Celah Kolusi dalam Evaluasi Tender

Pendahuluan

Kolusi dalam pengadaan barang dan jasa publik adalah salah satu tantangan paling sistemik yang menggerogoti integritas proses tender. Di antara tahapan-tahapan pengadaan, evaluasi tender – di mana penawaran peserta diuji dan dibandingkan – menempati posisi strategis: keputusan yang diambil di tahap ini langsung menentukan pemenang, alokasi anggaran, dan kualitas hasil akhir. Karena itulah evaluasi tender juga menjadi titik fokus praktik-praktik curang, termasuk kolusi, yang bisa berlangsung antara pelaksana pengadaan (panitia/evaluator), peserta tender, maupun pihak ketiga yang berkepentingan.

Artikel ini membedah celah-celah spesifik dalam proses evaluasi yang sering dimanfaatkan untuk melakukan kolusi: bagaimana dokumen teknis dan administratif dimanipulasi, bagaimana scoring disusun atau diubah, bagaimana klarifikasi dan negosiasi menjadi pintu masuk, serta bagaimana konsorsium atau subkontrak dapat dipakai untuk menyamarkan kongkalikong. Selain itu kita akan menelaah faktor penyebab (lemahnya desain proses, tekanan waktu, konflik kepentingan, kelemahan sistem elektronik, dan lain-lain), dampak ekonomi dan sosialnya, serta menyodorkan rekomendasi teknis dan kebijakan untuk menutup celah-mulai dari perbaikan tata kelola, penerapan kontrol teknologi, hingga langkah-langkah penguatan sanksi dan transparansi.

Pendekatan tulisan ini bersifat analitis sekaligus praktis: setiap bagian menjelaskan dengan terperinci pola-pola yang muncul di lapangan, contoh ilustratif, dan langkah-langkah pencegahan yang dapat diterapkan oleh pembuat kebijakan, unit pengadaan, auditor, serta masyarakat pengawas. Tujuannya bukan hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga memberi peta jalan untuk menutup celah sehingga evaluasi tender menjadi lebih adil, kompetitif, dan akuntabel.

1. Definisi Kolusi dan Kerangka Hukum yang Relevan

Kolusi dalam konteks pengadaan merujuk pada kesepakatan tertutup antar-pihak untuk mengatur hasil tender sehingga menguntungkan pihak tertentu-baik itu antara penyedia dan evaluator, antar-penyedia, maupun antara pejabat pengadaan dan pihak luar. Kolusi berbeda dengan korupsi meskipun sering beririsan; korupsi menekankan pengambilan keuntungan pribadi atau suap, sementara kolusi menekankan koordinasi yang sengaja menyimpangkan persaingan untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Dalam praktik, kolusi sering kali melibatkan beberapa elemen: manipulasi dokumen, pembocoran informasi sensitif, pengaturan penawaran (bid rigging), dan pengaturan kriteria evaluasi.

Secara hukum, banyak yurisdiksi memiliki kerangka yang melarang kolusi-mulai dari peraturan pengadaan, peraturan anti-kartel, hingga ketentuan tindak pidana korupsi. Di samping sanksi pidana, terdapat pula sanksi administrasi seperti diskualifikasi, blacklist, dan pembatalan kontrak. Tapi keberadaan aturan tidak otomatis mereduksi praktik: hukum yang ada perlu didukung dengan desain proses yang tahan terhadap penyimpangan, kapasitas penegakan, serta mekanisme pencegahan proaktif.

Untuk memahami bagaimana celah muncul, penting memisahkan dua ranah: Norma dan aturan formal (misalnya dokumen pengadaan, kriteria evaluasi, pedoman LPSE/e-procurement), dan Praktik operasional sehari-hari (cara panitia menyusun dan menjalankan evaluasi, interaksi antar-tim, dan catatan komunikasi). Kolusi biasanya memanfaatkan ketidaksesuaian antara keduanya: celah muncul ketika aturan formal membiarkan ruang interpretasi besar, atau ketika praktik tidak diaudit sehingga komunikasi informal dapat menjadi medium kesepakatan.

Definisi yang jelas dan kerangka hukum yang tegas adalah langkah awal, tetapi tanpa mekanisme implementasi (mis. transparansi skor, audit independen, rotasi evaluator, dan perlindungan whistleblower) aturan itu tetap rentan dilanggar. Oleh sebab itu bagian-bagian selanjutnya akan fokus pada titik-titik rentan proses evaluasi dimana kolusi paling mudah berkembang, dan mengapa sekadar mengandalkan klausul larangan tidak pernah cukup.

