Evaluasi merupakan tahap krusial dalam berbagai proses bisnis dan pemerintahan, termasuk pengadaan barang/jasa, seleksi tender, penilaian kinerja pegawai, hingga audit kepatuhan. Sebuah evaluasi yang baik tidak hanya memberi gambaran objektif tentang capaian dan kualitas, tetapi juga memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil berdasarkan data tersebut memiliki pijakan hukum yang kuat. Namun, di lapangan sering kali terjadi kesalahan atau kelalaian dalam proses evaluasi yang, jika tidak ditangani dengan tepat, dapat berujung pada sengketa hukum, gugatan administratif, atau bahkan sanksi pidana. Artikel ini membahas secara mendalam kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam evaluasi, bagaimana dampak hukum yang ditimbulkan, dan strategi pencegahan untuk menjaga integritas serta legalitas proses evaluasi.
1. Pendahuluan: Pentingnya Evaluasi yang Akurat dan Sah
Evaluasi merupakan fondasi dari setiap proses pengambilan keputusan strategis, baik dalam sektor publik maupun swasta. Dalam lingkup pengadaan barang dan jasa pemerintah, misalnya, evaluasi tidak sekadar menjadi langkah teknis administratif, tetapi merupakan proses kritis yang menentukan siapa yang akan mendapatkan hak untuk melaksanakan proyek publik dengan dana negara. Begitu pula dalam dunia kerja, evaluasi kinerja menentukan promosi, penghargaan, atau bahkan pemutusan hubungan kerja. Karena hasil evaluasi membawa dampak hukum, finansial, dan sosial yang besar, maka akurasi dan legalitas proses evaluasi menjadi sangat penting.
Kesalahan dalam evaluasi tidak hanya berdampak pada kegagalan program atau proyek, tetapi juga dapat menjadi pintu masuk masalah hukum seperti gugatan administratif, tuntutan pidana, maupun permintaan ganti rugi. Banyak kasus di mana keputusan evaluasi yang tidak obyektif, bias, atau tidak sesuai aturan berakhir di meja pengadilan, baik karena kesalahan dalam menetapkan pemenang tender, pelanggaran etika jabatan, maupun diskriminasi dalam promosi pegawai.
Oleh karena itu, penting bagi penyelenggara evaluasi untuk memahami dengan saksama seluruh aspek hukum, teknis, dan etis dari proses evaluasi. Evaluator tidak hanya harus memiliki kompetensi substantif di bidang yang dinilai, tetapi juga kesadaran akan tanggung jawab hukum dan administratif yang melekat pada peran tersebut. Dengan memahami kesalahan-kesalahan umum yang kerap terjadi dalam proses evaluasi, organisasi dapat menyusun sistem pengawasan yang lebih kuat dan menutup celah potensi sengketa di kemudian hari.
2. Landasan Hukum dan Prinsip Evaluasi yang Sah
Evaluasi tidak bisa dijalankan secara sembarangan. Ada kerangka hukum dan prinsip tata kelola yang wajib dipatuhi agar hasil evaluasi sah secara administratif dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam konteks pengadaan barang/jasa, penilaian atas penawaran penyedia harus sesuai dengan hukum positif dan prinsip good governance.
2.1. Dasar Hukum Evaluasi dalam Pengadaan
Beberapa aturan yang menjadi landasan hukum evaluasi antara lain:
-
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menggantikan Perpres No. 16 Tahun 2018, secara eksplisit mengatur bagaimana evaluasi penawaran dilakukan—termasuk metode evaluasi, kriteria teknis dan harga, serta proses dokumentasi yang harus disiapkan.
-
Peraturan LKPP, seperti Perlem LKPP Nomor 12 Tahun 2021, memberikan panduan teknis tentang bagaimana proses evaluasi dilakukan dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), termasuk template form evaluasi dan standar penilaian.
-
Surat Edaran Menteri Keuangan dan SE LKPP, yang menetapkan protokol verifikasi dan validasi, terutama bila pengadaan menyangkut anggaran yang bersumber dari dana hibah, pinjaman luar negeri, atau dana darurat.
Di luar pengadaan, evaluasi dalam penilaian kinerja pegawai, studi dampak kebijakan, dan proyek pembangunan juga tunduk pada berbagai regulasi sektoral, termasuk peraturan internal kementerian/lembaga.
