Digitalisasi PBJ dalam Kondisi Krisis

Pada era modern ini, pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah memasuki babak transformasi digital yang sangat krusial—terlebih lagi ketika menghadapi kondisi krisis seperti pandemi, bencana alam, atau kegawatan ekonomi. Digitalisasi PBJ bukan sekadar memindahkan proses manual ke dalam sistem elektronik, melainkan merevolusi seluruh rantai nilai pengadaan: dari perencanaan, pemilihan penyedia, pelaksanaan kontrak, hingga pemantauan pasca-serah terima.

1. Urgensi Digitalisasi PBJ dalam Kondisi Krisis

Dalam situasi krisis, waktu adalah faktor penentu antara selamat atau tidaknya nyawa, antara tanggap atau gagalnya respons negara. Pengadaan barang dan jasa (PBJ) menjadi ujung tombak dalam menyediakan logistik, infrastruktur, dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk menangani krisis secara efisien. Namun, sistem PBJ konvensional—yang kaku, lambat, dan bergantung pada proses manual—sering kali menjadi hambatan utama.

Penundaan Penanganan Akibat Prosedur Manual

Prosedur PBJ sebelum digitalisasi memerlukan tahapan administratif panjang yang mencakup pengumpulan kebutuhan, penyusunan dokumen pengadaan, pengajuan ke Unit Layanan Pengadaan (ULP), pelelangan, kontrak, hingga pencairan anggaran. Dalam kondisi normal, ini bisa berlangsung beberapa minggu hingga bulan. Tetapi dalam situasi krisis—misalnya banjir besar atau pandemi—proses ini menjadi tidak relevan secara waktu. Keterlambatan sehari saja bisa berarti distribusi bantuan yang gagal, rumah sakit kehabisan stok oksigen, atau ribuan warga terlantar tidak menerima makanan dan selimut.

Rentan Terhadap Korupsi dan Kolusi

Saat proses berlangsung tertutup dan tidak terdokumentasi dengan baik secara digital, peluang penyalahgunaan sangat tinggi. Mark-up harga dengan alasan “darurat”, pengadaan fiktif yang tidak pernah sampai ke lokasi bencana, atau pemilihan penyedia yang tidak kompeten, sering kali terjadi karena tidak adanya jejak digital yang transparan dan dapat ditelusuri. Ini diperparah dengan minimnya pelibatan masyarakat dan pengawas independen selama proses pengadaan manual berlangsung.

Transparansi yang Hilang di Tengah Kekacauan

Tanpa sistem digital, masyarakat, media, dan lembaga pengawas kesulitan memantau progres pengadaan. Data pengeluaran dan realisasi distribusi biasanya hanya tersedia pasca-krisis, dan sering kali telah melewati tenggat audit. Akibatnya, banyak temuan kerugian negara baru muncul setelah korban sudah tidak tertolong. Kepercayaan publik terhadap pemerintah pun turun drastis, memunculkan opini negatif bahkan di saat upaya nyata telah dilakukan.

Koordinasi Terhambat

Dalam kondisi krisis, koordinasi antarinstansi sangat krusial. BPBD, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, TNI/Polri, serta lembaga keuangan harus bisa berbagi data secara cepat dan akurat. Proses manual menyebabkan inefisiensi: satu unit menunggu konfirmasi dokumen dari unit lain, distribusi logistik tumpang tindih, atau justru daerah terdampak tidak terjangkau. Digitalisasi memungkinkan dashboard terpadu yang bisa dilihat semua pihak dan menjadi basis koordinasi.

Solusi melalui Digitalisasi

Digitalisasi PBJ mengubah paradigma dari reaktif ke proaktif. Sistem seperti SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik), SIRUP (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan), dan e‑Catalog LKPP memungkinkan pemerintah mengeksekusi pengadaan dalam hitungan jam dengan akurasi dan transparansi tinggi. Semua data terekam otomatis, penyedia bisa dipilih dengan satu klik, dan masyarakat dapat mengawasi distribusi secara langsung melalui portal informasi publik.