2. Proses Evaluasi Tender: Titik Rawan untuk Kolusi

Proses evaluasi tender umumnya meliputi beberapa tahap berurutan: verifikasi administrasi, evaluasi teknis, evaluasi harga, komparasi nilai (scoring), klarifikasi atau negosiasi teknis, serta pemeringkatan dan penetapan pemenang. Pada tiap-tiap titik ini ada celah prosedural yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku kolusi jika tidak ada kontrol yang memadai.

  1. Verifikasi administrasi – tahap awal yang tampak administratif ini sering jadi pintu masuk. Jika syarat administratif tidak distandarisasi atau verifikasi dilakukan secara manual tanpa catatan jejak (audit trail), evaluator yang bersekongkol dapat membiarkan dokumen palsu atau yang tidak memenuhi syarat lolos untuk kemudian dimanipulasi dalam tahap berikutnya.
  2. Evaluasi teknis adalah area dengan penilaian subyektif besar: spesifikasi teknis, bobot penilaian, dan kriteria kelayakan dapat ditafsirkan secara luas. Ketika kriteria teknis dirumuskan terlalu sempit atau memberi bobot ekstrim pada aspek tertentu, itu membuka peluang bagi pihak yang telah ‘di-setting’ sebelumnya untuk memenangkan tender.
  3. Scoring dan komparasi harga-biasanya skema penilaian melibatkan rumus kombinasi antara harga dan kualitas. Jika rumus ini dirahasiakan atau perubahan bobot dilakukan di tengah proses (misalnya melalui addendum yang tidak disosialisasikan luas), evaluator internal dapat mengubah parameter sehingga skor akhir berpihak pada target tertentu.
  4. Sesi klarifikasi dan negosiasi teknis merupakan fase interaksi intens antara panitia dan penyedia. Tanpa dokumentasi lengkap atau akses publik terhadap notulen klarifikasi, sesi ini dapat menjadi medan tawar-menawar tertutup yang menguntungkan pihak yang berkolusi.
  5. Pengelolaan konsorsium dan subkontrak: panitia bisa membiarkan penyedia yang tidak memenuhi syarat untuk mengajukan konsorsium dengan mitra yang ‘dipoles’ atau subkontrak yang memindahkan tugas kritis ke pihak lain setelah proses seleksi-ini biasa dipakai untuk menyamarkan hubungan antara peserta dan ‘pemenang yang sudah ditentukan’.
  6. Penggunaan sistem elektronik (LPSE/e-procurement) seharusnya menutup celah, tetapi implementasi yang buruk – misalnya hak akses yang longgar, log aktivitas yang tidak diaudit, atau mekanisme perubahan dokumen yang lemah – dapat memberi peluang kolusi berbasis digital.
  7. Governance dan budaya organisasi juga menentukan. Tekanan target waktu, intervensi politis, dan konflik kepentingan tanpa deklarasi terbuka membuat panitia rentan terpengaruh. Evaluator yang tidak dipisahkan dari pihak yang berkepentingan, atau yang relatif ‘tergantung’ pada hubungan bisnis lokal akan lebih mudah digerakkan. Oleh karena itu, menutup celah bukan hanya soal memperketat aturan teknis, melainkan juga memperbaiki tata kelola, transparansi, dan sistem audit yang independen.

3. Bentuk-Bentuk Celah Kolusi dalam Praktik Evaluasi

Kolusi dalam evaluasi muncul dalam wujud yang beragam; mengenali pola-pola ini membantu merancang kontrol yang tepat. Berikut beberapa bentuk yang paling sering dijumpai:

