berdasarkan progres fisik dan administrasi. Setiap termin harus disertai laporan kemajuan pekerjaan (progress report), dokumentasi foto, dan pengesahan oleh tim pengawas atau konsultan pengawas. Dokumen tersebut menjadi dasar bendahara mengeluarkan SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana).
  • Retensi: Pemerintah biasanya menahan sebagian kecil dana (antara 5-10%) dari total nilai kontrak sebagai retensi, yaitu dana jaminan yang baru dibayarkan setelah masa pemeliharaan selesai. Retensi ini digunakan untuk menutup risiko jika ditemukan kerusakan atau ketidaksesuaian dalam pekerjaan setelah serah terima akhir (final handover).

Dengan sistem ini, kontraktual memiliki struktur penganggaran dan pembayaran yang kompleks namun terukur, serta mengutamakan kehati-hatian dalam mengelola keuangan negara.

4.2. Penganggaran Swakelola

Penganggaran pada swakelola juga tertuang dalam DPA, namun pendekatannya berbeda dari kontraktual karena tidak melibatkan penyedia eksternal. Dana dikelola langsung oleh satuan kerja atau pelaksana swakelola (internal, Pokja, kelompok masyarakat, atau badan hukum non-profit). Hal ini membuat struktur pengeluaran bersifat lebih fleksibel dan adaptif, namun tetap harus taat asas pengelolaan keuangan negara.

Beberapa ciri penganggaran swakelola antara lain:

  • Tidak Ada Uang Muka dalam Jumlah Besar: Karena pelaksana berasal dari internal pemerintah atau mitra non-komersial, pemberian uang muka dalam jumlah besar umumnya tidak dilakukan. Bahkan pada banyak kasus, swakelola berjalan tanpa uang muka dan pelaksanaan kegiatan dimulai setelah dana operasional tersedia.
  • Termin Pembayaran Berdasarkan Laporan Internal: Progres kegiatan dilaporkan oleh pelaksana kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau pejabat pengawas. Verifikasi dilakukan oleh tim teknis internal atau inspektorat. Setelah disetujui, bendahara dapat membayarkan dana sesuai progres. Proses ini tidak memerlukan jaminan bank, tetapi tetap harus tercatat dengan bukti sah (kwitansi, BAST, laporan kegiatan).
  • Tanpa Retensi Formal: Karena hubungan kerja bukan berdasarkan kontrak komersial, mekanisme retensi seperti pada kontraktual biasanya tidak diterapkan. Namun, beberapa instansi menerapkan laporan hasil akhir dan monitoring pasca kegiatan sebagai bentuk pertanggungjawaban tambahan.

Dengan kata lain, penganggaran swakelola lebih menekankan pada transparansi dan dokumentasi internal ketimbang sanksi kontraktual, tetapi tetap memerlukan disiplin anggaran dan kontrol administrasi yang ketat.

5. Pengelolaan Risiko dan Jaminan Mutu

5.1. Risiko dalam Kontraktual

Metode kontraktual mengandung sejumlah risiko yang telah diantisipasi melalui sistem jaminan dan pengendalian mutu. Karena melibatkan pihak ketiga yang memiliki motif bisnis, potensi moral hazard cukup tinggi jika tidak diawasi dengan baik.

Beberapa risiko umum dan cara mitigasinya:

  • Risiko Keterlambatan Pelaksanaan: Jika penyedia terlambat menyelesaikan pekerjaan tanpa alasan sah, maka instansi berhak mengenakan denda keterlambatan (liquidated damages). Denda ini biasanya dihitung per hari keterlambatan dan dapat mencapai batas tertentu sesuai ketentuan kontrak.
  • Risiko Mutu Rendah: Untuk menjamin mutu pekerjaan sesuai spesifikasi, penyedia diwajibkan memberikan jaminan pelaksanaan (performance bond), biasanya sebesar 5% dari nilai kontrak. Setelah serah terima awal, penyedia juga memberikan jaminan pemeliharaan (maintenance bond) untuk menutupi kerusakan dalam periode pemeliharaan (misalnya 6 bulan hingga 1 tahun).
  • Risiko Sengketa Kontrak: Jika terjadi perbedaan tafsir, penundaan pembayaran, atau kualitas pekerjaan yang diperselisihkan, kontraktual menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa. Ini bisa melalui mekanisme keberatan, mediasi LKPP, arbitrase, atau pengadilan negeri.

Dengan sistem jaminan tersebut, pengadaan kontraktual beroperasi dalam kerangka formal yang ketat, tetapi juga memberi kepastian hukum bagi kedua belah pihak.

