1. Pendahuluan: Pentingnya Perjanjian yang Sah
Dalam dunia hukum perdata, perjanjian merupakan tulang punggung bagi seluruh bentuk hubungan hukum, baik yang bersifat komersial, administratif, sosial, maupun teknis. Ia menjadi landasan legal yang mengikat para pihak untuk menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang. Perjanjian tidak hanya berlaku dalam bisnis berskala besar seperti kontrak pengadaan internasional, namun juga dalam transaksi sederhana seperti jual beli tanah, penyewaan properti, atau kontrak kerja harian. Dalam setiap skenario ini, keabsahan dan kekuatan hukum dari sebuah perjanjian akan sangat menentukan keberlanjutan dan keberhasilan kerja sama tersebut.
Sayangnya, banyak perjanjian yang disusun tanpa pemahaman mendalam terhadap prinsip-prinsip hukum kontrak. Kesalahan redaksional, ketidaktahuan terhadap unsur-unsur sah perjanjian, atau penggunaan klausul yang tidak sesuai dengan hukum positif dapat menyebabkan perjanjian menjadi cacat secara hukum. Perjanjian yang demikian justru membuka pintu lebar bagi konflik, perselisihan, gugatan perdata, hingga kerugian finansial dan reputasi.
Lebih jauh lagi, kompleksitas dunia usaha dan pemerintahan dewasa ini menuntut perjanjian tidak hanya valid secara hukum, tetapi juga adaptif terhadap yurisdiksi lintas negara, perkembangan teknologi, serta nilai-nilai etika bisnis. Oleh karena itu, kemampuan untuk menyusun perjanjian yang sah bukan hanya tugas notaris atau konsultan hukum, melainkan juga tanggung jawab manajer proyek, pelaku UMKM, ASN, hingga pengelola lembaga publik yang sehari-harinya bersinggungan dengan kontrak kerja.
2. Definisi Perjanjian Cacat Hukum
Perjanjian dinyatakan cacat hukum apabila tidak memenuhi salah satu atau lebih dari syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
- Kesepakatan para pihak (consensus)
- Kecakapan untuk membuat perikatan (capacity)
- Suatu hal tertentu sebagai objek (object)
- Sebab yang halal (cause)
Keempat unsur ini merupakan syarat mendasar agar perjanjian dapat diakui dan ditegakkan secara hukum. Jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dikategorikan sebagai “batal demi hukum” (void) atau “dapat dibatalkan” (voidable), tergantung dari sifat dan jenis cacat yang terjadi.
Misalnya, jika perjanjian dilakukan oleh seseorang yang belum cakap hukum (seperti anak di bawah umur), maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sebaliknya, jika perjanjian dibuat untuk tujuan melawan hukum atau bertentangan dengan ketertiban umum (misalnya kontrak bisnis narkoba), maka perjanjian langsung batal demi hukum.
Selain itu, cacat hukum juga dapat terjadi dalam proses pembentukan perjanjian, seperti saat terjadinya paksaan (vis compulsiva), penipuan (dolus), atau kekeliruan substansial (error in substantia). Oleh karena itu, mengenali dan memahami bentuk-bentuk cacat hukum sangat penting agar kita tidak terjebak dalam perjanjian yang tidak dapat dipertahankan secara hukum.
3. Jenis-jenis Cacat Hukum dalam Perjanjian
Cacat hukum dalam perjanjian dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, bergantung pada tahap dan aspek yang dilanggar:
3.1. Cacat Substansi (Object & Cause)
Cacat substansi menyangkut isi atau tujuan dari perjanjian. Suatu perjanjian wajib memiliki objek yang jelas, mungkin dilaksanakan, dan tidak bertentangan dengan hukum. Contohnya:
- Objek tidak jelas atau mustahil: Misalnya kontrak pengiriman “satu ton berlian alami dalam waktu 2 hari”, yang secara logistik dan legal tidak mungkin dipenuhi.
- Causa tidak halal: Misalnya, perjanjian untuk menyewa bangunan yang diketahui akan digunakan sebagai tempat perjudian ilegal. Karena bertentangan dengan hukum dan ketertiban umum, perjanjian semacam itu batal demi hukum tanpa perlu pembatalan resmi dari pengadilan.
3.2. Cacat Prosedur (Capacity & Consent)
Cacat ini terjadi karena salah satu pihak tidak cakap hukum atau memberikan persetujuan yang tidak sah. Contoh-contoh bentuknya meliputi:
- Kurangnya kecakapan hukum: Seorang anak berusia 17 tahun menandatangani perjanjian kredit mobil tanpa perwakilan wali sah.