  1. Manipulasi Spesifikasi dan Kriteria
    Panitia atau pihak pembuat spesifikasi merancang persyaratan teknis yang berlebihan, terlalu spesifik pada merek atau model tertentu, atau menempatkan bobot berlebih pada kriteria yang hanya dapat dipenuhi oleh calon pemenang yang sudah ‘ditentukan’. Bentuk ini halus namun efektif: secara formal tampak sah karena tertulis di dokumen pengadaan, tapi secara substansi merusak prinsip persaingan.
  2. Pengaturan Skor (Score Rigging)
    Setelah evaluasi teknis atau harga dilakukan, skor dapat disesuaikan di level kompilasi akhir-entah dengan mengubah bobot, menolak atau menerima klaim tertentu, atau memperlakukan catatan minor secara tidak proporsional. Hal ini sering terjadi bila tidak ada jejak audit yang kuat atau bila pembulatan skor diberi kebebasan penuh tanpa kriteria baku.
  3. Pembocoran Informasi Sensitif
    Informasi seperti rincian bobot evaluasi, rencana anggaran biaya (RAB) target, atau ambang nilai yang belum dipublikasikan dapat dibocorkan ke calon penyedia tertentu sehingga mereka dapat menyusun penawaran yang sempurna untuk mengalahkan pesaing. Pembocoran ini bisa terjadi melalui komunikasi informal, perantara, atau akses sistem yang tidak aman.
  4. Klarifikasi Tertutup dan Negosiasi Selektif
    Klarifikasi yang dilakukan hanya dengan satu atau beberapa penyedia tanpa dokumentasi publik memberi ruang negosiasi tertutup-misalnya menurunkan spesifikasi bagi pihak tertentu, atau memperbolehkan penyesuaian harga/teknis yang tidak diberikan ke peserta lain.
  5. Penggunaan Konsorsium dan Subkontrak untuk Menyembunyikan Hubungan
    Pihak yang ingin memenangkan tender dapat menggunakan entitas perantara (konsorsium, subkontraktor, atau perusahaan ‘cangkang’) untuk menyembunyikan hubungan bisnis dengan panitia atau investor yang berpengaruh. Setelah kontrak diperoleh, pekerjaan utama bisa dialihkan ke pihak yang sebenarnya bersekongkol.
  6. Diskualifikasi Tersembunyi dari Pesaing Serius
    Evaluator bisa menggunakan alasan administratif untuk mendiskualifikasi peserta yang berpotensi menang-misalnya menafsirkan dokumen pendukung sebagai tidak memenuhi format padahal substansinya valid. Diskualifikasi semacam ini sering tidak transparan dan sulit dibuktikan tanpa akses ke seluruh proses penilaian.
  7. Pengaturan melalui Subjektivitas Penilai
    Bila penilaian teknis bergantung pada penilai individu tanpa mekanisme cross-check dan normalisasi skor, kepentingan personal atau hubungan sosial dapat mempengaruhi hasil. Rotation evaluator yang jarang, peer review yang lemah, dan tidak adanya standar penilaian yang ketat mempermudah pola ini.
  8. Intervensi Pasca-evaluasi (Award Tailoring)
    Setelah pemenang ditetapkan, terjadi revisi ruang lingkup pekerjaan, perubahan spek, atau addendum kontrak yang menambah nilai bagi pemenang-dengan sedikit atau tanpa proses persaingan ulang.

Semua bentuk ini bisa terjadi secara bersamaan. Kuncinya adalah bahwa banyak praktik kolusi memanfaatkan kombinasi kelemahan prosedural, subjektivitas penilaian, dan kurangnya transparansi dokumentasi-sehingga pengawasan pasif saja tidak memadai. Langkah pencegahan perlu diarahkan untuk menutup tiap pola spesifik ini dengan intervensi teknis dan budaya tata kelola.

4. Faktor Penyebab yang Mempermudah Kolusi

Agar tindakan pencegahan efektif, perlu dipahami akar penyebab yang membuat kolusi mudah timbul. Faktor-faktor ini bersifat struktural, teknis, dan kultural:

