Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) pemerintah tidak hanya melibatkan pemilihan penyedia dan penandatanganan kontrak semata, tetapi juga memerlukan sinergi yang kokoh antara tiga pilar utama pejabat pengadaan: Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ketiganya memiliki tanggung jawab dan wewenang yang berbeda, namun saling terkait dalam memastikan proses pengadaan berjalan efisien, transparan, dan akuntabel. Tanpa koordinasi yang ideal, berbagai kendala administratif, penundaan jadwal, hingga risiko hukum dapat muncul dan merusak kualitas pelayanan publik. Artikel ini membahas secara mendalam bagaimana koordinasi yang efektif antara PA, KPA, dan PPK dapat diwujudkan—mulai dari pemahaman peran, prinsip komunikasi, tata kelola rapat, mekanisme pengambilan keputusan, hingga praktik terbaik dan rekomendasi kebijakan.
1. Pendahuluan: Mengapa Sinergi PA-KPA-PPK Krusial?
Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, keberhasilan program pemerintah sangat ditentukan oleh kelancaran proses Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dalam sistem ini, terdapat tiga aktor penting yang berperan strategis dan saling bergantung: Pengguna Anggaran (PA) sebagai pemegang kewenangan tertinggi atas anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pelaksana operasional pengelolaan keuangan, serta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap pelaksanaan kontrak pengadaan.
Hubungan ketiganya bukan bersifat hirarkis semata, melainkan lebih kepada sistem kerja kolaboratif yang menuntut kejelasan peran, saling menghormati kewenangan, serta koordinasi yang sinergis. Dalam kerangka Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, struktur tanggung jawab ini dirancang untuk mencegah tumpang tindih peran dan menghindari konsentrasi kekuasaan yang dapat membuka ruang korupsi, kolusi, maupun nepotisme.
Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit instansi pemerintah yang masih menghadapi berbagai hambatan dalam menjalin koordinasi antara PA, KPA, dan PPK. Misalnya, PA yang terlalu pasif dalam memantau progres pengadaan, KPA yang lamban dalam memberikan persetujuan anggaran, atau PPK yang bekerja sendiri tanpa konsultasi teknis dan administratif. Akibatnya, proses pengadaan sering terlambat, dokumen tidak lengkap, terjadi retender, bahkan muncul temuan audit yang berujung pada potensi kerugian negara.
Oleh karena itu, membangun koordinasi yang ideal di antara ketiganya menjadi kebutuhan mendesak. Koordinasi yang baik tidak hanya mencegah terjadinya kesalahan prosedural, tetapi juga mempercepat proses belanja pemerintah dan memastikan hasil pengadaan benar-benar mendukung pencapaian tujuan program. Lebih dari itu, sinergi yang kokoh antara PA, KPA, dan PPK akan meningkatkan profesionalisme birokrasi, menciptakan kepercayaan publik, serta memperkuat integritas tata kelola anggaran secara menyeluruh.
2. Memahami Peran dan Wewenang
2.1. Pengguna Anggaran (PA)
Pengguna Anggaran adalah pejabat yang memiliki otoritas tertinggi dalam menggunakan anggaran pada suatu kementerian, lembaga, atau perangkat daerah. Umumnya, PA dijabat oleh Menteri, Gubernur, Bupati, Wali Kota, Kepala Lembaga, atau pejabat setingkat eselon I dan II tergantung level instansinya. PA bertanggung jawab atas keseluruhan pelaksanaan anggaran yang dialokasikan untuk instansi yang dipimpinnya, dan karena itu, ia memiliki kewenangan strategis sebagai penentu arah belanja.
Peran PA meliputi penetapan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), serta penetapan paket pengadaan strategis yang menjadi prioritas. Dalam posisi ini, PA seharusnya aktif melakukan pengawasan terhadap progres pengadaan, memberikan arahan kebijakan kepada KPA dan PPK, serta memastikan bahwa pengadaan sejalan dengan Renstra, RPJMD, dan indikator kinerja utama instansi.
Selain itu, PA juga bertugas menyetujui laporan pertanggungjawaban anggaran, memverifikasi hasil evaluasi kinerja pengadaan, dan menandatangani berbagai dokumen pelaporan kepada lembaga pengawasan seperti Inspektorat, BPKP, dan BPK. Keterlibatan PA secara aktif dalam proses pengadaan mencerminkan komitmen kepemimpinan terhadap efisiensi dan akuntabilitas penggunaan APBN/APBD.