- Kekeliruan substansial (error in negotio): Salah satu pihak salah menafsirkan objek perjanjian, misalnya menyangka menyewa rumah permanen padahal bangunan semi permanen.
- Penipuan (dolus malus): Penyedia jasa mengklaim memiliki sertifikasi ISO palsu untuk memenangkan kontrak pengadaan.
- Paksaan atau tekanan psikis (vis compulsiva): Salah satu pihak menyetujui kontrak karena ancaman pemecatan atau kekerasan fisik.
Cacat prosedur ini membuat perjanjian rentan dibatalkan oleh pengadilan atas permintaan pihak yang merasa dirugikan.
3.3. Cacat Formal
Beberapa jenis perjanjian di Indonesia wajib memenuhi bentuk tertentu untuk dapat sah dan memiliki kekuatan pembuktian. Kegagalan memenuhi syarat formil akan menjadikan perjanjian tersebut lemah di mata hukum atau bahkan batal.
Contoh umum:
- Perjanjian jual beli tanah yang tidak dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan tidak didaftarkan ke BPN dianggap tidak memiliki kekuatan hukum untuk proses balik nama.
- Tidak adanya materai dan saksi yang sah: Meski materai bukan syarat sah perjanjian, namun sangat penting untuk kekuatan pembuktian di pengadilan. Kontrak tanpa tanda tangan kedua pihak atau tanpa saksi menjadi rawan disengketakan.
3.4. Cacat karena Keterpaksaan atau Penipuan (Vis dan Dolus)
Kategori ini sering kali menjadi dasar gugatan pembatalan perjanjian. Dua unsur yang umum terjadi adalah:
- Vis Compulsiva (paksaan secara psikis): Misalnya, seseorang menandatangani kontrak kerja dengan beban jam kerja di luar ketentuan UU Ketenagakerjaan karena takut diberhentikan secara sepihak.
- Dolus Malus (penipuan yang disengaja): Seseorang menjual mobil bekas dengan menyembunyikan fakta bahwa mobil tersebut bekas banjir, lalu membuat perjanjian jual beli tanpa menyebutkan kondisi tersebut.
Kedua bentuk cacat ini menyebabkan consent (kesepakatan) dalam perjanjian tidak murni dan karenanya dapat dibatalkan.
4. Dampak Perjanjian Cacat Hukum
Perjanjian yang cacat hukum tidak hanya kehilangan nilai validitasnya secara legal, tetapi juga menimbulkan berbagai konsekuensi serius baik secara finansial, reputasi, maupun pidana. Dalam praktiknya, kerugian akibat perjanjian cacat hukum dapat berlipat ganda karena menyentuh berbagai aspek operasional dan hukum yang saling berkelindan. Beberapa dampak utama yang lazim terjadi antara lain:
a. Pembatalan Perjanjian secara Hukum
Perjanjian yang diketahui cacat sejak awal-karena misalnya melanggar ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata-berpotensi dibatalkan melalui putusan pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan pembatalan atau pernyataan tidak sah atas perjanjian tersebut. Pembatalan ini bisa bersifat retroaktif (ex tunc), yang berarti seolah-olah perjanjian tidak pernah ada sejak awal. Akibatnya, seluruh transaksi turunannya (seperti pembayaran, pengiriman barang, atau pekerjaan jasa) juga bisa dianggap tidak sah dan harus dikembalikan ke keadaan semula (restitusi).
b. Kerugian Finansial yang Tidak Terkendali
Cacat dalam kontrak dapat mengakibatkan kerugian ekonomi secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya:
- Deposit atau uang muka tertahan, karena kontrak dianggap batal dan penyedia enggan mengembalikannya.
- Pengenaan denda atau penalti yang muncul akibat pelanggaran klausul waktu atau mutu, padahal akar persoalannya adalah cacat substansi dalam perjanjian.
- Tuntutan ganti rugi (actio ex delicto) dari pihak ketiga, terutama jika kerugian melebar ke mitra kerja lain atau berdampak pada publik.
Kerugian ini sering kali tidak hanya melibatkan uang tunai, tetapi juga potensi kehilangan proyek, peluang bisnis, atau modal kerja yang telah digunakan.
c. Risiko terhadap Reputasi dan Kredibilitas Usaha
Salah satu dampak jangka panjang dari perjanjian yang cacat adalah terkikisnya reputasi hukum dan bisnis dari entitas yang terlibat. Misalnya:
- Pihak yang melakukan perjanjian dengan entitas bodong atau tidak sah bisa masuk daftar hitam (blacklist) oleh mitra atau instansi tertentu.