5.2. Risiko dalam Swakelola

Swakelola memiliki risiko yang berbeda karena orientasi pelaksana bukanlah profit, melainkan pelayanan, pemberdayaan, atau pelaksanaan program publik. Namun, ini bukan berarti risikonya lebih ringan-justru dalam banyak kasus, risiko akuntabilitas bisa lebih tinggi karena tidak ada jaminan bank dan keterlibatan penyedia profesional.

Risiko yang sering muncul antara lain:

  • Kapasitas Internal Lemah: Pelaksana dari instansi pemerintah atau kelompok masyarakat bisa jadi belum terlatih menghadapi standar pengadaan. Hasil pekerjaan bisa tidak memenuhi spesifikasi teknis jika tidak diberikan pelatihan atau pendampingan.
  • Risiko Akuntabilitas: Karena tidak ada jaminan pelaksanaan seperti dalam kontraktual, pertanggungjawaban sangat bergantung pada fungsi pengawasan internal (SPI) dan pengendalian oleh Inspektorat. Lemahnya dokumentasi dan tidak adanya audit real-time dapat memperbesar potensi penyimpangan.
  • Risiko Persepsi Negatif: Swakelola rentan menimbulkan kecurigaan kolusi atau nepotisme, terutama jika kelompok masyarakat yang ditunjuk pelaksana tidak dipilih secara terbuka. Oleh karena itu, transparansi dan publikasi perencanaan sangat penting, meskipun metode ini tidak mewajibkan tender.

Kesimpulannya, swakelola menuntut lebih banyak integritas dan kontrol sosial, sementara kontraktual lebih mengandalkan jaminan formal dan pengawasan eksternal.

6. Sistem Pengawasan dan Audit

6.1. Audit Kontraktual

Pengadaan kontraktual diawasi dan diaudit oleh berbagai lapisan pengendalian yang saling melengkapi, dengan tujuan memastikan efisiensi, efektivitas, dan kepatuhan hukum. Mekanisme audit ini meliputi:

  • Satuan Pengawasan Intern (SPI): Bertugas memverifikasi prosedur pengadaan, kesesuaian dokumen (RUP, KAK, kontrak), serta keabsahan laporan pekerjaan dan pembayaran. SPI juga memantau risiko fraud dalam proses pemilihan penyedia.
  • Badan Pemeriksa Keuangan (BPK): Melakukan audit tahunan atas penggunaan anggaran negara. Dalam audit ini, kontraktual menjadi objek utama, karena menyangkut pembelanjaan besar dengan dana APBN/APBD. BPK bisa memberikan opini WTP, WDP, atau TMP tergantung hasil temuannya.
  • Tim Pengadaan Independen atau APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah): Untuk proyek-proyek strategis nasional atau bernilai besar, pengawasan bisa ditingkatkan dengan tim khusus yang bersifat lintas instansi dan melibatkan unsur eksternal.

Sistem audit ini memungkinkan deteksi dini terhadap penyimpangan dan menjadi dasar evaluasi kebijakan pengadaan.

6.2. Audit Swakelola

Swakelola, meskipun tidak melibatkan pihak ketiga secara komersial, tetap berada di bawah pengawasan internal dan eksternal yang ketat. Justru karena pelaksanaannya lebih “dekat” dengan lingkungan internal, maka risiko penyelewengan administratif menjadi lebih besar jika tidak diaudit secara disiplin.

Beberapa bentuk pengawasan swakelola antara lain:

  • SPI dan Tim Pengendali Internal: Bertugas memeriksa kesesuaian RKBJ, SK pelaksana, laporan progres, serta hasil akhir (BAST). Fungsi ini sangat penting untuk mencegah manipulasi laporan atau penggunaan dana di luar peruntukan.
  • Inspektorat Daerah atau Pusat: Melakukan pemeriksaan berkala, baik secara rutin maupun spot check. Pemeriksaan ini bisa mencakup wawancara dengan pelaksana, verifikasi fisik ke lapangan, serta evaluasi bukti pertanggungjawaban.
  • BPK (Badan Pemeriksa Keuangan): Untuk swakelola bernilai besar atau yang melibatkan badan hukum (tipe IV), BPK tetap melakukan audit menyeluruh. Hal ini penting untuk menjamin bahwa proses swakelola tidak menjadi sarana pengeluaran yang “tak tersentuh” hanya karena tidak berbentuk kontrak komersial.

Maka, baik swakelola maupun kontraktual, keduanya memiliki sistem pengawasan yang kuat, namun dengan pendekatan berbeda. Kontraktual mengandalkan sanksi hukum dan jaminan, sedangkan swakelola mengutamakan pengendalian internal, pendampingan, dan integritas organisasi.