2.2. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang menerima pelimpahan sebagian kewenangan PA, dan bertugas mengelola operasional anggaran pada unit kerja tertentu. Penunjukan KPA dilakukan melalui SK PA dan menjadi tulang punggung manajemen teknis anggaran di bawah satuan kerja. KPA bertanggung jawab langsung atas alur perencanaan pengadaan, termasuk menyusun Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan Rencana Kebutuhan Barang/Jasa (RKBJ).
Dalam pelaksanaan PBJ, KPA memiliki peran penting sebagai jembatan antara kebijakan PA dan teknis eksekusi PPK. Ia menetapkan pagu anggaran tiap paket, memilih metode pemilihan penyedia yang sesuai, serta menyetujui perubahan atau pergeseran anggaran jika terjadi penyesuaian dalam pelaksanaan. Oleh karena itu, reaktivitas dan kemampuan analitis KPA sangat menentukan kelancaran proses pengadaan.
KPA juga menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam hal verifikasi dokumen sebelum disampaikan ke PA atau PPK. Dalam banyak kasus, KPA berfungsi sebagai “decision support” bagi PPK ketika muncul hambatan administratif seperti kesalahan pada HPS, ketidaksesuaian spesifikasi dalam KAK, atau dokumen pemilihan yang belum lengkap.
2.3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
PPK merupakan aktor teknis dalam pengadaan yang memegang tanggung jawab terhadap pelaksanaan kontrak mulai dari tahap persiapan, pemilihan penyedia, pelaksanaan pekerjaan, hingga serah terima dan pelaporan. PPK ditunjuk oleh PA/KPA dan wajib memiliki sertifikat kompetensi PBJ dari LKPP. Dalam praktiknya, PPK lah yang menyusun dokumen pemilihan, melakukan evaluasi penawaran, menetapkan pemenang (jika bukan tender terbuka), dan memastikan bahwa kontrak dijalankan sesuai kesepakatan.
Tugas PPK sangat teknis dan penuh tekanan karena menyangkut kualitas pelaksanaan proyek, waktu penyelesaian, dan ketepatan belanja negara. Ia harus melakukan monitoring progres lapangan, berkoordinasi dengan penyedia, memverifikasi pembayaran, dan menyusun laporan berkala. Kesalahan kecil dalam keputusan PPK bisa berdampak besar, mulai dari keterlambatan realisasi hingga potensi pidana bila terbukti terjadi penyimpangan.
Karena itu, PPK sangat memerlukan dukungan administratif dan kebijakan dari KPA dan PA, khususnya dalam hal klarifikasi aturan, validasi anggaran, dan pengambilan keputusan taktis ketika menghadapi sengketa atau force majeure di lapangan.
3. Prinsip-Prinsip Koordinasi yang Efektif
Koordinasi antara PA, KPA, dan PPK tidak terjadi dengan sendirinya. Ia harus dibangun melalui prinsip-prinsip tata kelola yang solid, komunikasi dua arah yang intensif, serta sistem kontrol internal yang disepakati bersama.
3.1. Transparansi Informasi
Transparansi menjadi fondasi utama. Ketiga pihak harus memiliki akses terhadap dokumen kunci pengadaan mulai dari perencanaan hingga pelaporan. Hal ini termasuk RKA, DIPA, RUP, HPS, dokumen tender, laporan progres, dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Ketiadaan transparansi bisa menyebabkan konflik internal, keterlambatan pengambilan keputusan, atau bahkan saling tuding jika muncul temuan audit.
Penerapan dashboard pengadaan digital sangat membantu menciptakan transparansi real-time di antara PA, KPA, dan PPK. Dengan sistem ini, mereka dapat memantau progres fisik dan keuangan pengadaan secara serentak, mengurangi ketergantungan pada laporan manual.
3.2. Kepastian Wewenang
Sering kali permasalahan muncul karena tumpang tindih atau ketidaktahuan mengenai batas wewenang. PA, KPA, dan PPK harus memiliki pemahaman yang sama mengenai peran masing-masing dan tidak melampaui kewenangan yang diberikan. Misalnya, PPK tidak dapat mengubah nilai anggaran tanpa persetujuan KPA/PA, dan sebaliknya, PA/KPA tidak boleh mengintervensi proses evaluasi teknis yang menjadi domain PPK.