2.2. Prinsip Umum Evaluasi
Agar evaluasi berjalan sah dan sahih, maka prosesnya harus berlandaskan pada prinsip-prinsip tata kelola evaluasi berikut:
-
Transparansi: Seluruh proses evaluasi harus dapat diaudit, mulai dari kriteria yang digunakan, skor yang diberikan, hingga dasar pertimbangan keputusan. Dalam praktiknya, ini menuntut dokumentasi menyeluruh dari semua aktivitas evaluator.
-
Akuntabilitas: Evaluator bertanggung jawab penuh terhadap penilaian yang diberikan. Artinya, setiap keputusan harus bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan secara logis dan hukum.
-
Keadilan: Seluruh pihak yang dinilai atau seluruh peserta evaluasi wajib diperlakukan setara tanpa diskriminasi. Tidak boleh ada perlakuan istimewa berdasarkan hubungan personal, politik, atau finansial.
-
Profesionalisme: Evaluator harus memahami substansi objek yang dinilai dan prosedur evaluasi. Tidak cukup hanya “berpengalaman”, evaluator harus terus diperbarui dengan pelatihan atau sertifikasi sesuai peraturan terbaru.
Tanpa prinsip-prinsip ini, hasil evaluasi bisa cacat secara hukum meskipun secara teknis tampak benar.
3. Kesalahan Umum dalam Proses Evaluasi
Meskipun aturan dan panduan evaluasi telah tersedia dengan jelas, dalam praktiknya masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh evaluator, baik karena ketidaktahuan, kelalaian, maupun unsur kesengajaan. Berikut adalah beberapa kesalahan umum yang kerap terjadi dalam proses evaluasi, yang tidak hanya menurunkan kualitas hasil evaluasi, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah hukum.
3.1. Kriteria Evaluasi yang Ambigu atau Tidak Konsisten
Banyak dokumen evaluasi mencantumkan kriteria yang terlalu umum, tanpa indikator yang terukur. Misalnya, kriteria “pengalaman baik” tanpa definisi jumlah proyek, nilai kontrak, atau tahun kerja tertentu. Ketika kriteria seperti ini digunakan dalam pengadaan, maka hasil evaluasi rentan dipertanyakan karena bergantung pada subjektivitas evaluator.
Lebih parah lagi, jika evaluator mengubah bobot atau kriteria di tengah proses, ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan konsistensi yang telah dijamin dalam dokumen pemilihan. Akibatnya, peserta dapat mengajukan sanggahan, banding, atau bahkan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
3.2. Konflik Kepentingan dalam Tim Evaluasi
Salah satu kesalahan fatal yang kerap terjadi adalah ketika anggota tim evaluasi memiliki konflik kepentingan yang tidak diungkapkan. Misalnya, salah satu evaluator adalah saudara atau mantan kolega penyedia yang dinilai. Jika hal ini diketahui publik atau auditor, maka proses evaluasi dianggap cacat hukum dan hasilnya dapat dibatalkan. Dalam kasus berat, konflik kepentingan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, khususnya jika disertai gratifikasi atau suap.
Untuk menghindari hal ini, penting bagi setiap evaluator menandatangani pernyataan bebas konflik kepentingan di awal tugas, serta tunduk pada pengawasan oleh APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah).
3.3. Dokumentasi Hasil Evaluasi yang Tidak Lengkap
Dalam banyak temuan BPK atau Inspektorat, dokumen hasil evaluasi seringkali tidak ditemukan atau hanya berupa angka tanpa narasi. Padahal, setiap skor dan keputusan harus memiliki catatan pendukung seperti notulensi, hasil diskusi, data pembanding, dan justifikasi teknis.
Ketiadaan dokumen ini dapat memicu temuan audit, atau dalam sengketa hukum, membuat pengadilan memutuskan bahwa proses evaluasi tidak sah. Dokumentasi yang rapi dan lengkap merupakan bukti paling kuat bahwa evaluator telah bertindak sesuai prosedur.
