Pendahuluan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah tulang punggung perekonomian Indonesia: menyerap tenaga kerja, menyebar kesejahteraan di daerah, serta menjadi penyangga saat krisis ekonomi. Pemerintah sendiri mendorong keterlibatan UMKM dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai salah satu strategi pemulihan dan pemberdayaan ekonomi. Namun pada praktiknya, banyak aturan tender – baik yang formal maupun implementatif – masih menciptakan hambatan nyata bagi UMKM untuk bersaing dan menang dalam proyek-proyek pemerintah. Artikel ini mengurai jenis-jenis aturan yang menyulitkan UMKM, akar masalahnya, dampak yang muncul, serta rekomendasi kebijakan dan langkah praktis yang dapat membantu UMKM mengatasi hambatan tersebut.
(Paragraf pendahuluan ini bertujuan memberi kerangka: kita akan membahas aturan formal (Perpres/Peraturan LKPP), persyaratan administratif dan kualifikasi, tantangan digitalisasi, skala ekonomi dan paket yang digabung, serta praktik lelang yang menguntungkan pelaku besar.)
1. Gambaran singkat regulasi-apa yang berubah akhir-akhir ini
Beberapa tahun terakhir terjadi gelombang pembaruan aturan pengadaan di Indonesia. Perubahan penting termasuk kelengkapan aturan turunan dari Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang direvisi beberapa kali; misalnya Perpres yang terakhir merevisi Perpres 16/2018 adalah Perpres Nomor 46 Tahun 2025 (Perubahan Kedua), yang menjadi kerangka hukum mutakhir pengadaan pemerintah. Perubahan-perubahan ini bermaksud memperbaiki tata kelola, memasukkan ketentuan preferensi produk dalam negeri, serta mendorong peran UMKM melalui mekanisme tertentu.
Sebelumnya juga ada perubahan penting yang membuka peluang bagi UMKM, misalnya Perpres Nomor 12 Tahun 2021 (perubahan atas Perpres 16/2018) yang bersama Peraturan Pemerintah Nomor 7/2021 menjadi landasan perluasan keterlibatan UMK/UMKM – termasuk menaikkan batas nilai paket yang diperuntukkan bagi usaha kecil hingga sekitar Rp15 miliar pada sejumlah ketentuan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa meskipun ada aturan yang “pro-UMKM”, implementasi teknis dan aturan turunannya seringkali menetapkan syarat yang membuat UMKM sulit bersaing.
2. Jenis aturan tender yang paling menyulitkan UMKM
1. Persyaratan administrasi dan legalitas yang berlapis
Banyak pengumuman tender meminta dokumen administratif yang tampak wajar-akta perusahaan, NPWP, SIUP/TDP (atau NIB/IUMK), izin sektoral, daftar pengalaman (contract history), laporan keuangan audited, serta bukti kemampuan keuangan seperti rekening koran atau surat pernyataan bank. Untuk UMKM mikro dan kecil yang beroperasi informal atau berbentuk perseorangan/kelompok (mis. IUMK), pengumpulan dokumen ini bisa jadi beban berat: biaya pengurusan akta, biaya audit laporan keuangan, atau bahkan ketidaksesuaian format dokumen lokal dengan kebutuhan panitia. Selain itu, permintaan akta perseroan, SIUP, atau sertifikat tertentu otomatis mengecualikan pelaku mikro yang belum berbadan hukum atau belum terdaftar lengkap di level pusat. Hal ini memperkecil ruang partisipasi UMKM, apalagi di daerah terpencil. (Sumber-sumber teknis LPSE dan panduan tahapan tender menegaskan jenis-jenis dokumen yang umum diminta).