Penting untuk memastikan bahwa dokumen penunjukan formal, seperti SK KPA dan SK PPK, tersedia sejak awal tahun anggaran, lengkap dengan rincian tugas dan tanggung jawab yang tidak multitafsir.
3.3. Akuntabilitas Bersama
Akuntabilitas tidak boleh hanya dibebankan pada PPK sebagai pelaksana teknis, tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama dalam rantai PBJ. Misalnya, ketika terjadi kegagalan tender atau keterlambatan kontrak, ketiganya harus duduk bersama untuk mengkaji akar masalah dan mencari solusi sistemik, bukan mencari kambing hitam. Audit internal juga sebaiknya menilai proses sebagai sistem, bukan individu semata.
3.4. Kecepatan Respons
Dalam dinamika proyek pengadaan, waktu adalah faktor kritis. Setiap keterlambatan respons dari PA atau KPA terhadap permohonan klarifikasi, persetujuan dokumen, atau permintaan eskalasi dari PPK dapat mengakibatkan retender, gagal serap anggaran, bahkan denda keterlambatan. Oleh karena itu, perlu disepakati batas waktu respons administratif, seperti maksimal 3 hari kerja untuk validasi KAK atau HPS.
Mekanisme standar prosedur layanan internal (SOP) juga perlu diterapkan untuk menjamin waktu respons tetap dalam batas yang rasional dan konsisten di seluruh OPD.
3.5. Siklus Umpan Balik
Evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan. Setiap tahap penting—seperti setelah pengumuman pemenang, penandatanganan kontrak, serah terima, dan pelaporan—harus ada forum reflektif bersama antara PA, KPA, dan PPK. Forum ini digunakan untuk menilai apa yang berhasil, apa yang tidak, dan bagaimana perbaikannya. Hal ini akan membangun budaya belajar dan memperkuat kualitas pengadaan di tahun-tahun berikutnya.
4. Mekanisme Komunikasi dan Tata Kelola Rapat
Koordinasi antara PA, KPA, dan PPK tidak cukup hanya mengandalkan pemahaman wewenang dan prinsip kerja sama—diperlukan sistem komunikasi yang terstruktur, konsisten, dan terdokumentasi dengan baik. Hal ini penting karena pengadaan barang/jasa melibatkan banyak keputusan strategis dan teknis yang harus diselesaikan lintas fungsi, dan kesalahan komunikasi sekecil apa pun dapat berdampak pada keterlambatan proses hingga potensi pelanggaran prosedur.
4.1. Rapat Koordinasi Berkala
Rapat koordinasi menjadi fondasi penting dalam membangun komunikasi antarpihak. Idealnya, rapat koordinasi bulanan diselenggarakan oleh Tim Pengadaan atau UKPBJ dan dihadiri oleh PA atau perwakilannya (misalnya staf ahli bidang anggaran), KPA, PPK, serta unsur pendukung seperti bagian hukum, perencana, dan tim MONEV. Tujuan utama rapat ini adalah mengevaluasi progres setiap paket pengadaan, mengidentifikasi kendala, serta menyusun tindak lanjut yang konkret dan terjadwal.
Sementara itu, dalam situasi yang memerlukan perhatian segera, seperti ketika terjadi sengketa hasil tender, ketidaksesuaian spesifikasi teknis di lapangan, atau kendala pencairan termin pembayaran, maka rapat ad hoc perlu diselenggarakan dalam waktu singkat. Dalam model ini, fleksibilitas jadwal rapat menjadi kunci, dan pihak-pihak terkait harus siap merespons undangan rapat dengan sigap untuk mencegah penundaan proses yang lebih besar.
4.2. Agenda dan Notulensi Standar
Agar setiap rapat menghasilkan keputusan yang dapat ditindaklanjuti, harus ada agenda rapat yang disusun dengan sistematis, yang mencakup: pemutakhiran progres paket, pembahasan hambatan teknis dan administratif, serta rencana kerja minggu atau bulan berikutnya. Agenda ini sebaiknya dikirimkan terlebih dahulu kepada peserta minimal satu hari sebelum rapat berlangsung, agar setiap pihak dapat menyiapkan data atau tanggapan yang diperlukan.