3.4. Penyalahgunaan Metode Perhitungan Skor
Kesalahan lain yang sering terjadi adalah penggunaan metode evaluasi yang tidak sesuai pedoman, seperti pembobotan yang tidak proporsional, rumus yang salah, atau penghitungan total nilai yang keliru. Dalam pengadaan, penggunaan metode nilai sistem gugur padahal seharusnya menggunakan evaluasi biaya manfaat (value for money) dapat menggugurkan hasil pemilihan.
Kesalahan teknis dalam rumus, meskipun tampak sepele, bisa berdampak besar jika peserta dirugikan karena peringkat yang salah. Bahkan hal ini dapat memicu gugatan hukum, terutama bila nilai kontrak besar atau proyek bersifat strategis.
3.5. Keterlambatan dalam Pengumuman Hasil
Banyak panitia pengadaan atau evaluator kinerja terlambat menyampaikan hasil evaluasi kepada peserta atau pimpinan. Dalam pengadaan, penetapan pemenang yang terlambat dari jadwal dapat dianggap sebagai pelanggaran prosedur. Selain itu, peserta dapat menuntut kerugian jika telah menunggu terlalu lama atau kehilangan peluang mengikuti tender lain.
Keterlambatan ini juga menunjukkan lemahnya manajemen waktu dan akuntabilitas tim evaluasi, serta dapat merusak reputasi lembaga di mata mitra kerja.
3.6. Kurangnya Pelatihan bagi Evaluator
Tidak semua evaluator memiliki pemahaman memadai tentang metode evaluasi, regulasi terbaru, atau standar mutu yang dinilai. Banyak kesalahan terjadi karena evaluator hanya berpedoman pada pengalaman sebelumnya tanpa memperbarui pengetahuannya. Dalam pengadaan, misalnya, perbedaan antara evaluasi harga terendah dan sistem nilai sering disalahpahami dan diterapkan keliru.
Ketiadaan pelatihan atau pembekalan menyebabkan evaluator tidak mampu menilai dengan objektif, gagal menyusun dokumentasi yang sesuai, dan berisiko tinggi melakukan kesalahan fatal. Padahal, kelalaian ini dapat menimbulkan sengketa hukum yang berdampak luas.
4. Dampak Hukum Kesalahan Evaluasi
Kesalahan dalam proses evaluasi, meskipun kerap dianggap sebagai kekeliruan administratif biasa, pada kenyataannya dapat berakibat sangat serius baik secara hukum, institusional, maupun personal. Ketika proses evaluasi yang cacat menimbulkan kerugian bagi peserta atau merusak integritas pengadaan, maka konsekuensinya bisa masuk ke ranah hukum, mulai dari perdata hingga pidana. Tiga jenis dampak hukum yang paling umum terjadi adalah sebagai berikut:
(a) Gugatan Administratif ke PTUN
Salah satu dampak langsung dari kesalahan evaluasi adalah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini lazim terjadi dalam konteks pengadaan barang/jasa pemerintah, ketika peserta tender merasa keputusan evaluasi melanggar asas keadilan, transparansi, atau tidak sesuai prosedur sebagaimana diatur dalam Perpres No. 12 Tahun 2021 dan regulasi turunan lainnya. Gugatan dapat diajukan oleh peserta yang dirugikan terhadap keputusan penetapan pemenang, apalagi jika ditemukan bukti bahwa evaluasi dilakukan secara tidak profesional, menggunakan kriteria yang berubah-ubah, atau tidak sesuai dokumen pemilihan. Jika PTUN mengabulkan gugatan, maka keputusan evaluasi bisa dibatalkan dan proses pengadaan harus diulang, yang tentu merugikan institusi dari sisi waktu, reputasi, dan efektivitas anggaran.
(b) Tuntutan Ganti Rugi Perdata
Kesalahan evaluasi juga dapat menimbulkan tuntutan perdata berupa klaim ganti rugi dari pihak yang merasa dirugikan secara finansial. Dalam kasus pengadaan, peserta tender yang telah mengeluarkan biaya untuk menyiapkan dokumen teknis, proposal keuangan, jaminan penawaran, dan logistik lainnya, dapat menggugat panitia atau institusi penyelenggara jika terbukti terjadi penyimpangan prosedur yang merugikan secara langsung. Tuntutan ini bisa dilayangkan ke pengadilan negeri dengan dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) menurut Pasal 1365 KUH Perdata. Bahkan jika tidak ada unsur niat jahat, kelalaian dalam menyusun kriteria atau salah hitung skor dapat dianggap sebagai kelalaian yang menimbulkan tanggung jawab hukum.