2. Komponen Utama Digitalisasi PBJ

Transformasi digital dalam PBJ tidak sekadar mengubah media dokumen dari kertas ke digital. Ia adalah upaya menyeluruh yang membangun sistem elektronik end-to-end, dari perencanaan kebutuhan hingga serah terima barang dan evaluasi. Setiap komponen saling terkoneksi dan bekerja dalam satu ekosistem yang mempercepat proses sekaligus menjaga integritas.

E‑Planning: Merencanakan dengan Data, Bukan Asumsi

E‑planning memungkinkan instansi merancang Rencana Umum Pengadaan (RUP) berdasarkan kebutuhan aktual yang terdokumentasi dalam sistem. Modul ini tidak hanya mencatat nama paket, tetapi juga menyimpan informasi teknis, estimasi harga berdasarkan data historis, serta urgensi pengadaan. Dalam kondisi krisis, RUP bisa dimodifikasi dengan mudah untuk memasukkan paket-paket darurat tanpa harus membuat ulang proses dari nol. Hal ini sangat penting untuk adaptasi cepat terhadap perkembangan situasi lapangan.

E‑Catalog: Belanja Langsung dengan Harga Terstandar

Katalog elektronik adalah salah satu inovasi kunci dalam PBJ digital. Sistem ini berisi daftar barang dan jasa dari penyedia yang telah melalui proses seleksi. Harga sudah ditentukan dan distandarkan. Dalam kondisi darurat, pemerintah bisa membeli langsung masker, APD, genset, atau tenda tanpa tender panjang. Penyedia cukup menampilkan produk mereka di katalog, dan pengguna cukup mengklik item sesuai kebutuhan. Ini menekan praktik mark-up harga dan mempercepat transaksi.

E‑Tendering dan E‑Auction: Kompetisi Sehat dalam Sekejap

Tender elektronik memungkinkan proses seleksi penyedia dilakukan secara online, terbuka, dan terdokumentasi sepenuhnya. Sesi e‑auction (lelang online) memungkinkan penyedia bersaing menurunkan harga dalam waktu nyata. Evaluasi teknis dan harga dapat dilakukan secara transparan dan disimpan sebagai data digital yang siap diaudit. Proses yang sebelumnya memakan 3–4 minggu kini bisa diselesaikan dalam 5–7 hari saja.

E‑Direct Procurement: Solusi Cepat untuk Nilai Kecil dan Urgen

Untuk pengadaan dengan nilai kecil atau yang bersifat darurat, sistem penunjukan langsung elektronik memberikan solusi yang efisien. Seluruh proses pencatatan, persetujuan, dan kontrak dilakukan secara online. Ini sangat berguna saat harus mengadakan logistik dalam waktu singkat di lokasi bencana.

E‑Contracting: Jaminan Keamanan Hukum dan Efisiensi

Kontrak elektronik meniadakan kebutuhan tanda tangan fisik, yang seringkali menghambat proses jika pejabat sedang tidak di lokasi. Dengan tanda tangan digital tersertifikasi, validitas hukum tetap terjaga. Sistem juga memungkinkan manajemen kontrak: pemantauan progres pekerjaan, termin pembayaran, hingga pengembalian jaminan pelaksanaan.

E‑Monitoring & Dashboard: Informasi Real-Time untuk Semua Pihak

Dashboard digital memungkinkan semua pihak melihat progres pengadaan: apakah barang sudah dipesan, dikirim, diterima, atau mengalami kendala. Ini menciptakan akuntabilitas publik dan mendorong koordinasi antarsektor. Dalam krisis, dashboard menjadi alat vital untuk distribusi bantuan dan pengendalian stok logistik.

Integrasi Keuangan dan Logistik: Menyatukan Sistem agar Tak Tumpang Tindih

PBJ digital tidak berdiri sendiri. Ia harus terhubung dengan sistem keuangan pemerintah (seperti SPAN, SIMDA) dan sistem logistik (gudang, transportasi). Dengan integrasi ini, proses penganggaran, pembayaran, pelaporan, dan pengiriman dapat disinkronkan secara otomatis. Hasilnya adalah efisiensi luar biasa dan pengurangan risiko kesalahan manusia.