Lebih penting lagi, setiap rapat harus dilanjutkan dengan pembuatan notulensi yang rapi, mencatat semua keputusan yang diambil, siapa bertanggung jawab atas setiap tindak lanjut, dan tenggat waktu penyelesaiannya. Notulensi ini kemudian diarsipkan dalam repositori digital (misalnya cloud storage instansi) dan dibagikan kepada seluruh peserta untuk menjadi rujukan formal. Hal ini membantu menciptakan budaya akuntabilitas dalam koordinasi.
4.3. Saluran Komunikasi Digital
Mengandalkan rapat fisik semata tentu tidak cukup. Dalam era digital saat ini, penggunaan platform kolaborasi online menjadi semakin krusial. Pemerintah dapat memanfaatkan aplikasi seperti Microsoft Teams, Slack, Mattermost, atau bahkan platform internal buatan pemerintah (seperti e-office) untuk memastikan komunikasi berjalan lintas lokasi dan waktu.
Dengan sistem ini, PA, KPA, dan PPK dapat mengunggah dokumen seperti draft HPS, KAK, RUP, dan dokumen pemilihan, memberikan komentar atau tanggapan langsung, serta menerima notifikasi otomatis ketika ada perubahan signifikan. Ini juga mempermudah pencarian kembali dokumen terdahulu, dibanding harus menelusuri email satu per satu.
4.4. Protokol Eskalasi
Dalam praktiknya, tidak semua masalah bisa diselesaikan di level PPK. Untuk itu, perlu ada jalur eskalasi formal dan jelas. Jika PPK menghadapi persoalan seperti ketidaksesuaian pagu anggaran dengan HPS, kendala hukum dalam tender, atau tekanan dari vendor, maka ia wajib menyusun memo eskalasi yang ditujukan kepada KPA, dan jika perlu, kepada PA. Memo tersebut harus dilengkapi dengan dokumen pendukung (seperti surat penolakan penyedia, risalah rapat evaluasi, atau perhitungan ulang HPS), serta rekomendasi langkah teknis atau administratif yang disarankan.
Dengan jalur ini, pengambilan keputusan bisa dilakukan lebih cepat dan bertanggung jawab, serta mengurangi risiko misinterpretasi atau pembiaran masalah yang akhirnya berujung pada temuan pemeriksaan.
5. Sinkronisasi Perencanaan dan Implementasi
Koordinasi tidak akan berjalan efektif tanpa adanya penyelarasan waktu dan substansi antara perencanaan pengadaan dan implementasinya di lapangan. Sinkronisasi yang baik antara PA, KPA, dan PPK dari tahap perencanaan hingga eksekusi proyek menjadi jembatan penting dalam mewujudkan PBJ yang tepat waktu, tepat mutu, dan tepat guna.
5.1. Kolaborasi pada Penyusunan RUP
Penyusunan Rencana Umum Pengadaan (RUP) menjadi pintu masuk utama koordinasi. Pada tahap ini, PPK menyusun daftar kebutuhan pengadaan berdasarkan RKA/DIPA dan target kinerja unit. KPA diharapkan melakukan review awal atas rencana tersebut, baik dari sisi anggaran, urgensi, maupun metode pemilihan. Sementara itu, PA memegang peran strategis dalam menetapkan paket-paket prioritas, terutama yang mendukung capaian indikator kinerja utama atau janji kepala daerah.
Dengan melibatkan ketiganya sejak awal, potensi pergeseran atau penghapusan paket di tengah tahun dapat diminimalisir, dan penyusunan RUP tidak lagi menjadi kegiatan administratif semata, melainkan benar-benar mencerminkan kebutuhan organisasi.
5.2. Pengaturan Jadwal Tender
Salah satu penyebab utama keterlambatan realisasi anggaran adalah jadwal tender yang tidak sinkron dengan ketersediaan anggaran atau kalender kegiatan. Oleh karena itu, setelah RUP disusun, perlu ada forum sinkronisasi jadwal pengadaan antara PPK, KPA, dan PA. PPK menyusun timeline berdasarkan waktu teknis pelaksanaan, sementara KPA mengoreksi dari sisi kesiapan dana, dan PA memberi keputusan akhir terhadap waktu tender, terutama untuk paket yang menyangkut belanja strategis atau belanja modal besar.