(c) Sanksi Pidana (Tipikor)
Dampak yang paling berat adalah jika kesalahan evaluasi terjadi bukan karena kelalaian teknis, tetapi karena adanya indikasi praktik korupsi, kolusi, atau nepotisme. Dalam kondisi ini, proses evaluasi yang seharusnya netral dan objektif berubah menjadi alat untuk memenangkan pihak tertentu secara tidak sah. Jika terbukti, maka pelaku evaluasi dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Praktik yang dapat dikualifikasikan sebagai pidana antara lain pemalsuan dokumen evaluasi, penyusunan skor palsu, menerima gratifikasi atau suap dari peserta, hingga memanipulasi dokumen penawaran untuk menjatuhkan lawan. Sanksi yang dikenakan bisa berupa hukuman penjara, denda, hingga pencabutan hak politik dan jabatan.
5. Strategi Pencegahan dan Mitigasi Risiko
Untuk menghindari kesalahan evaluasi yang berujung pada persoalan hukum, setiap institusi wajib menerapkan sistem pencegahan dan kontrol mutu yang sistematis. Strategi ini tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga etika dan tata kelola evaluasi. Berikut adalah enam strategi utama yang dapat diimplementasikan:
5.1. Penyusunan Kriteria yang Spesifik dan Terukur
Langkah awal yang paling krusial dalam pencegahan adalah merancang kriteria evaluasi yang spesifik, terukur, dan berbasis data. Hindari penggunaan istilah kabur seperti “memadai” atau “baik” tanpa indikator objektif. Sebaliknya, gunakan parameter kuantitatif yang dapat diverifikasi seperti jumlah proyek serupa dalam lima tahun terakhir, nilai kontrak minimum, rasio kepatuhan terhadap spesifikasi, atau sertifikasi tertentu seperti ISO, SNI, atau TKDN. Panduan penilaian (scoring guide) juga harus dibuat secara rinci, agar setiap evaluator menerjemahkan kriteria dengan standar yang sama. Standarisasi ini akan mempersempit ruang subjektivitas dan memperkuat legitimasi hasil evaluasi.
5.2. Deklarasi dan Penanganan Konflik Kepentingan
Semua anggota tim evaluasi wajib mengisi dan menandatangani formulir deklarasi bebas konflik kepentingan sebelum proses evaluasi dimulai. Formulir ini mencakup identifikasi relasi personal, profesional, maupun keuangan dengan peserta tender atau objek evaluasi lainnya. Jika teridentifikasi adanya potensi konflik, evaluasi harus ditangani oleh evaluator pengganti, atau anggota tersebut abstain dari proses yang relevan. Tidak adanya mekanisme ini sangat rawan digunakan untuk memanipulasi hasil evaluasi dan membuka ruang praktik tidak etis.
5.3. Sistem Dokumentasi Terintegrasi
Seluruh aktivitas selama proses evaluasi wajib dicatat secara elektronik dan terekam dalam sistem yang aman serta terintegrasi. Penggunaan aplikasi e-evaluasi yang andal akan membantu mencatat waktu akses, perubahan data, identitas evaluator yang menginput, dan notulensi rapat. Selain itu, semua hasil diskusi, dasar penilaian, dan dokumen pendukung harus dilampirkan dalam laporan evaluasi final. Rekaman audio atau video rapat penting juga bisa menjadi tambahan bukti yang menguatkan kredibilitas hasil evaluasi jika kelak disengketakan.
5.4. Standarisasi Metode Perhitungan Skor
Penting untuk memastikan bahwa metode perhitungan skor dilakukan dengan formula yang sudah diuji dan sesuai pedoman yang berlaku, seperti aturan dari LKPP atau peraturan sektoral. Kesalahan teknis dalam rumus Excel atau aplikasi spreadsheet sangat sering terjadi, dan bisa berdampak besar terhadap peringkat akhir peserta. Oleh karena itu, institusi harus menerapkan proses uji validasi atau simulasi evaluasi dengan data fiktif terlebih dahulu sebelum digunakan pada evaluasi aktual. Standar format perhitungan dan logika pengurutan peringkat juga perlu dikunci untuk menghindari manipulasi.