- Dalam dunia pembiayaan atau investasi, pelanggaran kontrak bisa membuat perusahaan masuk dalam catatan buruk biro kredit, yang mempersulit akses pinjaman atau kerjasama baru.
- Jika cacat hukum dikaitkan dengan pelanggaran etika atau prinsip good governance, maka perusahaan bisa kehilangan kepercayaan publik, mitra, atau bahkan pemegang saham.
d. Potensi Sanksi Pidana
Perjanjian yang cacat karena unsur penipuan, rekayasa dokumen, atau suap dapat dikenakan sanksi pidana. Beberapa undang-undang yang relevan antara lain:
- KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), khususnya untuk tindak pidana penipuan (Pasal 378), pemalsuan dokumen (Pasal 263), dan penggelapan (Pasal 372).
- UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, jika perjanjian cacat terkait pengadaan barang/jasa di sektor publik dengan niat memperkaya diri sendiri atau orang lain.
- UU ITE, jika perjanjian dilakukan secara digital namun melibatkan pemalsuan data elektronik.
Sanksi pidana ini tidak hanya berdampak pada individu penandatangan, tetapi juga pada institusi yang bertanggung jawab, melalui pemrosesan hukum korporasi.
5. Langkah Pencegahan dan Cara Menghindarinya
Agar terhindar dari berbagai konsekuensi hukum dan kerugian yang telah disebutkan, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan yang sistematis sejak awal penyusunan perjanjian. Berikut ini adalah langkah-langkah preventif yang dapat diterapkan dalam praktik:
5.1. Penyusunan Dokumen yang Teliti dan Komprehensif
Langkah awal yang paling krusial adalah menyusun isi perjanjian dengan struktur logis, sistematis, dan bahasa hukum yang presisi. Beberapa prinsip penyusunan yang wajib diperhatikan:
- Rincikan hak dan kewajiban masing-masing pihak secara eksplisit, termasuk tanggung jawab utama, dukungan, pelaporan, dan kewajiban pasca-kontrak.
- Gunakan terminologi teknis dan legal yang jelas serta tidak multitafsir. Hindari kata-kata umum atau ambigu seperti “sesuai kemampuan”, “apabila memungkinkan”, tanpa indikator pengukuran.
- Lampirkan spesifikasi teknis, standar mutu, gambar teknis, atau jadwal kegiatan sebagai bagian tidak terpisahkan dari kontrak.
- Gunakan checklist perjanjian untuk memastikan semua komponen minimum sudah termuat (identitas, objek, harga, durasi, penyerahan, force majeure, sengketa, dan tanda tangan).
5.2. Verifikasi Legitimasi Para Pihak Secara Menyeluruh
Langkah berikutnya adalah memastikan bahwa semua pihak dalam perjanjian memiliki kapasitas dan legalitas hukum yang valid. Ini dapat dilakukan dengan:
- Meminta dan memeriksa dokumen identitas resmi, seperti NIK dan KTP untuk individu, serta akta notaris, SK pengesahan badan hukum, dan NIB untuk badan usaha.
- Memastikan pihak penandatangan mewakili institusi secara sah dengan surat kuasa atau Surat Keputusan (SK) penugasan.
- Melakukan penelusuran latar belakang (due diligence) terhadap kredibilitas, rekam jejak hukum, dan catatan pajak pihak lain.
- Menyimpan semua dokumen verifikasi tersebut sebagai bukti administrasi bila terjadi sengketa.
5.3. Melibatkan Tim Hukum dalam Legal Review
Sebelum ditandatangani, perjanjian sebaiknya melalui proses review hukum (legal review) oleh pihak ketiga yang objektif, seperti pengacara, notaris, atau bagian hukum internal. Manfaatnya antara lain:
- Menilai keabsahan unsur-unsur hukum dalam perjanjian dan potensi konflik dengan regulasi.
- Memberikan legal opinion tertulis tentang kelemahan atau potensi sengketa dalam dokumen tersebut.
- Menyusun revisi klausul yang tidak seimbang agar tidak menimbulkan kesenjangan kepentingan (unfair terms).
- Menjamin bahwa perjanjian tidak mengandung risiko pidana atau maladministrasi.
5.4. Pengaturan Klausul Kunci yang Jelas dan Berimbang
Beberapa klausul kontraktual bersifat kritis dan wajib disusun secara cermat, di antaranya:
- Klausul Force Majeure: Aturan tentang keadaan darurat di luar kendali yang membebaskan tanggung jawab sementara.
- Klausul Penyelesaian Sengketa: Pilihan metode penyelesaian jika terjadi konflik, baik melalui mediasi, arbitrase, atau litigasi.
