Ketika bencana alam atau krisis kemanusiaan melanda, pemerintah dan instansi terkait dituntut untuk segera menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan korban. Namun, percepatan proses pengadaan tidak boleh mengorbankan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kepatuhan regulasi. Artikel ini menguraikan langkah‐langkah praktis dan strategi “best practice” agar belanja PBJ (Pengadaan Barang/Jasa) untuk tanggap bencana dapat dilakukan cepat, tepat guna, sekaligus terjaga akuntabilitasnya.
1. Pemahaman Dasar: Mengapa Percepatan dan Akuntabilitas Harus Sejalan?
Ketika bencana datang tiba-tiba-seperti gempa bumi, banjir bandang, atau wabah penyakit menular-tugas utama pemerintah adalah memberikan respons secepat mungkin agar dampak kemanusiaan tidak meluas dan korban dapat segera tertangani. Dalam konteks ini, pengadaan barang dan jasa (PBJ) menjadi ujung tombak penyelamatan, pemulihan, dan pemenuhan hak dasar masyarakat terdampak. Barang-barang seperti tenda darurat, logistik makanan, air bersih, obat-obatan, alat pelindung diri (APD), dan bahkan peralatan berat menjadi kebutuhan yang tidak bisa menunggu prosedur birokrasi normal yang panjang dan kompleks.
Namun, sering kali terjadi dilema klasik: di satu sisi, respons harus dilakukan secepat mungkin karena keterlambatan sekecil apa pun bisa berakibat fatal. Di sisi lain, pengadaan tetap harus dilakukan dengan standar tata kelola yang baik, termasuk akuntabilitas, transparansi, dan pertanggungjawaban publik. Dalam kondisi darurat, risiko penyimpangan justru meningkat. Situasi yang serba terburu-buru, minim pengawasan, dan tekanan politik sering kali membuka celah terjadinya praktik koruptif: penunjukan penyedia tidak kompeten, harga barang yang di-mark-up jauh di atas wajar, atau pembelian barang yang tidak sesuai kebutuhan lapangan.
Oleh karena itu, percepatan dan akuntabilitas bukan dua hal yang saling menegasikan, melainkan dua sisi dari koin yang sama. Percepatan yang tidak akuntabel akan merusak kredibilitas pemerintah dan membahayakan penanganan bencana itu sendiri. Sebaliknya, akuntabilitas yang terlalu birokratis tanpa memahami konteks lapangan akan memperlambat penyelamatan dan memperbesar kerugian negara dan masyarakat. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan yang cermat: mempercepat proses tanpa menghilangkan jejak dokumentasi, memperpendek rantai birokrasi tanpa mengorbankan keterbukaan, serta memastikan keputusan cepat tetap berdasarkan data dan prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan.
Selain itu, penting untuk dipahami bahwa akuntabilitas bukanlah musuh dari kecepatan, melainkan fondasi dari legitimasi setiap tindakan pemerintah. Masyarakat yang menerima bantuan tentu menginginkan barang yang tepat guna dan datang tepat waktu, tetapi mereka juga mengharapkan bahwa dana publik yang digunakan untuk membeli barang-barang tersebut tidak diselewengkan. Oleh karena itu, kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah hanya bisa tumbuh apabila percepatan bantuan dibarengi dengan pelaporan terbuka dan audit yang tegas. Ketika pemerintah bisa menunjukkan bahwa pengadaan darurat dilakukan dengan itikad baik, sesuai prosedur darurat yang sah, dan hasilnya dirasakan langsung oleh masyarakat, maka sinergi antara kecepatan dan akuntabilitas akan benar-benar terwujud.
2. Landasan Regulasi Pengadaan Darurat
Dalam konteks hukum dan regulasi, pengadaan barang/jasa dalam situasi darurat di Indonesia tidaklah dilakukan secara sembarangan atau tanpa aturan. Justru sebaliknya, negara telah menyediakan berbagai payung hukum yang secara eksplisit memberi ruang bagi instansi pemerintah untuk bertindak cepat, namun tetap dalam koridor akuntabilitas. Oleh karena itu, sebelum menerapkan strategi percepatan PBJ, hal pertama yang harus dipahami adalah batasan, kewenangan, dan prosedur yang diatur secara resmi.
a. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Regulasi ini merupakan dasar utama yang mengatur proses PBJ di seluruh instansi pemerintah, termasuk dalam keadaan darurat. Pada pasal 113 hingga pasal 115, Perpres 12/2021 secara tegas menyebutkan bahwa dalam kondisi darurat, proses pengadaan dapat dilakukan dengan metode percepatan seperti penunjukan langsung (PL) atau tender terbatas. Syaratnya, keadaan darurat tersebut harus dapat dibuktikan secara sah, mendesak, dan menyangkut keselamatan jiwa manusia atau keamanan negara.