5.5. Manajemen Jadwal dan SLA Evaluasi
Waktu adalah faktor kritis dalam proses evaluasi, terutama jika proyek memiliki tenggat hukum atau jadwal pelaksanaan ketat. Oleh karena itu, setiap tahap evaluasi harus memiliki service level agreement (SLA) yang realistis dan terpantau. Jadwal tersebut mencakup waktu maksimal evaluasi administrasi, teknis, harga, hingga klarifikasi. Tim evaluasi juga harus memiliki mekanisme cadangan bila terjadi gangguan sistem, seperti dukungan teknis dari tim IT atau backup file offline. Dengan pengelolaan waktu yang ketat, risiko keterlambatan evaluasi yang berdampak hukum dapat ditekan.
5.6. Pelatihan dan Sertifikasi Evaluator
Mengingat kompleksitas regulasi dan dinamika proses evaluasi, pelatihan berkala dan sertifikasi menjadi langkah penting. Workshop dapat mencakup simulasi evaluasi, pemahaman dokumen pemilihan, teknik pengambilan keputusan kolektif, serta pembaruan peraturan. Institusi dapat bekerja sama dengan LKPP, BPKP, atau lembaga pendidikan formal untuk menyelenggarakan pelatihan ini. Evaluator yang bersertifikat akan lebih siap secara teknis dan etik, serta menjadi bagian dari sistem pertanggungjawaban profesional jika terjadi sengketa.
6. Studi Kasus: Sengketa Hasil Evaluasi Proyek Infrastruktur
Sengketa akibat kesalahan evaluasi bukanlah hal baru dalam dunia pengadaan, terutama pada proyek infrastruktur skala besar yang melibatkan dana miliaran rupiah dan waktu pelaksanaan panjang. Salah satu studi kasus yang dapat diangkat untuk menggambarkan kompleksitas dan risiko hukumnya terjadi dalam proyek pembangunan jembatan antar-kabupaten di salah satu provinsi di Indonesia, dengan total nilai proyek lebih dari Rp150 miliar.
Dalam proses tender, terdapat tiga penyedia yang lolos evaluasi administrasi dan teknis. Namun, saat evaluasi harga dilakukan, panitia pengadaan menetapkan pemenang berdasarkan penawaran terendah, tanpa mempertimbangkan kriteria teknis tambahan yang tercantum dalam dokumen pemilihan, seperti pengalaman spesifik dalam pekerjaan jembatan baja bentang panjang dan kemampuan manajerial proyek kompleks.
Salah satu penyedia yang dinyatakan kalah menggugat keputusan tersebut ke PTUN, dengan dalih bahwa metode evaluasi tidak dijalankan sesuai dokumen pemilihan dan tim evaluasi mengabaikan bobot teknis sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Selain itu, peserta yang digugurkan menemukan bahwa evaluator tidak membuat Berita Acara Evaluasi (BAE) secara lengkap, dan hasil diskusi internal tidak terdokumentasi secara formal.
Hasil gugatan menyatakan bahwa evaluasi mengandung cacat administratif yang berdampak substantif, sehingga keputusan penetapan pemenang dibatalkan dan proses pengadaan harus diulang dari tahap evaluasi teknis. Proyek akhirnya mengalami keterlambatan hingga 9 bulan dan menyebabkan peningkatan biaya akibat harga bahan baku yang sudah berubah. Pemerintah daerah harus melakukan revisi anggaran, dan panitia pengadaan diberikan sanksi administratif oleh APIP. Kasus ini mempertegas pentingnya ketelitian dalam menerjemahkan dokumen pemilihan ke dalam praktik evaluasi, serta perlunya dokumentasi yang kuat sebagai dasar pembelaan apabila terjadi gugatan hukum.