3. Tantangan Implementasi di Kondisi Darurat

Meski digitalisasi PBJ menjanjikan percepatan dan efisiensi, implementasinya di tengah krisis bukanlah tanpa hambatan. Krisis menciptakan tekanan luar biasa terhadap infrastruktur, SDM, dan kelembagaan. Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap tantangan ini sangat diperlukan agar sistem digital yang dibangun benar-benar dapat diandalkan saat dibutuhkan.

Kapasitas Infrastruktur TI: Masalah Koneksi = Masalah Respons

Sistem digital hanya sekuat jaringan dan server yang mendukungnya. Dalam kondisi bencana, seperti gempa atau banjir, jaringan internet dan listrik bisa lumpuh total. Jika tidak ada sistem cadangan (redundansi), maka proses PBJ digital bisa terhenti, dan respons pun melambat. Oleh karena itu, perlu disiapkan pusat data sekunder, layanan cloud, dan bahkan sistem berbasis satelit untuk daerah 3T atau lokasi terdampak berat.

Kesiapan SDM: Digitalisasi Butuh Kompetensi

Transisi dari sistem manual ke digital memerlukan SDM yang paham tidak hanya teknis sistem, tetapi juga regulasi pengadaan dan hukum digital. Pegawai yang tidak akrab dengan aplikasi e‑procurement dapat membuat kesalahan input, memilih penyedia yang salah, atau mengabaikan keamanan data. Maka, pelatihan harus dilakukan secara berkala dan tersedia helpdesk 24/7 untuk bantuan teknis cepat.

Regulasi dan Kepatuhan: Adaptasi Hukum Sangat Diperlukan

Banyak aturan lama masih mensyaratkan dokumen fisik, seperti faktur asli, surat dukungan asli, atau sertifikat yang ditandatangani basah. Ini bertentangan dengan realitas digitalisasi dan menyulitkan implementasi saat krisis. Pemerintah perlu menyesuaikan regulasi dengan teknologi, seperti legalisasi tanda tangan elektronik (UU ITE), digital certificate, dan pengesahan dokumen digital setara hukum.

Keamanan Siber: Ancaman Serius di Tengah Kekacauan

Krisis sering digunakan oleh pihak jahat untuk melancarkan serangan siber—baik untuk meretas data, menyebar malware, atau mencuri informasi sensitif. Jika sistem PBJ tidak memiliki enkripsi kuat, autentikasi dua lapis, dan firewall canggih, maka risiko kebocoran kontrak atau sabotase sistem sangat besar. Standar ISO 27001 dan praktik terbaik keamanan TI harus menjadi keharusan.

Manajemen Perubahan: Ubah Budaya, Bukan Hanya Sistem

Birokrasi pemerintah memiliki kebiasaan yang sulit diubah. Banyak pegawai yang menolak digitalisasi karena merasa tidak familiar atau khawatir akan beban kerja tambahan. Di sisi lain, ada penyedia yang lebih senang proses konvensional karena lebih mudah “diatur.” Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan manajemen perubahan yang sistemik: sosialisasi manfaat, pemberian insentif penggunaan sistem, dan penegakan sanksi bagi penolakan tanpa dasar.

4. Manfaat dan Risiko Digitalisasi PBJ

Digitalisasi Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) telah membawa perubahan signifikan terhadap efektivitas dan efisiensi proses pengadaan, terutama dalam kondisi darurat. Namun, seperti halnya transformasi digital di sektor lain, proses ini juga mengandung risiko yang perlu dikelola secara cermat.

Manfaat

Efisiensi Waktu dan Biaya

Digitalisasi PBJ memangkas waktu proses secara drastis. Penelitian oleh organisasi internasional seperti OECD dan World Bank menunjukkan bahwa sistem e‑procurement dapat mempercepat proses pengadaan hingga 30–50%. Misalnya, tahapan klarifikasi teknis yang biasanya dilakukan dalam tatap muka bisa diselesaikan melalui fitur komunikasi elektronik. Demikian pula dengan penyerahan dokumen penawaran, yang bisa dilakukan kapan saja tanpa perlu hadir langsung. Di sisi biaya, e‑auction (lelang daring) memicu kompetisi harga antarpenyedia yang sehat dan transparan, menurunkan harga pengadaan rata-rata sebesar 10–15% dibandingkan proses manual.