2. Syarat pengalaman (track record) dan kapasitas teknis yang tidak proporsional
Banyak paket tender mewajibkan pengalaman sebelumnya pada nilai proyek tertentu atau pengalaman serupa (mis. harus pernah mengerjakan proyek minimal X nilai dalam Y tahun terakhir). Ketentuan ini sering dirancang untuk menekan risiko pemilihan penyedia, tetapi bagi UMKM yang baru berkembang atau yang belum pernah menang tender pemerintah, persyaratan pengalaman semacam ini menjadi penghalang substantif. Kondisi ini diperparah bila panitia meminta pengalaman yang “spesifik” (mis. mereferensi merek besar atau proyek skala nasional), sehingga UMKM yang secara teknis mampu tetapi tidak memiliki portofolio formal tertolak. Beberapa peraturan menegaskan kualifikasi menurut rentang nilai paket, namun praktik pemeriksaan pengalaman tetap menimbulkan kendala.
3. Persyaratan jaminan dan instrumen keuangan (bank guarantee, uang jaminan)
Tender sering mensyaratkan jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan, dan jaminan pemeliharaan dalam bentuk bank guarantee atau uang tunai sejumlah persentase nilai kontrak. Bagi UMKM dengan modal kerja tipis, akses ke fasilitas bank dan kemampuan menyediakan jaminan dalam waktu singkat tidak selalu tersedia. Selain itu, biaya untuk mengurus jaminan (biaya administrasi bank, biaya asuransi, atau menyandarkan aset jaminan) bisa menggerus margin sehingga secara ekonomis proyek tersebut menjadi tidak menarik. Hal ini membuat UMKM enggan ikut meskipun kompetensi teknis ada. (Panduan tender dan praktik LPSE sering mencantumkan persentase jaminan; praktik ini dilaporkan menyulitkan UMKM).
4. Ketentuan teknis dan standar kualitas yang mahal atau tidak relevan
Spesifikasi teknis yang “di atas kebutuhan” atau menghendaki merek/komponen tertentu (single source), sertifikasi internasional, atau standar teknis mahal menyebabkan UMKM kalah bersaing pada aspek harga. Misalnya, paket yang mensyaratkan sertifikat ISO tertentu, bahan impor, atau mesin khusus akan mendorong pelaku besar yang sudah memiliki rantai pasok dan certifikasi untuk mengambil alih proyek. Sementara UMKM yang mampu bekerja secara lokal dan lebih murah tidak lolos karena tidak memenuhi standar dokumenter. Hal ini juga disebabkan rancangan spesifikasi yang kurang mempertimbangkan kapasitas lokal atau produk dalam negeri.
5. Sistem elektronik (LPSE/e-procurement) dan literasi digital
Digitalisasi pengadaan melalui LPSE dan sistem e-procurement dimaksudkan untuk transparansi dan efisiensi. Namun realitasnya banyak UMKM di daerah kesulitan: akses internet terbatas, kurangnya kemampuan mengoperasikan platform, serta persyaratan upload dokumen digital dalam format tertentu. Selain itu, proses clarifikasi atau komunikasi lewat sistem seringkali memakan waktu dan membutuhkan pengalaman teknis yang belum dimiliki banyak UMKM. Kesenjangan digital ini menjadi penghambat partisipasi sekaligus menambah biaya (harus menyewa jasa konsultan tender atau pihak ketiga untuk ikut serta).
6. Praktik penggabungan paket (consolidation) dan ambang nilai yang tidak ramah UMKM
Salah satu tren pengadaan adalah konsolidasi paket untuk efisiensi-menggabungkan beberapa paket kecil menjadi satu paket besar. Meskipun logis dari sisi pengelola anggaran, langkah ini mengurangi peluang bagi UMKM yang biasanya optimal pada paket-paket kecil atau lokal. Ketentuan kualifikasi berdasarkan nilai ambang (kualifikasi usaha menengah/besar) juga berarti paket gabungan hanya bisa diikuti oleh perusahaan besar. Di sisi lain, beberapa aturan memang memperkenalkan batasan nilai yang ditujukan untuk usaha kecil (mis. paket sampai Rp15 miliar diperuntukkan usaha kecil/koperasi menurut beberapa aturan sebelumnya), tetapi praktik penggabungan dan desain RUP (Rencana Umum Pengadaan) sering mengabaikan alokasi paket mikro/kecil yang memadai.