7. Rekomendasi Kebijakan dan Praktis
Untuk mencegah berulangnya kasus seperti di atas dan meningkatkan kualitas serta legalitas proses evaluasi, diperlukan serangkaian rekomendasi kebijakan yang mencakup aspek kelembagaan, teknis, hingga digitalisasi. Berikut adalah beberapa langkah strategis yang dapat diterapkan oleh instansi pemerintah maupun sektor swasta:
7.1. Penegasan Mandat Regulasi Evaluasi
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) perlu menyusun peraturan teknis yang lebih rinci dan mudah dipahami, termasuk memberikan contoh case study, standar dokumen evaluasi, serta panduan scoring matrix yang tidak multitafsir. Regulasi ini sebaiknya disertai dengan mekanisme audit berkala untuk mengevaluasi sejauh mana instansi telah mematuhi kaidah evaluasi sesuai Perpres PBJ.
7.2. Pembentukan Tim Evaluasi Bersertifikat
Seluruh anggota tim evaluasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, perlu mengikuti pelatihan sertifikasi dan memperoleh bukti kelayakan profesional (misalnya “Evaluator Terverifikasi LKPP”) sebelum dapat diikutsertakan dalam kegiatan evaluasi. Langkah ini dapat memperkuat integritas proses dan memberikan jaminan bahwa evaluasi dilakukan oleh SDM yang menguasai prosedur dan prinsip-prinsip pengadaan.
7.3. Penerapan Teknologi Digital Evaluasi Terintegrasi
Setiap tahap evaluasi harus terekam secara digital dan disimpan dalam server yang aman dan dapat ditelusuri. Penggunaan sistem e-evaluasi yang terhubung dengan e-tendering, e-kontrak, dan e-audit akan menciptakan digital traceability yang memungkinkan proses evaluasi diverifikasi dengan cepat, akurat, dan bebas intervensi manual. Hal ini penting untuk mengurangi risiko kecurangan, duplikasi skor, atau hilangnya dokumen.
7.4. Reformasi Mekanisme Sanksi dan Perlindungan
Perlu ada keseimbangan antara perlindungan bagi evaluator yang bertindak profesional dan pemberian sanksi yang jelas bagi pelanggar evaluasi. Evaluator harus memiliki perlindungan hukum apabila digugat atas dasar keputusan profesional yang sah, namun di sisi lain, pelanggaran serius seperti manipulasi skor atau pemalsuan dokumen harus dijatuhi sanksi yang tegas—baik berupa pemecatan, blacklist, hingga pidana jika ada unsur penipuan.
7.5. Sosialisasi Prosedur Evaluasi ke Peserta Tender
Transparansi tidak hanya menyasar internal lembaga, tetapi juga penting untuk membekali peserta tender agar memahami dasar evaluasi secara menyeluruh. Instansi disarankan menyelenggarakan sesi market sounding atau vendor briefing sebelum tender dimulai, menjelaskan kriteria teknis dan sistem penilaian secara terbuka agar semua peserta punya ekspektasi dan pemahaman yang sama.
8. Kesimpulan
Kesalahan dalam proses evaluasi, meskipun kadang dianggap sebagai persoalan teknis biasa, sejatinya menyimpan potensi risiko hukum yang besar, baik dalam bentuk gugatan administratif, tuntutan perdata, maupun sanksi pidana. Dalam konteks pengadaan barang/jasa, evaluasi bukan sekadar proses scoring, tetapi merupakan pilar utama dalam mewujudkan prinsip-prinsip pengadaan: efisien, transparan, adil, dan akuntabel. Kegagalan dalam menerapkan prinsip ini dapat merugikan negara, memperlambat pembangunan, serta menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara.
Untuk itu, setiap penyelenggara evaluasi perlu meningkatkan ketelitian, profesionalisme, dan pemahaman hukum dalam setiap tahapan. Langkah-langkah seperti standarisasi kriteria, sistem e-evaluasi, pelatihan evaluator, dan reformasi regulasi harus menjadi prioritas. Di sisi lain, peserta evaluasi juga perlu membekali diri dengan pengetahuan yang memadai tentang hak dan kewajiban mereka dalam proses evaluasi.
Dengan menerapkan strategi pencegahan secara sistemik dan membangun budaya evaluasi yang taat prosedur, kita dapat menciptakan lingkungan pengambilan keputusan yang sah, minim konflik, dan terlindungi dari implikasi hukum. Evaluasi yang baik bukan hanya menghindari sengketa, tetapi juga memperkuat legitimasi seluruh proses pembangunan.