  1. Kelemahan Desain Prosedural
    Prosedur evaluasi yang memberi kebebasan interpretasi besar pada penilai – misalnya kriteria yang ambigu, bobot penilaian yang fleksibel di lapangan, atau aturan klarifikasi yang tidak terstandarisasi – membuka ruang manipulasi. Prosedur yang tidak mensyaratkan dokumentasi lengkap pada setiap langkah juga memudahkan ‘pembersihan jejak’ setelah hasil ditentukan.
  2. Keterbatasan Kapasitas dan Profesionalisme
    Staf pengadaan yang kurang terlatih cenderung lebih mudah dipengaruhi. Kurangnya rotasi evaluator, tidak adanya sertifikasi wajib untuk tim evaluasi, dan ketergantungan pada konsultan eksternal (yang bisa memiliki konflik kepentingan) meningkatkan risiko kolusi.
  3. Konflik Kepentingan dan Intervensi Politik
    Ketika pejabat pengadaan atau pengambil keputusan memiliki hubungan bisnis atau tekanan politis untuk memilih pihak tertentu, integritas proses runtuh. Kurangnya deklarasi kepentingan dan mekanisme penanganannya memperburuk situasi.
  4. Tekanan Anggaran dan Waktu
    Batas waktu yang ketat dan target penyerapan anggaran dapat membuat panitia mengambil jalan pintas-misalnya mempercepat evaluasi atau menerima alasan administratif untuk diskualifikasi-yang berpotensi dimanfaatkan untuk kolusi.
  5. Insentif Ekonomi bagi Pelaku
    Keuntungan finansial yang besar dari pengadaan, ditambah peluang untuk membagi keuntungan melalui jaringan, menciptakan insentif kuat bagi kolusi. Di sisi lain, sanksi yang lemah atau proses penegakan yang lambat mengurangi biaya risiko bagi pelaku.
  6. Kekurangan Transparansi dan Pengawasan Publik
    Sistem yang menutup akses publik terhadap dokumen evaluasi, klarifikasi, dan notulen memudahkan tindakan tertutup. Absennya audit independen rutin dan keterlibatan masyarakat sipil sebagai pengawas membuat deteksi dini sulit terjadi.
  7. Kelemahan Teknologi Informasi
    Meskipun e-procurement seharusnya mengurangi praktik curang, implementasi yang buruk (bug, hak akses yang longgar, log yang tidak lengkap) bisa menjadi alat baru kolusi-misalnya pembocoran data melalui akses yang tidak terkontrol, atau manipulasi berkas sebelum dan sesudah unggah.
  8. Budaya Organisasi yang Toleran
    Dalam lingkungan yang menormalisasi hubungan dekat antara pelaksana pengadaan dan penyedia, praktik-praktik tidak etis dapat menjadi standar terselubung. Budaya seperti ini sulit diubah jika tidak ada komitmen pimpinan untuk menegakkan integritas.

Mengatasi kolusi berarti merombak kombinasi faktor-faktor di atas: memperbaiki prosedur, meningkatkan kapasitas SDM, memperketat tata kelola konflik kepentingan, memperkuat audit dan perlindungan pelapor, serta memastikan teknologi dipasang dan diaudit dengan baik.

5. Dampak Kolusi terhadap Pengadaan dan Publik

Kolusi bukan sekadar masalah teknis internal pengadaan: efeknya luas dan berdampak jangka panjang terhadap ekonomi, kualitas layanan publik, dan kepercayaan masyarakat.

  1. Kerugian Ekonomi Langsung
    Pengadaan yang hasilnya dikondisikan biasanya menghasilkan harga lebih tinggi dan kualitas lebih rendah daripada alternatif kompetitif. Pemerintah dan publik membayar lebih untuk layanan atau barang yang seharusnya dapat diperoleh dengan biaya lebih rendah. Akumulasi dari sejumlah kecil kasus kolusi dapat berarti pemborosan anggaran signifikan di tingkat nasional maupun daerah.
  2. Degradasi Kualitas dan Efektivitas Program
    Jika pemenang tender dipilih bukan berdasarkan kompetensi, pelaksanaan proyek cenderung bermasalah-keterlambatan, spesifikasi tidak sesuai, dan pengadaan barang/jasa yang tidak memenuhi kebutuhan. Dampaknya ke publik nyata: layanan publik menurun, infrastruktur cepat rusak, dan manfaat yang dijanjikan tidak tercapai.
  3. Distorsi Pasar dan Pengurangan Persaingan
    Kolusi mematikan persaingan sehat dan mendorong praktik oligopoli di sektor tertentu. Penyedia yang fair akan terdiskualifikasi atau memilih tidak ikut tender lagi, sehingga ketersediaan penyedia berkualitas menurun. Dalam jangka panjang ini menurunkan daya saing industri lokal.
  4. Kehilangan Kepercayaan Publik
    Ketika praktik kolusi terungkap atau terasa oleh publik, kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi pengadaan turun. Hilangnya legitimasi ini menyulitkan pemerintah menjalankan program, merekrut mitra, serta memperoleh dukungan masyarakat untuk kebijakan publik.
  5. Risiko Hukum dan Reputasi
    Kasus kolusi yang terbongkar berujung pada proses hukum, sanksi reputasi, dan potensi litigasi yang memakan waktu. Untuk organisasi yang menjadi pelaksana, dampaknya bisa berupa kehilangan kepercayaan mitra internasional, investor, dan pengambilan alih proyek.
  6. Biaya Pencegahan dan Pemulihan yang Tinggi
    Mengatasi luka akibat kolusi memerlukan biaya besar-audit, investigasi, perbaikan kontrak, dan pembentukan mekanisme pengawasan baru. Pembiayaan ini sebenarnya seharusnya dapat dipakai untuk hal produktif lain jika praktik kolusi tidak terjadi.