Perpres ini juga menetapkan bahwa dalam pengadaan darurat, penyusunan dokumen seperti Rencana Kebutuhan Barang/Jasa (RKBJ), Kerangka Acuan Kerja (KAK), dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dapat disederhanakan. Namun, setiap keputusan tetap harus terdokumentasi dengan baik, termasuk justifikasi kebutuhan darurat, kronologi kejadian, serta penetapan nilai paket dan metode pengadaan. Artinya, penyederhanaan tidak berarti penghapusan akuntabilitas, melainkan penyesuaian prosedur agar tetap sah secara hukum.
b. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perlem LKPP)
LKPP sebagai lembaga teknis di bidang PBJ telah menerbitkan sejumlah peraturan yang secara teknis mendukung pelaksanaan pengadaan darurat. Perlem LKPP tentang pengadaan darurat memuat panduan rinci terkait: format dokumen darurat (SK, SPK, memo kebutuhan), mekanisme penunjukan penyedia, serta checklist evaluasi minimal yang tetap wajib dipenuhi.
Perlem ini berperan sebagai panduan lapangan yang membantu PPK dan UKPBJ menjalankan tugas pengadaan dalam waktu singkat tanpa menabrak regulasi. LKPP juga sering memberikan pendampingan kepada pemerintah daerah yang menghadapi bencana, termasuk memberikan template dokumen agar tidak perlu membuat dari nol. Dengan begitu, unit PBJ tetap dapat bekerja cepat dan sesuai aturan.
c. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Permendagri Terkait Anggaran Darurat
Tak kalah penting, aspek anggaran juga harus sesuai hukum. PMK dan Permendagri memberikan petunjuk bagaimana dana tak terduga (DTT) dalam APBN/APBD dapat digunakan dalam keadaan darurat. Misalnya, dalam PMK disebutkan bahwa realokasi anggaran dapat dilakukan dengan menyusun pergeseran belanja antar kegiatan atau antar program selama sesuai ketentuan. Permendagri menekankan pentingnya pelaporan belanja darurat secara cepat, tepat, dan akurat agar tidak menimbulkan temuan audit di kemudian hari.
Regulasi ini juga memberikan panduan penggunaan dana bantuan dari pusat ke daerah, serta menyelaraskan mekanisme pencairan agar tidak terhambat oleh tahapan APBD murni. Artinya, aspek keuangan memiliki fleksibilitas khusus saat terjadi bencana, namun tetap dalam pengawasan Badan Pengelola Keuangan Daerah dan Inspektorat.
d. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
UU ini adalah landasan utama yang memberikan otoritas penuh kepada BNPB dan BPBD untuk mengambil langkah cepat dalam menangani bencana. Salah satu isi penting UU ini adalah bahwa setiap tahapan penanggulangan bencana-pra, saat, dan pasca bencana-dapat dilakukan melalui mekanisme percepatan, termasuk dalam pengadaan logistik, relokasi korban, hingga pembangunan kembali infrastruktur dasar.
UU ini menjadi rujukan ketika unit PBJ di daerah atau pusat mengambil keputusan cepat, terutama ketika keselamatan warga dipertaruhkan. Dalam praktiknya, BPBD dapat langsung menugaskan unit PBJ atau membuat pengadaan langsung dengan skema darurat, sepanjang ada surat pernyataan dari pimpinan (SK Darurat) dan dokumentasi memadai.