Jadwal tender yang realistis dan disepakati bersama juga membantu UKPBJ mengelola beban kerja Pokja Pemilihan, sehingga tidak terjadi penumpukan tender di kuartal IV yang sering berujung pada proses pengadaan yang tergesa-gesa dan rentan kesalahan.
5.3. Evaluasi dan Negosiasi
Proses evaluasi penyedia tidak boleh menjadi domain tunggal PPK. Meskipun PPK adalah pelaksana teknis, koordinasi dengan KPA dan PA sangat penting, terutama untuk paket bernilai besar atau berisiko tinggi. Dalam rapat evaluasi, PPK memaparkan hasil scoring teknis dan harga, serta pertimbangan terhadap keberlanjutan proyek.
KPA dapat memberikan input dari sisi kelayakan harga, ketersediaan dana, serta risiko yang mungkin timbul. PA dapat memberikan arahan strategis, misalnya dalam bentuk persetujuan relaksasi batas harga, apabila pengadaan menyangkut kepentingan pelayanan publik yang sangat mendesak. Koordinasi semacam ini memperkuat akurasi keputusan dan menambah legitimasi hasil evaluasi.
6. Praktik Terbaik (Best Practices)
Beberapa daerah dan instansi telah membuktikan bahwa koordinasi PA-KPA-PPK yang efektif mampu memberikan dampak signifikan terhadap kelancaran dan integritas pengadaan. Praktik-praktik ini dapat dijadikan model pembelajaran bersama.
6.1. Dashboard Progres Terpadu – Provinsi A
Di Provinsi A, Pemerintah Daerah mengembangkan dashboard terintegrasi PBJ yang menghubungkan SPSE, SIMDA, dan e-budgeting. Dashboard ini menyajikan status real-time setiap paket pengadaan, mencakup tahap (perencanaan, tender, kontrak, pelaksanaan), progres fisik dan keuangan, serta kendala yang dilaporkan oleh PPK. Dengan fitur akses terbatas sesuai otoritas, PA, KPA, dan PPK dapat memantau pengadaan tanpa harus bertanya langsung. Dampaknya, rapat koordinasi lebih cepat, waktu pengambilan keputusan lebih singkat, dan eskalasi masalah bisa dicegah sejak dini.
6.2. Program “Weekend Review” – Kabupaten B
Kabupaten B menghadapi kendala penyelesaian administrasi tender di akhir tahun. Untuk itu, mereka menerapkan “Weekend Review”, yaitu pertemuan internal setiap Sabtu pagi di minggu terakhir bulan. Fokusnya adalah menyisir seluruh backlog pekerjaan—dokumen tertunda, klarifikasi vendor, atau pengesahan laporan—agar tidak menumpuk di akhir tahun. Dengan pendekatan ini, kabupaten tersebut berhasil meningkatkan penyerapan anggaran hingga 15% di kuartal IV, serta menurunkan jumlah tender ulang akibat dokumen yang tidak lengkap.
6.3. Pra-Audit Internal – Kota C
Kota C menerapkan sistem pra-audit internal sebelum tender diumumkan. Tim gabungan dari bagian hukum dan bidang teknis mereview KAK, HPS, dan draft dokumen pemilihan, memastikan semua sesuai regulasi dan standar pengadaan. Jika ditemukan kekurangan, dokumen dikembalikan kepada PPK dengan catatan koreksi. Sistem ini terbukti menurunkan angka retender sebesar 30% dan mengurangi temuan audit eksternal secara signifikan. Selain meningkatkan kualitas dokumen pengadaan, model ini juga menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan PPK dalam melaksanakan tugasnya.
7. Tantangan Umum dan Solusi
Walaupun secara normatif tugas dan wewenang antara PA, KPA, dan PPK sudah diatur dalam berbagai regulasi seperti Perpres No. 12 Tahun 2021 serta aturan turunannya, dalam implementasi sehari-hari tetap dijumpai beragam tantangan. Koordinasi ideal tidak serta-merta terbentuk hanya karena adanya struktur formal; perlu kesadaran kolektif, komitmen, dan adaptasi terhadap dinamika teknis dan organisasi. Berikut beberapa tantangan yang sering dihadapi, beserta strategi solusi yang relevan.