- Klausul Penalti: Denda atau sanksi untuk keterlambatan atau pelanggaran kontraktual.
- Garansi dan Jaminan: Tanggung jawab mutu, jangka waktu jaminan, dan prosedur klaim.
- Exit Clause (Klausul Pengakhiran): Kondisi atau syarat yang membolehkan salah satu pihak mengakhiri kontrak tanpa penalti besar.
Klausul ini menjadi pelindung utama dalam situasi ketidakpastian dan mencegah kerugian sepihak jika terjadi ketidaksesuaian pelaksanaan.
5.5. Notarisasi dan Pendaftaran Resmi Jika Diperlukan
Untuk jenis perjanjian strategis seperti jual beli aset tetap, kerjasama jangka panjang, atau pengalihan hak atas properti, disarankan dilakukan melalui akta notaris. Langkah ini memberikan:
- Kekuatan pembuktian yang lebih tinggi di mata hukum (akta otentik).
- Bukti validitas waktu dan pihak yang terlibat dalam penandatanganan.
- Kemudahan dalam eksekusi di pengadilan jika terjadi wanprestasi.
Selain itu, perjanjian tertentu juga perlu didaftarkan ke instansi pemerintah, misalnya:
- Perjanjian jual beli tanah → didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
- Perjanjian pendirian atau perubahan badan hukum → ke Kementerian Hukum dan HAM.
- Perjanjian dengan pihak asing → perlu juga mempertimbangkan notifikasi ke BKPM atau lembaga terkait.
6. Studi Kasus Perjanjian yang Gagal
Untuk memahami pentingnya menyusun perjanjian secara sah dan akurat, kita dapat melihat beberapa studi kasus nyata yang kerap terjadi dalam praktik, baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Ketiga contoh di bawah ini menunjukkan bagaimana kekurangan pada aspek formalitas, substansi, maupun legalitas dapat mengakibatkan kerugian nyata, bahkan kehilangan hak atau aset.
a. Jual Beli Tanah Tanpa PPAT: Hak Milik Gagal Dialihkan
Dalam sebuah transaksi jual beli tanah antara dua pihak perseorangan, mereka hanya menggunakan surat perjanjian biasa di atas materai, tanpa melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan tanpa mendaftarkannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pembeli telah membayar lunas dan mulai menempati lahan tersebut.
Namun, ketika pembeli hendak mengurus sertifikat atas nama dirinya, diketahui bahwa tanah masih atas nama pemilik lama, dan secara hukum belum ada peralihan hak. Celakanya, ahli waris pemilik lama menggugat transaksi tersebut karena tidak melalui prosedur sah. Pengadilan kemudian memutuskan bahwa transaksi tidak sah, dan pembeli kehilangan seluruh hak atas tanah serta uang yang telah dibayarkan.
Analisis: Ini adalah contoh klasik cacat formal, di mana bentuk dan prosedur hukum tidak terpenuhi. Transaksi jual beli tanah wajib dituangkan dalam akta PPAT dan didaftarkan ke BPN agar memiliki kekuatan hukum mengikat.
b. Kerja Sama Usaha Tanpa Klausul Durasi: Konflik Kepemilikan Keuntungan
Dua perusahaan lokal membuat Memorandum of Agreement (MOA) untuk mengelola usaha restoran. Mereka sepakat untuk membagi modal dan hasil usaha, tetapi dalam dokumen MOA tidak disebutkan durasi kerja sama, tidak ada mekanisme evaluasi, dan tidak dijelaskan pembagian tugas secara rinci.
Setelah tiga tahun berjalan, salah satu pihak merasa kontribusinya lebih besar dan mengklaim hak keuntungan yang lebih besar. Karena tidak ada acuan waktu dan pengakhiran, sengketa pun terjadi. Proses mediasi gagal karena MOA dianggap terlalu longgar. Akhirnya, kasus berlanjut ke pengadilan, menghabiskan waktu dan biaya besar, serta membuat restoran gulung tikar akibat reputasi yang rusak.
Analisis: Ini adalah contoh cacat substansi, khususnya pada aspek object dan cause, di mana klausul penting seperti durasi, hak, dan batas tanggung jawab tidak dijabarkan secara tegas.
c. Perjanjian Verbal Sewa Menyewa: Penyewa Enggan Keluar
Seorang pemilik rumah menyewakan unit miliknya secara lisan kepada seorang penyewa. Tidak ada dokumen perjanjian tertulis, hanya kesepakatan bulanan dan pembayaran tunai tanpa kuitansi. Setelah dua tahun, pemilik hendak mengambil kembali rumahnya untuk dihuni sendiri. Namun, penyewa menolak keluar dan mengklaim bahwa ia masih berhak menempati karena tidak ada perjanjian batas waktu.