3. Tips Praktis untuk Mempercepat PBJ Darurat
Ketika bencana melanda, kecepatan adalah segalanya. Namun, kecepatan tanpa arah dan tanpa prosedur akan menimbulkan masalah lanjutan, termasuk kehilangan dana publik, bantuan tidak tepat sasaran, hingga temuan audit. Oleh karena itu, percepatan belanja PBJ dalam kondisi darurat harus disusun berdasarkan tips-tips yang telah terbukti efektif dalam berbagai praktik pengadaan darurat di lapangan. Berikut delapan tips praktis yang dapat diterapkan oleh instansi pemerintah agar pengadaan berjalan cepat namun tetap akuntabel dan sah secara regulasi:
3.1. Bentuk Tim Khusus Darurat
Mengapa penting?
Bencana bersifat multidimensi dan memerlukan keterlibatan lintas fungsi secara simultan. Dalam situasi seperti ini, kerja organisasi biasa sering kali lambat karena alur birokrasi yang terlalu vertikal. Oleh karena itu, membentuk Tim Khusus atau Satuan Tugas PBJ Darurat menjadi cara paling efektif untuk memastikan bahwa pengadaan berjalan cepat, koordinatif, dan bertanggung jawab.
Langkah implementasi:
- PA/KPA segera menerbitkan SK pembentukan Satgas PBJ Darurat yang menetapkan struktur keanggotaan dan tugas masing-masing.
- Anggota Satgas idealnya mencakup unsur PPK, UKPBJ, Inspektorat, Bagian Keuangan, dan Unit Teknis di lapangan (seperti Dinas Kesehatan, PUPR, atau BPBD).
- Struktur Satgas dilengkapi dengan flowchart alur kerja cepat: siapa mengajukan permintaan, siapa mengesahkan, siapa melakukan evaluasi, dan siapa mengawasi.
- Untuk mempercepat komunikasi, setiap anggota Satgas wajib memiliki akses langsung ke grup komunikasi cepat (WhatsApp, Telegram, Microsoft Teams), dan didaftarkan dalam sistem informasi internal.
Dengan tim khusus ini, proses pengambilan keputusan menjadi lebih cepat, peran menjadi jelas, dan setiap tindakan terdokumentasi sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif.
3.2. Siapkan Dokumen Darurat Baku
Mengapa penting?
Dalam kondisi bencana, waktu adalah aset paling mahal. Menyusun dokumen dari nol (SK, SPK, memo kebutuhan) setiap kali bencana terjadi akan sangat membuang waktu. Dengan memiliki template dokumen darurat yang sudah disiapkan sebelumnya, instansi bisa langsung menyesuaikan isian dan memulai proses tanpa hambatan administratif.
Format dokumen yang harus disiapkan:
- SK Darurat: Berisi uraian singkat kondisi bencana, jenis barang/jasa yang dibutuhkan, estimasi nilai, metode pengadaan, serta siapa yang bertanggung jawab melaksanakan.
- Memo Analisis Kebutuhan: Satu atau dua halaman saja, berisi daftar item barang, jumlah, lokasi pengiriman, waktu kebutuhan, dan catatan teknis.
- SPK Internal (Surat Perintah Kerja): Template berisi tabel terstruktur: nama penyedia, spesifikasi barang/jasa, jumlah, harga satuan, nilai total, dan waktu pelaksanaan.
- Berita Acara Evaluasi Darurat: Tabel perbandingan penyedia berdasarkan administrasi minimal dan harga.
Tips teknis:
Simpan seluruh template tersebut di cloud drive instansi (misal Google Drive atau internal SharePoint) agar dapat diakses kapan saja oleh Satgas PBJ Darurat. Integrasikan juga dengan aplikasi e-office atau SPSE agar pengisian bisa dilakukan secara online dan instan.
3.3. Gunakan E‑Katalog dan Penyedia Terverifikasi
Mengapa penting?
E‑Katalog LKPP sudah memuat harga yang telah diverifikasi, produk yang telah disetujui secara legalitas, serta penyedia yang lolos proses kurasi. Maka, pengadaan lewat e‑katalog akan memangkas banyak tahapan, seperti survei harga, verifikasi penyedia, dan negosiasi berlarut-larut.
Cara optimalisasi:
- Prioritaskan semua kebutuhan barang/jasa darurat (APD, tenda, logistik, genset) dari e‑katalog sektor prioritas.
- Gunakan fitur fitur pencarian cepat dan filter harga/penyedia lokal untuk mempercepat proses pemilihan.