7. Konflik antara kebijakan preferensi (produk dalam negeri / UMKM) dan kriteria pemilihan teknis
Ada dorongan kebijakan untuk mendorong produk dalam negeri (TKDN, preferensi harga), namun pada level tender tim panitia masih memprioritaskan kriteria teknis atau pengalaman yang condong ke pelaku besar/luar daerah. Akibatnya, manfaat kebijakan preferensi tidak selalu jatuh ke UMKM lokal karena penghitungan nilai preferensi, pengecualian teknis, atau prosedur verifikasi TKDN yang rumit. Instrumen preferensi juga bervariasi antar K/L/PD sehingga tidak konsisten.
3. Dampak aturan-aturan itu terhadap UMKM dan ekosistem pengadaan
- Partisipasi rendah dari UMKM: Banyak UMKM tidak berani atau tidak mampu mendaftar karena beban administrasi, jaminan, atau syarat pengalaman. Ini berarti pasar pengadaan menjadi terkonsentrasi pada pemain besar.
- Beban biaya dan kesempatan yang hilang: Waktu, biaya mengurus dokumen, serta biaya untuk mendapatkan jaminan membuat margin proyek kecil menjadi tipis bahkan negatif. UMKM kehilangan kesempatan pendapatan yang relatif stabil.
- Ketergantungan pada perantara: Untuk mengatasi hambatan digital dan administrasi, UMKM sering menggunakan broker atau konsultan tender berbayar, yang menggerus margin dan memperkenalkan praktik pasar yang kurang efisien.
- Kesenjangan antar-daerah: UMKM di daerah terpencil paling dirugikan karena akses informasi, pelatihan, dan infrastruktur digital lebih buruk. Akibatnya program pengadaan yang seharusnya mendistribusikan kesejahteraan justru memperbesarpusat-peripheri disparity.
- Risiko mutu dan keberlanjutan: Karena sistem menolak UMKM yang tidak terdokumentasi padahal mereka punya kemampuan lokal, proyek pemerintah kadang terlepas dari nilai tambah lokal (supply chain lokal) dan potensi pengembangan kapasitas jangka panjang.
4. Akar permasalahan: mengapa aturan yang “netral” bisa menjadi diskriminatif?
- Asimetri informasi dan kapasitas: Pembuat aturan seringkali berangkat dari perspektif pengurangan risiko administratif tanpa mempertimbangkan keterbatasan kapasitas UMKM. Sehingga aturan yang sama memberatkan pelaku kecil.
- Desain kualifikasi berdasarkan nilai tanpa fleksibilitas: Penggunaan ambang nilai kaku untuk pengalaman atau kapasitas membuat kebijakan “satu ukuran” berlaku untuk semua konteks; sedangkan paket pengadaan sangat beragam.
- Implementasi yang tidak konsisten antar unit pengadaan: Meski ada ketentuan pro-UMKM di regulasi pusat, interpretasi dan implementasi di tingkat kementerian/lembaga/daerah berbeda-beda. Kekurangan sosialisasi dan monitoring membuat kebijakan tidak efektif.
- Tekanan efisiensi anggaran vs. tujuan pemberdayaan: Pengelola anggaran sering memilih konsolidasi demi efisiensi, tetapi trade-off ini mengorbankan tujuan pemberdayaan UMKM.
- Kesenjangan digital dan infrastruktur: Transformasi ke e-procurement belum diikuti oleh peningkatan literasi digital dan infrastruktur daerah sehingga pemanfaatan sistem menjadi timpang.