Transparansi dan Akuntabilitas

Setiap tindakan dalam sistem PBJ digital terekam secara otomatis dalam sistem, membentuk jejak audit yang solid dan tidak bisa dimanipulasi. Ini mempermudah pemeriksaan oleh Inspektorat, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Risiko manipulasi data, dokumen palsu, atau konflik kepentingan bisa ditekan karena sistem menyimpan riwayat proses secara kronologis dan terverifikasi.

Fleksibilitas Proses

Sistem digital memungkinkan pemerintah melakukan adaptasi cepat terhadap perubahan kebutuhan. Ketika terjadi lonjakan kasus COVID‑19 di suatu daerah, misalnya, pengadaan masker tambahan bisa segera dilakukan melalui katalog darurat tanpa harus menyusun dokumen ulang. Platform digital mendukung pembaruan Rencana Umum Pengadaan (RUP) secara dinamis dan pelacakan status realisasi dalam satu dasbor terpusat.

Kolaborasi Lintas Instansi

Digitalisasi mendorong integrasi data antarlembaga. Informasi kebutuhan logistik dari Kementerian Kesehatan, distribusi anggaran dari Kementerian Keuangan, hingga data stok barang dari BNPB dapat diakses dalam satu sistem. Hal ini mempercepat pengambilan keputusan dan mengurangi tumpang tindih atau kekosongan pengiriman bantuan.

Akses Penyedia Lebih Luas

Digitalisasi menghilangkan hambatan geografis dalam pengadaan. UKM dari daerah terpencil dapat mendaftar sebagai penyedia dan mengikuti tender secara elektronik. Ini memperkuat inklusivitas ekonomi dan mendorong partisipasi sektor swasta dalam program pemerintah.

Risiko

Ketergantungan Teknologi

Sistem digital sangat bergantung pada infrastruktur teknologi. Jika terjadi kegagalan server, gangguan koneksi internet, atau error sistem, seluruh siklus pengadaan bisa tertunda atau bahkan gagal. Di tengah krisis, ketergantungan ini bisa menjadi titik lemah yang mengancam keberlangsungan layanan.

Kesalahan Input Data

Katalog elektronik dan data master barang harus selalu diperbarui dan divalidasi. Kesalahan kecil dalam penamaan produk atau harga dapat mengakibatkan pembelian barang yang salah, kekeliruan pembayaran, atau kesulitan dalam proses audit. Kesalahan input bukan hanya mengganggu operasional, tapi bisa berdampak hukum.

Ancaman Keamanan Siber

Platform digital PBJ menjadi target empuk bagi serangan siber seperti ransomware, DDoS (Distributed Denial of Service), dan phising. Serangan ini bisa melumpuhkan sistem, mencuri data penting, atau merusak reputasi pemerintah. Risiko semakin besar jika tidak ada sistem keamanan berlapis atau jika pengguna belum paham keamanan digital.

Kesenjangan Digital

Tidak semua wilayah di Indonesia memiliki infrastruktur teknologi yang memadai. Daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) menghadapi tantangan besar untuk mengakses sistem PBJ berbasis internet. Selain itu, kurangnya literasi digital di kalangan aparat desa juga memperburuk kesenjangan ini.

Mitigasi Risiko

Untuk mengatasi risiko-risiko tersebut, strategi mitigasi harus diterapkan, antara lain:

  • Redundansi sistem TI: cloud backup, server cadangan, dan koneksi satelit.

  • Pelatihan intensif bagi pengguna sistem dan pembaruan katalog berkala.

  • Audit keamanan berkala, pengetesan kerentanan (penetration test), dan penggunaan sertifikat SSL.

  • Desain aplikasi mobile-friendly untuk menjangkau pengguna di daerah tanpa komputer.

  • Pemberdayaan lokal melalui pendampingan digital dan peningkatan literasi teknologi.