- Jika item tidak tersedia di e‑katalog, gunakan daftar penyedia resmi yang dirilis oleh lembaga teknis terkait, seperti BPOM untuk alat kesehatan atau Kementan untuk logistik pertanian.
- Ambil screenshot dari katalog dan lampirkan ke dokumen evaluasi sebagai dasar pembanding harga.
Penggunaan e‑katalog adalah bentuk nyata penggabungan antara percepatan dan akuntabilitas-karena semua transaksi terlacak digital dan dapat diaudit secara transparan.
3.4. Laksanakan Survei Harga Sederhana
Mengapa penting?
Untuk barang/jasa di luar e‑katalog, tetap dibutuhkan verifikasi harga wajar. Tanpa survei sederhana, risiko mark-up harga sangat tinggi dan dapat berujung temuan audit.
Langkah praktis:
- Hubungi minimal tiga penyedia lokal yang relevan dengan kebutuhan (misalnya, penyedia tenda, makanan cepat saji, atau air mineral dalam jumlah besar).
- Minta penawaran harga resmi dalam format standar (pdf/email), dan pastikan dicatat waktu dan cara komunikasi.
- Susun tabel perbandingan harga dengan mencantumkan nama penyedia, harga total, lama pengiriman, dan ketentuan pembayaran.
- Simpan seluruh bukti komunikasi (chat/email/rekaman telepon) sebagai lampiran.
Walau sederhana, langkah ini sangat penting untuk menjamin bahwa proses tidak asal tunjuk dan tetap menghormati prinsip keadilan pasar.
3.5. Terapkan Audit Concurrent Sederhana
Mengapa penting?
Audit concurrent atau audit yang dilakukan saat proses berjalan adalah pengaman penting dalam pengadaan darurat. Hal ini menghindari audit pasca kejadian yang sifatnya reaktif dan berisiko tinggi.
Langkah pelaksanaan:
- Koordinasikan dengan Inspektorat atau SPI internal untuk memeriksa dokumen darurat (pra-SPK, BA evaluasi) sebelum pembayaran dilakukan.
- Lakukan verifikasi fisik barang saat pengiriman pertama tiba, pastikan barang sesuai dengan SPK dan KAK, setidaknya secara sampling.
- Susun laporan singkat audit (2-3 halaman) dan ajukan ke PA/KPA sebagai dasar pencairan termin pertama.
Dengan pendekatan ini, proses percepatan tetap berada dalam koridor pengawasan aktif, bukan hanya administratif.
3.6. Komunikasikan Progres Secara Berkala
Mengapa penting?
Transparansi adalah tulang punggung akuntabilitas. Meskipun pengadaan dilakukan cepat, laporan progres yang jelas menjaga kepercayaan semua pihak-baik pimpinan internal maupun publik yang terdampak.
Cara implementasi:
- PPK melaporkan progres harian melalui grup WA Satgas: barang yang masuk, jumlah didistribusi, sisa stok, serta kendala distribusi (akses jalan rusak, kekurangan tenaga, dsb).
- Setiap pekan, Satgas membuat ringkasan visual (infografik/bar chart) yang disampaikan ke PA/KPA.
- Jika instansi memiliki portal LPSE atau situs internal, publikasikan ringkasan kinerja secara terbuka agar publik juga bisa memantau.
Keterbukaan semacam ini bukan hanya mencegah penyimpangan, tapi juga memperkuat kepercayaan dan kolaborasi lintas pihak.
3.7. Sisipkan Klausul Jaminan Mutu dan Retensi
Mengapa penting?
Barang/jasa yang dibeli dalam situasi darurat sering kali tiba-tiba dan rawan cacat mutu. Tanpa pengaman kontraktual, instansi akan kesulitan menuntut penyedia jika barang bermasalah.
Langkah implementasi:
- Dalam SPK, cantumkan klausul jaminan mutu: penyedia wajib mengganti barang cacat dalam 7-14 hari.
- Tetapkan retensi 5-10% dari total nilai kontrak yang hanya dibayarkan setelah seluruh barang diverifikasi dan digunakan.
- Sertakan prosedur klaim jaminan secara jelas dalam kontrak.
Langkah ini membuat penyedia tetap berhati-hati dan bertanggung jawab, meski pengadaan dilakukan dengan cepat.