5. Upaya kebijakan yang sudah ada – dan mengapa belum cukup
Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mendorong peran UMKM: penetapan kuota/alokasi anggaran untuk UMKM, kenaikan batas nilai paket yang boleh diikuti UMKM hingga Rp15 miliar pada sejumlah ketentuan, pemanfaatan katalog elektronik dan Katalog Lokal, serta program pelatihan dan akreditasi penyedia UMKM oleh LKPP. LKPP misalnya aktif mempromosikan katalog elektronik versi terbaru dan berbagai langkah fasilitasi agar produk UMKM masuk rantai pasok publik. Namun implementasi nyata – alokasi RUP yang konsisten, verifikasi TKDN/produk lokal yang mudah, sekaligus pendelegasian paket ke level daerah – masih menghadapi hambatan teknis dan koordinasi.
6. Rekomendasi kebijakan (level makro) untuk membuat aturan tender ramah UMKM
- Standarisasi dan simplifikasi dokumen untuk UMKM
- Tetapkan format dokumen minimal khusus UMKM (mis. IUMK/NIB + pernyataan kapasitas + daftar riwayat usaha sederhana) yang diterima di seluruh K/L/PD.
- Hapus atau berikan pengecualian untuk persyaratan audit laporan keuangan untuk UMKM di bawah ambang tertentu; gunakan alternatif seperti rekening bank atau Surat Keterangan Usaha.
- Fleksibilitas kualifikasi dan penilaian pengalaman
- Kembangkan mekanisme “substitusi pengalaman” (mis. pengalaman non-pemerintah, kontrak swasta, referensi klien) yang diakui panitia.
- Terapkan “mini-kompetisi” dan paket mikro khusus UMKM sehingga mereka bersaing setara.
- Reformasi jaminan dan instrumen keuangan
- Perkenalkan jaminan alternatif: asuransi kredit usaha kecil yang disubsidi, jaminan bank mikro, atau mekanisme pembebasan jaminan untuk paket tertentu.
- Kerja sama dengan lembaga pembiayaan untuk produk jaminan yang terjangkau.
- Desain RUP yang pro-UMKM
- Wajibkan RUP mengalokasikan persentase paket yang dapat diikuti UMKM berdasarkan kajian potensi lokal (mis. minimal X% paket bernilai <Y).
- Batasi konsolidasi paket yang tidak mempertimbangkan dampak pada UMKM lokal.
- Perkuat Katalog Elektronik & integrasi produk UMKM
- Dukungan LKPP untuk memasukkan produk UMKM ke katalog elektronik (Katalog Nasional dan Katalog Lokal), termasuk verifikasi mudah dan pemasaran aktif.
- Pelatihan, pendampingan, dan digital inclusion
- Program pelatihan tata cara tender, workshop pembuatan dokumen, serta pendampingan pengisian LPSE.
- Investasi infrastruktur digital di daerah tertinggal sehingga akses e-procurement tak jadi kendala.
- Monitoring, evaluasi, dan insentif kinerja daerah
- Buat indikator pengadaan ramah UMKM dalam penilaian kinerja pengelola pengadaan daerah; berikan insentif bagi unit yang berhasil meningkatkan persentase belanja untuk UMKM.
7. Rekomendasi praktis untuk UMKM (langkah langsung yang dapat dilakukan sekarang)
- Lengkapi dokumen dasar yang sering diminta
- Urus NIB/IUMK (OSS), NPWP, dan tanda tangan digital; simpan template akta/pernyataan yang rapi. Usahakan memiliki rekening usaha yang jelas untuk bukti transaksi.
- Bangun portofolio dan referensi non-pemerintah
- Kumpulkan kontrak/nota dari proyek swasta, surat rekomendasi klien, dan dokumentasi foto/laporan kerja; ini bisa digunakan sebagai “substitusi pengalaman” saat mengikuti tender.
- Manfaatkan Katalog Elektronik & marketplace pemerintah
- Daftarkan produk/jasa ke katalog elektronik nasional atau lokal; sering kali proses ini mempermudah pembelian langsung oleh unit kerja.
- Kolaborasi dan konsorsium lokal
- Bentuk konsorsium dengan UMKM lain untuk memenuhi kapasitas atau pengalaman yang diminta. Konsorsium dapat berbagi sumber daya, alat, dan tenaga ahli sehingga memenuhi kualifikasi paket yang sedikit lebih besar.