5. Studi Kasus: Digitalisasi PBJ Saat Pandemi COVID‑19

Pandemi COVID‑19 menjadi katalis utama percepatan digitalisasi pengadaan di Indonesia. Ketika sistem kesehatan berada di ambang kolaps, kecepatan dan ketepatan pengadaan barang medis menjadi penentu utama efektivitas respons pemerintah. Studi kasus berikut menunjukkan bagaimana komponen digital PBJ bekerja secara nyata dalam kondisi ekstrem:

Katalog Darurat Kementerian Kesehatan

Untuk mengatasi lonjakan kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD), Kemenkes bekerja sama dengan LKPP meluncurkan katalog darurat yang memuat produk-produk kesehatan yang sudah tervalidasi. Proses validasi dilakukan dalam hitungan hari dengan keterlibatan BPOM, sehingga RSUD, Puskesmas, bahkan KPUD dapat memesan langsung tanpa perlu tender. Katalog ini mencakup masker N95, hazmat suit, hand sanitizer, dan disinfektan.

Tender Elektronik untuk PCR Kit dan Reagen

LKPP menyelenggarakan tender elektronik khusus untuk pengadaan PCR kit dan reagen, dengan durasi hanya 10 hari. Proses ini menghilangkan keharusan tatap muka dan mempercepat waktu seleksi. Evaluasi penawaran dilakukan secara digital dengan dukungan panel ahli dari universitas dan laboratorium rujukan.

E‑Contracting Rumah Sakit Rujukan

Kontrak dengan rumah sakit rujukan untuk insentif tenaga medis dan pengadaan ventilator dilakukan melalui e‑signature. Hal ini mempercepat proses pencairan dana dan mencegah akumulasi dokumen fisik. Validasi dilakukan melalui digital certificate dan audit elektronik oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes.

Dashboard Monitoring Real-Time

BNPB dan Kementerian Kesehatan membangun dashboard real-time untuk memantau stok APD, distribusi vaksin, dan kapasitas tempat tidur ICU di setiap provinsi. Dashboard ini memungkinkan redistribusi stok secara cepat dari daerah surplus ke daerah defisit, serta menjadi alat peringatan dini untuk lonjakan kasus.

Hasil yang Dicapai

  • Cakupan pengadaan APD mencapai 95% dari target nasional dalam dua bulan pertama pandemi.

  • Efisiensi harga sebesar 12% dibanding estimasi awal, berkat kompetisi terbuka dan penghapusan perantara.

  • Temuan audit oleh BPK jauh berkurang dibanding pengadaan konvensional sebelumnya, karena sistem mencatat semua proses secara digital.

  • Kepuasan pemangku kepentingan meningkat karena data tersedia dan dapat diverifikasi kapan pun.

6. Strategi Mitigasi Kendala Digitalisasi

Mewujudkan digitalisasi PBJ yang efektif di tengah krisis memerlukan strategi mitigasi yang terstruktur dan komprehensif. Berikut strategi utama yang harus dilakukan pemerintah:

Infrastruktur Redundansi

  • Hybrid cloud dan on-premise: Sistem SPSE dan e‑catalogue harus memiliki server cadangan yang berjalan paralel, dengan sinkronisasi real-time.

  • Jaringan alternatif: Gunakan jaringan satelit atau LoRa (Low Range Network) untuk daerah tanpa koneksi internet stabil.

  • Data center regional: Memecah beban ke beberapa lokasi untuk menghindari single point of failure.

Pelatihan Intensif dan Helpdesk

  • Bootcamp daring 3 hari untuk UKPBJ, pokja, dan PPK dalam penggunaan sistem SPSE, e‑catalogue, dan kontrak elektronik.

  • Sertifikasi nasional digital procurement untuk memastikan kompetensi minimal.

  • Layanan bantuan 24/7 via telepon, live chat, dan chatbot agar kendala teknis segera diatasi.

Regulasi Adaptif

  • Perubahan regulasi seperti revisi Perpres 16/2018 dan Perlem LKPP yang mempertegas legalitas dokumen digital.

  • Pengakuan hukum tanda tangan elektronik setara dengan tanda tangan basah sesuai UU ITE.

  • Panduan penggunaan dokumen digital oleh BPKP dan BPK sebagai acuan audit.

Keamanan Multi-Layer

  • Firewall, IDS/IPS, dan antivirus enterprise di semua endpoint sistem PBJ.

  • Enkripsi data baik saat penyimpanan (at rest) maupun saat transmisi (in transit).

  • Penetration test rutin dan kerjasama dengan BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara).