Kesimpulannya, kolusi adalah investasi negatif: keuntungan jangka pendek bagi aktor tertentu dibayar mahal oleh masyarakat luas dalam bentuk efisiensi yang hilang, kualitas menurun, dan kepercayaan publik yang terkikis. Ini menegaskan bahwa langkah pencegahan jauh lebih murah dan efektif dibandingkan penegakan pasca-peristiwa.

6. Ilustrasi Kasus dan Pola Umum (Studi Kasus Hipotetis)

Untuk mengilustrasikan bagaimana celah kolusi bekerja dalam praktik, berikut contoh hipotesis yang sering muncul di berbagai laporan dan hasil audit (diolah agar tidak merujuk pada kasus nyata tertentu):

Kasus Hipotetis: Proyek Pengadaan Peralatan Kesehatan di Sebuah Dinas Kesehatan DaerahSkenario: Dinas mengumumkan tender pengadaan paket peralatan kesehatan senilai besar. Dokumen pengadaan mensyaratkan pengalaman sebelumnya pada nilai minimal tertentu serta sertifikasi teknis tertentu yang hanya dimiliki oleh beberapa penyedia besar. Namun beberapa minggu sebelum pengumuman, seorang pegawai panitia menerima minta bantuan untuk ‘memuluskan’ proses dari seorang penyedia lokal yang ‘ingin menang’. Berikut pola yang muncul:

  1. Penyusunan Spesifikasi yang Sempit
    Spesifikasi teknis dirancang dengan istilah dan kode suku cadang yang hanya ada pada produk penyedia target. Merek tidak disebut eksplisit, tetapi parameter teknis yang dipilih membuat produk non-target sulit untuk memenuhi.
  2. Pembocoran Bobot Penilaian
    Bobot pembobotan antara kualitas dan harga yang idealnya dirahasiakan bocor ke pihak tertentu. Dengan informasi ini, penyedia target dapat menghitung harga yang memaksimalkan peluang menang (tidak terlalu murah sehingga mencurigakan, tidak terlalu mahal agar tetap menang).
  3. Proses Klarifikasi Tertutup
    Selama sesi klarifikasi, panitia memberi panduan teknis yang memudahkan calon penyedia target untuk menyesuaikan penawaran. Klarifikasi hanya dicatat secara internal tanpa notulen publik.
  4. Negosiasi Pasca-evaluasi yang Menguntungkan
    Setelah pemenang diumumkan, ada addendum yang mengubah ruang lingkup sehingga nilai kontrak meningkat; sebagian kerja dialihkan ke subkontraktor tertentu yang terkait dengan pemenang-menciptakan aliran keuntungan terselubung.

Dari skenario ini terlihat kombinasi tindakan: desain spesifikasi, pembocoran informasi, klarifikasi tertutup, dan perubahan kontrak-semua berkontribusi pada hasil yang sudah diatur. Pengungkapan kasus semacam ini biasanya memerlukan audit forensik dokumen, pemeriksaan jejak elektronik (email, log LPSE), dan kesaksian pelapor.

Pola Umum: Banyak kasus nyata mengikuti pola serupa: dimulai dari tindakan legal-formal (mis. penulisan spesifikasi atau addendum) yang tampak wajar, tetapi ketika dikaji secara keseluruhan menunjukkan keterkaitan antar tindakan yang menuntun pada hasil yang diprediksi. Oleh karena itu, analisis anti-kolusi efektif tidak hanya memeriksa satu tahap, tetapi menelusuri keseluruhan jejak proses, komunikasi, dan perubahan dokumen.

7. Strategi Pencegahan: Desain Proses, Teknologi, dan Pengawasan

Menutup celah kolusi memerlukan kombinasi solusi teknis, kebijakan, dan budaya. Berikut strategi yang dapat diterapkan di berbagai level:

  1. Desain Proses yang Ketat dan Transparan
    • Standarisasi dokumen: Buat template spesifikasi dan format klarifikasi yang meminimalkan ruang interpretasi.
    • Publikasi penuh: Semua dokumen tender (termasuk bobot penilaian, kriteria kelayakan, dan notulen klarifikasi) harus dipublikasikan dalam bentuk yang mudah diakses sebelum dan sesudah evaluasi.
    • Jejak audit wajib: Setiap langkah (login evaluator, skor input, revisi) harus tercatat dalam log yang tidak dapat dihapus dan tersedia untuk audit.
  2. Pemecahan dan Rotasi Tugas Evaluasi
    • Pemisahan fungsi: Verifikasi administrasi, evaluasi teknis, dan evaluasi harga harus dilakukan oleh unit yang berbeda untuk mengurangi risiko kolusi internal.
    • Rotasi evaluator: Penggiran tim secara berkala dan pembatasan masa jabatan mencegah terbentuknya relasi ‘terlalu akrab’.
    • Peer review: Skor teknis sebaiknya melalui review minimal dua evaluator independen, dengan mekanisme normalisasi jika terdapat deviasi besar.
  3. Teknologi Penguatan Integritas
    • e-Procurement yang aman: Sistem harus menerapkan kontrol hak akses ketat, enkripsi, dan jejak log yang immutable.
    • Analitik anomali: Gunakan data analytics untuk mendeteksi pola mencurigakan-mis. skor yang sering berpihak, korelasi harga yang tidak wajar, atau persaingan yang terkontrol (bid rotation).
    • Whistleblower digital: Jalur pelaporan aman dan anonim yang terintegrasi ke sistem pengadaan memudahkan pelapor untuk membuka praktik tidak etis.
  4. Perkuat Penanganan Konflik Kepentingan
    • Deklarasi berkala: Semua anggota panitia wajib deklarasi tertulis terkait hubungan bisnis atau keluarga dengan peserta tender.
    • Mekanisme recusal: Jika konflik ditemukan, anggota harus dipaksa mundur dari proses tanpa intervensi.
  5. Sanksi Tegas dan Penegakan Hukum Cepat
    • Skala sanksi yang proporsional: Diskualifikasi, blacklist, denda administrasi, pemutusan kontrak, dan rujukan pidana harus diberlakukan dan dieksekusi.
    • Publisitas hukuman: Mengumumkan sanksi secara publik memberi efek jera.
  6. Peningkatan Kapasitas dan Budaya Integritas
    • Sertifikasi pengadaan: Pelatihan formal dan sertifikasi untuk evaluator dan pejabat pengadaan.
    • Pendidikan etika: Kampanye internal dan pelatihan anti-korupsi untuk membangun budaya yang menolak kolusi.
    • Keterlibatan publik: Membuka ruang partisipasi masyarakat atau asosiasi penyedia untuk oversight independen.
  7. Kolaborasi Antarlembaga dan Audit Independen
    • Audit berkala oleh badan independen dan audit forensik bila terindikasi anomali.
    • Pertukaran data antar-lembaga untuk mendeteksi pola penyedia yang sering terlibat dalam kasus.

Implementasi strategi ini memerlukan komitmen pemerintahan serta investasi teknologi dan kapasitas. Namun manfaatnya jelas: pengurangan pemborosan, peningkatan kualitas barang/jasa, dan pengembalian kepercayaan publik.

Kesimpulan

Kolusi dalam evaluasi tender bukan sekadar masalah moral individu, melainkan kegagalan sistem yang muncul dari celah prosedural, kelemahan tata kelola, tekanan ekonomi, dan budaya organisasi yang permisif. Karena evaluasi adalah determinan utama pemenang tender, celah-celah di tahap ini menjadi medan subur bagi praktik kolusi-mulai dari manipulasi spesifikasi dan pembocoran informasi, hingga score rigging dan perubahan kontrak pasca-penetapan pemenang. Dampaknya luas: pemborosan anggaran, menurunnya kualitas layanan publik, distorsi pasar, dan terkikisnya kepercayaan publik.

Menutup celah tersebut memerlukan kombinasi tindakan: desain proses yang ketat dan transparan, pemisahan dan rotasi fungsi evaluasi, penerapan teknologi yang aman dan analitik untuk mendeteksi anomali, serta mekanisme pelaporan dan sanksi yang efektif. Di samping itu, investasi pada kapasitas SDM, sertifikasi profesi pengadaan, dan pembangunan budaya integritas adalah kunci jangka panjang. Pencegahan yang efektif jauh lebih murah dan berdampak ketimbang penindakan setelah peristiwa.

Akhir kata, upaya melawan kolusi harus menjadi prioritas kolektif: pembuat kebijakan, aparat pengadaan, penegak hukum, penyedia barang/jasa yang fair, dan masyarakat sipil perlu bersinergi. Hanya dengan perbaikan menyeluruh-taktis dan kultural-proses evaluasi tender bisa berubah dari titik rawan menjadi benteng integritas, sehingga pengadaan publik benar-benar melayani kepentingan umum dan bukan segelintir pihak.