7.1. Resistensi Perubahan
Salah satu tantangan awal yang sering dijumpai adalah resistensi dari pejabat tingkat tinggi, khususnya PA atau KPA, untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses teknis pengadaan yang kerap dianggap terlalu rinci atau administratif. Dalam beberapa kasus, PA/KPA menyerahkan sepenuhnya urusan pengadaan kepada PPK tanpa melakukan pembinaan atau memberikan panduan kebijakan yang seharusnya menjadi domain mereka. Akibatnya, PPK merasa bekerja dalam ruang hampa, tanpa dukungan arah strategis.
Solusi konkret yang dapat diterapkan adalah dengan menetapkan wakil resmi PA/KPA yang memiliki otoritas penuh dalam forum-forum koordinasi pengadaan. Wakil ini bisa berasal dari pejabat setingkat eselon III atau staf ahli yang ditunjuk melalui surat tugas resmi. Selain itu, organisasi perlu menerapkan standar frekuensi minimal rapat koordinasi, misalnya bulanan atau dua mingguan, yang menjadi kewajiban struktural dalam monitoring pelaksanaan program prioritas.
7.2. Ketidakselarasan Prioritas
Dalam praktik pengadaan, tidak jarang terjadi perbedaan fokus antara PA dan PPK. PA, sebagai penentu arah kebijakan, cenderung memprioritaskan paket-paket yang bersifat politis atau berbasis program unggulan pimpinan daerah, sementara PPK sering kali fokus pada aspek teknis seperti kesiapan dokumen, efisiensi waktu pelaksanaan, atau ketersediaan penyedia yang kompeten.
Perbedaan ini jika tidak dikelola akan menimbulkan konflik, misalnya paket strategis mengalami keterlambatan karena PPK memprioritaskan paket yang secara teknis lebih siap. Solusi strategis adalah dengan menerapkan matriks prioritas berbasis skor, yaitu model klasifikasi paket berdasarkan nilai strategis, volume anggaran, urgensi pelayanan publik, serta tingkat risiko pelaksanaan. Dengan tools ini, baik PA, KPA, maupun PPK dapat menyepakati peringkat prioritas yang obyektif dan terukur, sehingga arah kerja menjadi selaras.
7.3. Beban Administrasi Berlebih
Tantangan klasik dalam PBJ adalah banyaknya dokumen administratif yang harus disiapkan dan disetujui lintas pejabat. Mulai dari RUP, RKS/KAK, HPS, dokumen pemilihan, hingga laporan progres dan termin pembayaran. Jika semua dilakukan secara manual, beban kerja PPK dan KPA menjadi sangat berat, dan risiko kesalahan administratif meningkat.
Solusi jangka menengah yang relevan adalah otomatisasi form dan digitalisasi proses dokumen. Pemerintah daerah atau kementerian/lembaga bisa mengembangkan template baku digital berbasis format Word atau Excel terstandar yang terintegrasi dengan aplikasi e-Procurement. Selain itu, penyusunan checklist digital yang bisa dipantau oleh KPA dan PA secara real-time akan sangat membantu menurunkan beban administratif, meningkatkan akurasi, serta mempercepat proses persetujuan lintas level.
8. Rekomendasi Kebijakan
Agar koordinasi antara PA, KPA, dan PPK dapat berjalan lebih efektif dan sistemik, diperlukan intervensi kebijakan yang memperkuat tata kelola, memperjelas akuntabilitas, serta mendorong kolaborasi lintas fungsi. Berikut beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pimpinan daerah dan instansi vertikal.
8.1. Standarisasi Waktu Respons
Seringkali, keterlambatan dalam proses pengadaan bukan disebabkan oleh proses tender itu sendiri, tetapi oleh waktu tunggu yang lama dalam mendapatkan persetujuan atau tanggapan dari PA dan KPA. Hal ini menjadi kendala struktural yang menghambat kinerja PPK. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan formal melalui Permendagri atau regulasi sektoral lainnya mengenai jangka waktu maksimal tanggapan PA/KPA terhadap permintaan klarifikasi, persetujuan dokumen, atau tindak lanjut rapat PPK.
Misalnya, respons terhadap permintaan klarifikasi PPK wajib diberikan dalam jangka waktu maksimal 3 hari kerja, dengan konsekuensi administratif jika melebihi batas tersebut tanpa alasan tertulis. Aturan ini akan memberikan kejelasan waktu dan mengurangi friksi dalam rantai komunikasi.