- Cerdas menghadapi persyaratan jaminan
- Pelajari alternatif jaminan seperti jaminan asuransi, atau ajukan diskusi pada panitia tentang skema penyelesaian jaminan (mis. bertahap).
- Tingkatkan literasi digital dan manfaatkan jasa pendampingan
- Ikuti pelatihan LPSE/LKPP di tingkat provinsi/kabupaten. Jika perlu, gunakan jasa konsultan hanya untuk bagian pendaftaran elektronik, bukan keseluruhan dokumen, guna menekan biaya.
- Aktif memanfaatkan peluang paket kecil / pengadaan langsung
- Cari paket pengadaan nilai kecil (pengadaan langsung atau e-catalog) yang lebih mudah diakses; bangun rekam jejak dengan menang paket kecil sebelum naik skala.
8. Contoh kasus singkat (ilustrasi masalah dan solusi)
Misalnya sebuah UMKM pengrajin lokal yang memproduksi kursi rotan ingin mengikuti tender pengadaan perabot kantor di sebuah badan pemerintah daerah. Pengumuman meminta sertifikat ISO, pengalaman pengadaan minimal Rp500 juta per kontrak dalam 3 tahun terakhir, serta bank guarantee 5% dari nilai kontrak. UMKM tersebut memiliki kemampuan produksi dan kapasitas serupa, tetapi tidak punya sertifikat ISO, tidak memiliki pengalaman kontrak pemerintah formal, dan tidak memiliki akses ke jaminan bank. Akibatnya, dia tersingkir meskipun harga dan kualitas kompetitif.
Solusi pragmatis: panitia dapat menerima substitusi pengalaman (contoh: kontrak dengan hotel lokal atau bukti supply ke toko besar) dan menurunkan persyaratan sertifikasi untuk paket lokal, atau membuka paket melalui katalog lokal. UMKM dapat membentuk koalisi dengan pengrajin lain untuk memenuhi nilai pengalaman dan meminta Lembaga Pengembangan UMKM/Disperindag setempat membantu verifikasi portofolio sehingga persyaratan admin terpenuhi.
Kesimpulan
Aturan tender yang menyulitkan UMKM bukan semata masalah teknis atau niat buruk; seringkali ini hasil dari desain kebijakan yang menimbang efisiensi, risiko, dan kepatuhan administratif tanpa cukup memperhitungkan realitas kapasitas UMKM di lapangan. Meski ada perubahan regulasi yang memberikan ruang bagi UMKM (mis. kenaikan ambang nilai tertentu dan dorongan katalog elektronik), tantangan implementasi – seperti persyaratan administrasi yang berlapis, jaminan keuangan, spesifikasi teknis yang berat, dan kesenjangan digital – masih menghambat pemanfaatan peluang oleh UMKM.
Untuk mengatasi masalah ini perlu kombinasi kebijakan (simplifikasi dokumen, fleksibilitas kualifikasi, reformasi jaminan), desain pengadaan yang sadar UMKM (RUP yang memperhatikan paket kecil dan lokal), serta program pendampingan praktis (pelatihan LPSE, pemasukan ke katalog elektronik, bantuan keuangan mikro). Di sisi UMKM, langkah-langkah adaptif seperti melengkapi dokumen dasar, membangun portofolio alternatif, kolaborasi antar-UMKM, dan memanfaatkan katalog elektronik dapat meningkatkan peluang menang.
Agar tujuan pembangunan inklusif tercapai, pengadaan publik harus benar-benar menjadi instrumen pemberdayaan – bukan hanya mekanisme efisiensi belanja. Menyusun aturan yang adil berarti merancang aturan yang mempertimbangkan konteks pelaku ekonomi yang beragam; dan di sinilah titik tumpu perubahan: bukan sekadar mengubah pasal dalam peraturan, melainkan menyelaraskan implementasi, literasi, serta akses finansial dan digital untuk memastikan UMKM benar-benar bisa turun ke arena tender dengan peluang yang layak.