3.8. Evaluasi dan Perbaiki SOP Pasca-Bencana
Mengapa penting?
Setelah masa krisis berlalu, evaluasi harus dilakukan untuk memastikan kesalahan tidak terulang dan keberhasilan bisa direplikasi di masa depan.
Langkah-langkah evaluasi:
- Satgas menyelenggarakan rapat refleksi/lessons learned, melibatkan semua pihak yang terlibat dalam PBJ darurat.
- Bahas berbagai aspek: waktu proses, hambatan birokrasi, kualitas barang, keluhan penerima, dan temuan pengawasan.
- Susun rekomendasi SOP baru atau perbaikan SOP eksisting.
- Tetapkan pelatihan atau simulasi untuk memperkuat kesiapan unit PBJ menghadapi darurat ke depan.
Evaluasi bukan hanya formalitas, tapi sarana belajar institusional untuk menjadi lebih tanggap, sigap, dan tertib dalam situasi mendatang.
4. Penguatan Kapasitas dan Budaya Akuntabilitas
Pengadaan Barang/Jasa dalam kondisi bencana bukan hanya urusan teknis dan kecepatan eksekusi, melainkan juga refleksi dari nilai-nilai institusional: integritas, akuntabilitas, dan profesionalisme. Kecepatan tanpa kontrol dapat membuka ruang moral hazard-terjadinya penyimpangan karena merasa mendapat pembenaran situasional. Oleh karena itu, strategi percepatan PBJ darurat harus dibarengi dengan penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan penanaman budaya akuntabilitas yang melembaga dan berkelanjutan.
4.1. Pelatihan dan Simulasi Berkala
Tidak semua pegawai terbiasa bekerja dalam tekanan tinggi seperti pada situasi bencana. Dalam kondisi darurat, keputusan harus diambil dalam waktu hitungan jam, dokumen disusun secara cepat, dan barang harus tersedia tanpa penundaan. Maka dari itu, pelatihan dan simulasi bukanlah aktivitas pelengkap, melainkan bagian penting dari kesiapsiagaan kelembagaan.
Beberapa bentuk pelatihan yang direkomendasikan:
- Simulasi Bencana (Disaster Procurement Drill):
Dilakukan minimal setahun sekali, kegiatan ini dapat berupa tabletop exercise (diskusi skenario di ruangan) atau full drill (simulasi lapangan) yang melibatkan unit PBJ, keuangan, logistik, BPBD, Dinas Kesehatan, dan stakeholder eksternal. Skenario bisa dibuat realistis: banjir besar, gempa, atau wabah, dengan indikator keberhasilan seperti kecepatan pembuatan SK, SPK, distribusi barang, dan pelaporan. - Workshop Akuntabilitas PBJ Darurat:
Modul pelatihan ringkas ini fokus pada etika pengadaan di masa krisis, termasuk pengetahuan tentang risiko korupsi situasional, cara menyusun laporan audit concurrent, prinsip transparansi publik, serta tanggung jawab administratif di tengah tekanan waktu.
Pelatihan ini harus dilakukan dengan metode praktis dan interaktif, termasuk simulasi pengisian dokumen darurat, role play interaksi Satgas, hingga evaluasi hasil belajar agar benar-benar aplikatif di lapangan.
4.2. Insentif dan Pengawasan Internal
Dalam sistem kerja darurat, tekanan tinggi tidak boleh menghapus prinsip keadilan. Instansi perlu menyeimbangkan antara penghargaan atas kinerja baik dan penindakan tegas terhadap penyimpangan. Kedua hal ini akan menciptakan iklim kerja yang sehat, termotivasi, sekaligus taat aturan.
Strategi yang dapat diterapkan:
- Reward and Recognition:
Berikan penghargaan non-finansial (sertifikat, publikasi nama tim, piagam dari kepala daerah) atau insentif finansial berbasis output kepada unit/tim PBJ yang berhasil menyelesaikan belanja bencana dengan cepat dan tanpa temuan. Ini akan menjadi contoh positif sekaligus insentif moral bagi unit lainnya. - Penegakan Disiplin:
Jika ditemukan penyimpangan dalam audit concurrent atau pasca-bencana (misalnya mark-up, barang tak sesuai, dokumen fiktif), maka penegakan sanksi administratif dan etik harus segera diberlakukan. Penegakan ini menjadi sinyal bahwa dalam situasi apa pun, integritas tidak bisa ditawar. - Dashboard Kinerja PBJ Darurat:
Buat sistem monitoring berbasis indikator seperti:- Rata-rata waktu penerbitan SPK.