8.2. Insentif Koordinasi
Koordinasi yang baik harus diberikan penghargaan yang terukur. Salah satu bentuk kebijakan yang bisa diterapkan adalah memasukkan indikator kolaborasi dalam evaluasi kinerja tahunan pejabat PBJ. Misalnya, PA dan KPA yang terbukti aktif dalam rapat, cepat merespons permintaan PPK, dan menyelesaikan eskalasi masalah pengadaan tepat waktu, mendapat nilai tambahan dalam penilaian kinerja.
Hal ini akan mendorong terciptanya budaya kerja kolaboratif dan tidak lagi menjadikan urusan pengadaan semata-mata sebagai beban administratif, tetapi sebagai bagian dari upaya pelayanan publik yang berdampak nyata.
8.3. Pelatihan Lintas Fungsi
Koordinasi yang baik tidak mungkin terwujud jika masing-masing pihak tidak memahami posisi dan tantangan yang dihadapi oleh pihak lainnya. Oleh karena itu, sangat dianjurkan agar pelatihan PBJ dilaksanakan secara lintas fungsi, artinya dalam satu kelas pelatihan terdiri atas PA, KPA, dan PPK dari instansi yang sama. Dengan metode pelatihan ini, simulasi kasus dapat dibahas dari berbagai sudut pandang dan membuka ruang dialog antarfungsi yang memperkuat pemahaman bersama.
Materi pelatihan bisa meliputi aspek teknis (evaluasi penyedia, kontrak), aspek strategis (perencanaan anggaran berbasis kinerja), dan aspek komunikasi organisasi (manajemen konflik dan negosiasi internal). Pelatihan ini idealnya dilakukan minimal dua kali setahun dan difasilitasi oleh LKPP, Inspektorat, atau lembaga pelatihan bersertifikat.
8.4. Monitoring Kepatuhan
Koordinasi harus menjadi salah satu objek monitoring dan evaluasi Inspektorat atau SPI. Dalam pelaksanaan audit internal terhadap pengadaan barang/jasa, aspek kepatuhan koordinasi lintas fungsi perlu dimasukkan sebagai indikator dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Misalnya, jika ditemukan bahwa PPK mengambil keputusan sendiri tanpa konsultasi dengan KPA atau bahwa PA lambat dalam merespons usulan RUP, maka hal tersebut harus dicatat dan ditindaklanjuti sebagai perbaikan sistemik.
Dengan menjadikan aspek koordinasi sebagai bagian dari sistem pengawasan internal, maka tanggung jawab kolektif akan lebih terasa dan mendorong seluruh pihak untuk berbenah secara berkelanjutan.
9. Kesimpulan
Koordinasi yang ideal antara Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bukanlah sebatas pembagian tugas dalam dokumen organisasi, melainkan suatu sinergi fungsional yang dinamis dan sangat menentukan keberhasilan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam proses PBJ yang melibatkan perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban anggaran, ketiga entitas ini harus berjalan dalam irama yang serasi, saling memahami peran, dan bergerak bersama menyelesaikan masalah.
Transparansi informasi, kejelasan wewenang, kecepatan merespons, serta pembagian tanggung jawab yang adil adalah pilar utama koordinasi. Berbagai mekanisme seperti rapat berkala, dashboard digital, protokol eskalasi, dan checklist progres membantu memastikan komunikasi tetap lancar dan terdokumentasi.
Di sisi lain, tantangan seperti resistensi perubahan, perbedaan prioritas, dan beban administratif yang tinggi masih menjadi hambatan nyata. Namun dengan solusi yang inovatif—seperti penunjukan wakil formal PA/KPA, penggunaan matriks prioritas, serta digitalisasi form pengadaan—semua hambatan ini bisa diatasi secara bertahap.
Ke depan, penguatan kebijakan struktural dan kultural seperti standarisasi waktu respons, insentif koordinasi, pelatihan lintas fungsi, dan monitoring audit koordinasi akan sangat penting. Jika semua upaya ini dilaksanakan secara berkesinambungan, maka PBJ tidak hanya menjadi sarana belanja pemerintah, tetapi juga alat pembangunan yang dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel—dan koordinasi antara PA, KPA, dan PPK menjadi fondasi utamanya.