7. Kelebihan dan Kelemahan Masing-Masing Metode

Ketika membandingkan antara metode kontraktual dan swakelola, tidak cukup hanya melihat dari sisi peraturan atau prosedur administratifnya. Yang lebih penting adalah memahami secara utuh apa kelebihan dan kekurangan masing-masing metode pengadaan dalam konteks pelaksanaan lapangan, dinamika organisasi, serta hasil akhir yang diharapkan. Perbedaan ini sangat penting terutama bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan (ULP), dan manajer program dalam menentukan strategi pelaksanaan kegiatan.

Mari kita kupas perbandingan dari beberapa aspek penting:

7.1 Kecepatan Pelaksanaan

Metode kontraktual umumnya membutuhkan waktu lebih lama karena melibatkan proses formal seperti penyusunan dokumen pemilihan, pengumuman lelang, evaluasi penawaran, negosiasi kontrak, hingga penandatanganan dan serah terima. Setiap tahapan memiliki waktu minimum sesuai regulasi yang tidak bisa diabaikan, bahkan untuk paket bernilai kecil.

Sebaliknya, swakelola dapat dilaksanakan lebih cepat karena tidak ada tahapan tender terbuka. Setelah SK pelaksana ditetapkan dan RAB disetujui, kegiatan bisa segera dimulai, terutama jika SDM internal atau mitra pelaksana sudah siap. Dalam situasi darurat atau kebutuhan mendesak, kecepatan ini menjadi keunggulan signifikan.

7.2 Kompleksitas Proyek

Untuk proyek dengan kompleksitas teknis tinggi-misalnya pembangunan jembatan, sistem IT berskala besar, atau pengadaan alat kesehatan berteknologi tinggi-kontraktual lebih tepat, karena penyedia profesional memiliki keahlian, alat, dan pengalaman yang dibutuhkan.

Sebaliknya, swakelola lebih cocok untuk proyek sederhana hingga menengah, seperti pelatihan masyarakat, kegiatan sosial, atau pekerjaan administratif. Kompleksitas teknisnya cenderung rendah hingga sedang dan tidak memerlukan sertifikasi teknis khusus.

7.3 Biaya Pengaman dan Jaminan

Salah satu keunggulan kontraktual adalah adanya jaminan hukum dan keuangan, seperti bank garansi, jaminan pelaksanaan, dan retensi. Hal ini memberikan rasa aman bagi pemerintah bahwa penyedia memiliki tanggung jawab yang dapat ditagih secara hukum jika pekerjaan gagal atau bermasalah.

Di sisi lain, swakelola tidak menggunakan jaminan bank, sehingga jika pelaksana gagal menyelesaikan pekerjaan, konsekuensinya lebih pada administrasi atau teguran kedinasan. Oleh karena itu, penting untuk menyeimbangkan fleksibilitas swakelola dengan pengawasan internal yang kuat.

7.4 Pemberdayaan SDM dan Masyarakat

Swakelola unggul dalam aspek pemberdayaan, baik terhadap pegawai internal (Tipe I dan II) maupun kelompok masyarakat (Tipe III). Kegiatan seperti pelatihan keterampilan, pembangunan sarana desa, atau program padat karya sangat tepat dilaksanakan melalui swakelola agar partisipasi langsung dari masyarakat dan instansi lokal dapat meningkat.

Sebaliknya, metode kontraktual lebih berfokus pada efisiensi dan kualitas pekerjaan secara profesional, namun relatif minim dalam melibatkan masyarakat secara langsung.

7.5 Transparansi dan Akuntabilitas

Kontraktual memiliki tingkat transparansi yang tinggi karena prosesnya diumumkan secara terbuka melalui e-Procurement (LPSE), hasil evaluasi dapat diakses publik, dan setiap kontrak terdokumentasi secara formal. Mekanisme ini memperkecil ruang kecurigaan atau manipulasi.

Namun, swakelola cenderung rawan disalahartikan sebagai “jalan pintas” karena tidak melalui tender terbuka. Jika tidak dipublikasikan, didokumentasi, dan diaudit secara ketat, potensi penyimpangan bisa meningkat, meskipun tujuan awalnya mulia.

7.6 Fleksibilitas Pelaksanaan

Swakelola lebih unggul dalam fleksibilitas karena tidak terikat oleh detail kontrak yang kaku. Misalnya, jika ada perubahan kecil dalam lokasi atau teknis, pelaksana bisa menyesuaikan tanpa proses adendum kontrak yang memakan waktu.

Sebaliknya, dalam kontraktual, semua perubahan harus tertuang dalam adendum kontrak, dan bahkan beberapa perubahan signifikan harus dikaji ulang secara hukum, sehingga mengurangi kemampuan instansi beradaptasi dengan situasi baru secara cepat.