- Persentase distribusi barang sesuai jadwal.
- Jumlah paket yang diaudit tepat waktu.
- Tingkat kepuasan penerima bantuan.
- Jumlah temuan audit (jika ada) dan tindak lanjutnya.
Dashboard ini bisa ditampilkan ke publik sebagai bentuk akuntabilitas transparan dan juga menjadi sistem evaluasi berbasis data yang mendukung pengambilan keputusan pimpinan.
4.3. Kolaborasi Multistakeholder
Tidak ada pemerintah daerah atau pusat yang bisa menghadapi bencana sendiri. Dalam skenario kebencanaan, kekuatan anggaran APBN/APBD sangat terbatas. Oleh karena itu, sinergi dengan sektor swasta, masyarakat sipil, dan relawan harus dijadikan bagian integral dari strategi percepatan PBJ darurat.
Model kolaborasi yang dapat dibangun:
- Sektor Swasta dan LSM:
Perusahaan dapat berkontribusi melalui CSR dalam bentuk barang (tenda, sembako, masker), jasa (logistik, tenaga kesehatan), maupun pendanaan. LSM lokal juga dapat membantu distribusi dan pemetaan kebutuhan cepat. Semua kontribusi ini perlu dicatat dan dihitung sebagai pelengkap pengadaan pemerintah. - Relawan Masyarakat:
Mahasiswa, pramuka, dan organisasi komunitas dapat dilibatkan untuk membantu distribusi barang ke wilayah sulit dijangkau atau membantu pelaporan digital (seperti mengisi dashboard distribusi lapangan). - Kanal Pelaporan Publik:
Instansi wajib menyediakan hotline atau WhatsApp resmi tempat masyarakat bisa mengecek status distribusi bantuan, atau melaporkan jika ada penyimpangan. Hal ini mendorong transparansi dua arah dan memperkuat kepercayaan warga.
Kolaborasi ini menegaskan bahwa akuntabilitas bukan hanya urusan internal instansi, tetapi ekosistem yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
5. Kesimpulan: Tanggap, Cepat, dan Tetap Transparan
Belanja PBJ untuk penanganan bencana bukan sekadar aktivitas administratif, melainkan misi kemanusiaan yang menyelamatkan nyawa, mengurangi penderitaan, dan memulihkan kehidupan sosial-ekonomi. Namun, kondisi darurat bukan alasan untuk menanggalkan prinsip transparansi, legalitas, dan akuntabilitas publik. Justru sebaliknya, krisis adalah ujian bagi sistem integritas sebuah pemerintahan.
Artikel ini menegaskan bahwa percepatan PBJ darurat hanya akan efektif jika disertai dengan fondasi yang kokoh: regulasi yang jelas, tim khusus yang solid, dokumen yang siap pakai, sistem audit aktif, serta komunikasi dan keterlibatan publik yang kuat. Tips-tips seperti pemanfaatan e-katalog, survei harga sederhana, klausul jaminan mutu, serta evaluasi pasca-bencana merupakan langkah konkret untuk menjembatani kecepatan dan akuntabilitas.
Tak kalah penting, penguatan kapasitas SDM melalui pelatihan berkala dan simulasi, serta penerapan sistem reward dan punishment yang adil, akan memperkuat budaya tangguh dan bersih dalam menghadapi bencana. Kolaborasi dengan swasta, LSM, dan warga menjadi faktor pendorong agar pemerintah tidak bekerja sendiri dalam menanggulangi krisis.
Pada akhirnya, keberhasilan PBJ darurat bukan hanya diukur dari kecepatan distribusi barang, tetapi dari kepercayaan masyarakat yang tetap terjaga. Kepercayaan itulah yang menjadi modal sosial utama untuk bersama bangkit pasca-bencana. Dengan menerapkan prinsip-prinsip dan tips yang telah diuraikan, kita bisa menjadikan PBJ darurat sebagai praktik terbaik dalam tata kelola yang tanggap, efisien, dan bertanggung jawab.