Aplikasi Mobile First

  • SPSE mobile yang ringan, responsif, dan bisa berjalan di koneksi rendah.

  • Pemetaan lokasi otomatis dengan GPS saat input kebutuhan oleh petugas lapangan.

  • Verifikasi biometrik untuk autentikasi pejabat yang melakukan persetujuan.

Manajemen Perubahan (Change Management)

  • Kampanye internal bertajuk “Digital First PBJ” yang mendorong perubahan mindset.

  • Key Performance Indicator (KPI) bagi instansi atas tingkat penggunaan sistem digital.

  • Insentif kinerja bagi tim pengadaan yang berhasil mempercepat eksekusi digital dan menekan temuan audit.

7. Rekomendasi Praktis bagi Pemerintah dan UKPBJ

Transformasi digital PBJ tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara parsial. Diperlukan strategi terencana yang melibatkan semua pihak:

Roadmap Nasional Digitalisasi PBJ

  • Target jangka pendek: 70% paket pengadaan dilakukan secara elektronik dalam waktu 1 tahun.

  • Target jangka menengah: 100% komponen PBJ (perencanaan hingga audit) terdigitalisasi dalam waktu 3 tahun.

  • LKPP, Bappenas, dan Kemenkeu harus menyusun peta jalan bersama untuk alokasi sumber daya.

SOP Darurat Berbasis Elektronik

  • SOP yang dirancang khusus untuk krisis: mulai dari identifikasi kebutuhan, penunjukan penyedia, hingga pencairan dana dilakukan via sistem.

  • Dokumen-dokumen krusial seperti Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ), BAST, dan kontrak harus memiliki versi digital yang diakui hukum.

Keterlibatan Pemangku Kepentingan

  • Asosiasi penyedia dilibatkan sejak awal dalam desain sistem agar lebih inklusif.

  • Tim IT dan auditor internal harus terlibat dalam pengujian sistem untuk memastikan keamanan dan kelayakan audit.

Open API dan Data Sharing

  • Integrasi lintas sistem: SPSE, SIMDA, e‑catalogue, SIPD, dan sistem keuangan melalui API terbuka.

  • Penyediaan data pengadaan sebagai open data untuk mendorong partisipasi publik dan inovasi pihak ketiga.

Monitoring dan Evaluasi Berkala

  • Audit internal triwulan untuk mengevaluasi penggunaan sistem digital PBJ dan kualitas output-nya.

  • Dashboard publik dengan indikator kinerja pengadaan, tingkat serapan anggaran, dan jumlah penyedia aktif.

Kolaborasi Internasional

  • Studi banding dengan negara yang sukses: Korea Selatan dengan KONEPS, Estonia dengan X-Road, India dengan Government e‑Marketplace (GeM).

  • Kerjasama teknis dengan lembaga internasional (UNDP, World Bank, ADB) untuk akses pelatihan, teknologi, dan benchmarking.

8. Kesimpulan

Digitalisasi PBJ dalam kondisi krisis adalah kunci untuk memberikan respons cepat, efisien, dan akuntabel. Dengan modul e‑procurement terintegrasi, sistem e‑catalogue, e‑contracting, serta dashboard monitoring, pemerintah dapat mengatasi hambatan birokrasi dan geografis. Studi kasus pandemi COVID‑19 menunjukkan efektivitas digitalisasi dalam pengadaan APD dan alat kesehatan. Namun, tantangan infrastruktur, SDM, regulasi, dan keamanan siber harus diantisipasi melalui strategi mitigasi proaktif: redundansi TI, pelatihan intensif, firewall & encryption, serta change management.

Transformasi digital PBJ bukan sekadar proyek IT, melainkan reformasi tata kelola publik yang mendasar. Ketika setiap proses pengadaan—mulai perencanaan hingga pembayaran termin terakhir—dijalankan secara elektronik dengan jejak audit, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan meningkat, penyalahgunaan anggaran dapat diminimalkan, dan pembangunan yang tanggap krisis bisa diwujudkan. Di masa depan, digital PBJ bukan lagi opsi, melainkan syarat mutlak bagi good governance, terutama ketika bangsa menghadapi situasi darurat dan membutuhkan efektivitas yang tiada tanding.