Kesimpulan: Tidak ada metode yang “lebih baik” secara mutlak. Pemilihan metode harus disesuaikan dengan konteks proyek, risiko teknis, tingkat urgensi, dan tujuan jangka panjangnya.

8. Strategi Pengelolaan dan Rekomendasi Praktis

Agar kedua metode pengadaan ini dapat berjalan secara optimal, diperlukan strategi pengelolaan yang tidak hanya berbasis regulasi, tetapi juga adaptif terhadap dinamika lapangan, kapasitas SDM, dan risiko pelaksanaan. Berikut beberapa strategi dan rekomendasi praktis untuk satuan kerja atau instansi pengadaan:

1. Seleksi Metode yang Tepat Berdasarkan Karakteristik Paket

Langkah pertama yang sangat krusial adalah menentukan metode pengadaan sejak perencanaan awal. Kriteria berikut bisa menjadi acuan:

  • Gunakan kontraktual untuk paket bernilai besar, berisiko tinggi, memerlukan spesifikasi teknis kompleks, atau membutuhkan tanggung jawab hukum yang kuat.
  • Pilih swakelola untuk pekerjaan yang bersifat mendesak, sederhana, berbasis sosial, atau yang dapat dilaksanakan oleh SDM internal, Pokja antarinstansi, kelompok masyarakat, atau BUMD.

Ketepatan dalam menentukan metode akan mencegah pengulangan proses, kegagalan pelaksanaan, dan pemborosan anggaran.

2. Perkuat Kapasitas Internal dalam Pelaksanaan Swakelola

Banyak instansi belum terbiasa menjalankan swakelola secara terstruktur. Oleh karena itu:

  • Latih pegawai internal, baik di level teknis maupun administrasi, agar paham format RKBJ, pelaporan, pertanggungjawaban, dan dokumentasi pelaksanaan swakelola.
  • Kembangkan SOP swakelola, mulai dari tipe I hingga IV. SOP ini harus menjelaskan secara sistematis alur tugas, tahapan verifikasi, batas waktu pelaporan, serta standar hasil kerja.

Dengan kapasitas internal yang kuat, swakelola dapat menjadi alternatif efektif yang hemat biaya dan mendukung pemberdayaan.

3. Bangun Mekanisme Pengawasan Ganda

Pengawasan adalah kunci keberhasilan, terutama dalam swakelola yang tidak memiliki jaminan bank:

  • Gunakan kombinasi pengawasan internal dan eksternal. Misalnya, SPI memantau dokumen secara berkala, sedangkan Inspektorat Daerah melakukan verifikasi fisik di lapangan.
  • Terapkan sistem whistle-blowing bagi pelaksana atau masyarakat yang menemukan indikasi penyimpangan.
  • Gunakan dashboard monitoring digital, di mana progres pekerjaan dapat dipantau harian atau mingguan oleh pimpinan dan pengawas.

Keterbukaan dan teknologi akan memperkuat akuntabilitas swakelola, tanpa membuatnya kaku seperti kontraktual.

4. Optimalkan Transfer Pengetahuan dan Evaluasi Berkelanjutan

Setiap paket pengadaan, baik kontraktual maupun swakelola, menyimpan pelajaran penting bagi unit kerja. Sayangnya, banyak pengalaman dan temuan hanya tersimpan dalam memori individu, bukan sistem kelembagaan.

  • Buat laporan evaluasi sederhana berisi kendala, penyimpangan, inovasi, dan rekomendasi. Dokumen ini menjadi dasar pembelajaran bagi kegiatan serupa berikutnya.
  • Bagikan laporan ringkas kepada seluruh unit pengadaan di instansi, agar pembelajaran tidak berhenti di satu divisi atau satu orang saja.

Dengan berbagi pengetahuan, seluruh instansi akan naik kelas dalam tata kelola pengadaan.

9. Kesimpulan

Swakelola dan kontraktual merupakan dua metode pengadaan dengan karakteristik mendasar yang berbeda. Kontraktual menekankan proses pemilihan eksternal, jaminan hukum, dan standar mutu tinggi, cocok untuk proyek besar dan kompleks. Sementara swakelola menekankan efisiensi waktu, pemberdayaan internal, dan fleksibilitas, ideal untuk pekerjaan sederhana hingga menengah serta tujuan pemberdayaan masyarakat. Pemilihan metode yang tepat memerlukan analisis skala, kompleksitas, risiko, dan sumber daya yang tersedia. Dengan memahami perbedaan mendasar ini, pejabat pengadaan dan satuan kerja dapat merancang model pelaksanaan yang efisien, akuntabel, dan sesuai tujuan strategis pemerintah, sehingga tercapai hasil optimal serta penggunaan anggaran publik yang bertanggung jawab.