Kasus ini akhirnya masuk ke pengadilan. Karena tidak ada bukti tertulis tentang masa sewa dan ketentuan pengakhiran, hakim sulit menentukan siapa yang benar. Proses pengosongan memakan waktu 6 bulan dan biaya hukum tambahan.
Analisis: Perjanjian verbal, meskipun sah secara hukum dalam batas tertentu, tidak memiliki kekuatan pembuktian yang cukup, terutama untuk transaksi bernilai atau berdurasi panjang. Ini adalah contoh kegagalan dokumentasi formil yang dapat dicegah dengan surat perjanjian sederhana sekalipun.
7. Rekomendasi Praktis
Agar perjanjian yang disusun memiliki kekuatan hukum, menghindari sengketa, dan menjadi instrumen kerja sama yang sehat, maka perlu diterapkan sejumlah strategi praktis berikut secara konsisten, baik dalam kontrak formal besar maupun kerja sama sederhana:
a. Buat Draft Kontrak Lebih dari Sekali dan Diskusikan
Jangan terburu-buru menyelesaikan perjanjian dalam satu kali duduk. Selalu siapkan draf awal yang bisa didiskusikan bersama para pihak. Proses ini penting untuk:
- Menyaring ketidaksepahaman sejak awal.
- Mengakomodasi masukan dari unit keuangan, hukum, teknis, dan manajerial.
- Mencegah bias sepihak dalam klausul yang sensitif.
Revisi sebaiknya dilakukan secara berjenjang dan terdokumentasi, sehingga setiap perubahan memiliki jejak konsultatif yang bisa dijadikan referensi jika muncul perbedaan tafsir di kemudian hari.
b. Gunakan Checklist Formil dan Materiil
Untuk menjamin kelengkapan isi dan kepatuhan terhadap aturan hukum, gunakan checklist kontrak dua lapis:
- Checklist formil: memuat kelengkapan identitas, tanda tangan, lampiran, materai, tanggal, nomor kontrak, dan pengesahan notaris (jika diperlukan).
- Checklist materiil: memeriksa substansi kontrak seperti definisi, ruang lingkup kerja, harga, metode pembayaran, pengaturan perubahan, klausul penalti, sengketa, dan jangka waktu.
Checklist ini membantu menghindari kelalaian dan memastikan bahwa perjanjian telah melalui proses standar minimum.
c. Simpan Versi Digital dan Cetak yang Terdokumentasi
Dokumen kontrak perlu disimpan dalam dua bentuk:
- Versi cetak asli: diberi paraf, materai, dan tanda tangan basah, lalu dijilid dan disimpan di lokasi aman.
- Versi digital: discan dengan kualitas tinggi dan disimpan dalam penyimpanan cloud atau server institusi dengan backup berkala.
Hal ini penting untuk antisipasi kehilangan fisik dan sebagai pembuktian jika terjadi celah waktu atau kehilangan data akibat bencana atau kelalaian.
Pastikan materai yang digunakan sesuai tarif resmi yang berlaku. Penggunaan materai yang salah atau keliru penempatan dapat mengurangi kekuatan pembuktian dokumen tersebut di pengadilan.
d. Lakukan Sosialisasi Isi Kontrak kepada Pengguna Internal
Perjanjian bukan hanya milik pembuatnya, tapi juga instrumen kerja bagi pelaksana proyek, keuangan, monitoring, dan audit. Oleh karena itu:
- Lakukan briefing atau sosialisasi isi kontrak kepada tim pengguna internal.
- Buat resume kontrak (contract summary) yang berisi hal-hal pokok: hak & kewajiban, jadwal kerja, sanksi, dan cara pelaporan pelanggaran.
- Pastikan unit pelaksana memahami batas toleransi deviasi dan cara meminta adendum bila dibutuhkan.
Dengan langkah ini, pelaksanaan kontrak akan sesuai jalur dan meminimalisir kesalahan administratif atau pelanggaran kontraktual.
8. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Perjanjian cacat hukum tidak selalu karena niat buruk; sering terjadi akibat kelalaian prosedural. Pencegahan membutuhkan sinergi antara kepatuhan regulasi, review hukum, dan peningkatan literasi kontrak para pihak. Pada level kebijakan, pemerintah bisa menyediakan template standar dan pelatihan kontrak digital bagi UMKM dan OPD. Dengan perjanjian legal yang benar, risiko sengketa dapat diminimalkan, memperkuat kepastian hukum, dan mendukung iklim investasi serta kerjasama yang sehat.