Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) pemerintah adalah kewenangan penting yang melibatkan anggaran publik besar dan berpotensi menimbulkan risiko penyimpangan apabila tidak diawasi secara ketat. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) memainkan peran krusial dalam memastikan seluruh tahapan PBJ berjalan sesuai peraturan, transparan, akuntabel, dan memberikan nilai terbaik bagi masyarakat. Artikel ini membahas secara panjang dan mendalam tentang definisi APIP, kerangka hukum, fungsi utama, metode pengawasan, studi kasus, serta rekomendasi praktis untuk memperkuat peran APIP dalam proses PBJ.
1. Pengantar: Mengapa Pengawasan APIP Penting dalam PBJ?
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJ) merupakan titik kritis dalam siklus kebijakan publik karena di situlah anggaran negara atau daerah benar-benar “turun ke lapangan” dan diwujudkan dalam bentuk nyata: mulai dari pembangunan jalan, pengadaan obat-obatan untuk puskesmas, pengadaan alat tulis untuk sekolah, hingga layanan publik digital. Maka, kualitas tata kelola PBJ secara langsung berpengaruh terhadap keberhasilan program-program pemerintah yang menyentuh kehidupan masyarakat.
Namun, PBJ juga merupakan salah satu sektor yang paling rawan terhadap berbagai bentuk penyimpangan, baik yang bersifat administratif, teknis, maupun pidana. Dari kasus dokumen tender yang disusun untuk “menang-kan” pihak tertentu, penggelembungan harga atau mark-up yang sulit dideteksi, hingga pemecahan paket pengadaan secara ilegal agar bisa ditunjuk langsung-semuanya menjadi ancaman terhadap efektivitas dan akuntabilitas PBJ. Bahkan dalam banyak laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pelanggaran dalam pengadaan menempati peringkat tinggi dalam kategori kerugian keuangan negara.
Dalam konteks inilah Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) memainkan peran vital. APIP hadir bukan semata sebagai auditor atau pencari kesalahan, tetapi sebagai mitra strategis yang menjembatani antara pelaksana kebijakan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. APIP memiliki posisi yang strategis karena bergerak dari dalam sistem, memiliki pemahaman mendalam atas struktur organisasi, kebijakan, dan proses kerja, serta memiliki mandat untuk memberikan peringatan dini (early warning) sebelum terjadi pelanggaran yang lebih besar.
Tanpa kehadiran APIP yang aktif, kompeten, dan independen, potensi penyimpangan dalam pengadaan bisa meningkat secara eksponensial. Apalagi, kompleksitas PBJ terus bertambah-baik karena meningkatnya anggaran, semakin beragamnya metode pengadaan (e-purchasing, swakelola, tender cepat, dsb), maupun karena tekanan publik terhadap transparansi dan efisiensi penggunaan anggaran.
Oleh karena itu, penguatan fungsi APIP dalam PBJ bukanlah opsi, melainkan sebuah kebutuhan strategis. Memahami peran, fungsi, dan tantangan APIP dalam proses PBJ menjadi fondasi penting bagi semua pemangku kepentingan-baik pejabat pengadaan, kepala daerah, auditor eksternal, maupun masyarakat sipil-untuk mendorong reformasi pengadaan yang berintegritas dan berdampak luas.
2. Definisi dan Landasan Hukum APIP
2.1. Definisi APIP
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) adalah unit kerja atau badan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengawasan intern di lingkungan instansi pemerintah. Dalam struktur kelembagaan pemerintah pusat, APIP terdiri atas Inspektorat Jenderal (Irjen) atau Satuan Pengawasan Intern (SPI) di bawah kementerian/lembaga. Sementara di tingkat pemerintah daerah, fungsi ini dijalankan oleh Inspektorat Daerah, yang berada di bawah kepala daerah namun memiliki fungsi pengawasan yang independen.
Secara konseptual, APIP bertugas memastikan bahwa seluruh proses, sistem, dan kegiatan dalam instansi pemerintah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, prinsip tata kelola yang baik (good governance), serta standar efisiensi dan efektivitas. Dalam konteks PBJ, APIP bertugas memberikan keyakinan bahwa pengadaan dilakukan sesuai dengan regulasi, bebas dari konflik kepentingan, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, peran APIP tidak hanya sebagai auditor pasif yang menunggu kesalahan untuk ditemukan. Dalam pendekatan modern, APIP juga memainkan peran sebagai trusted advisor-memberi saran, pendampingan, serta membangun kapasitas aparatur agar risiko-risiko pengadaan bisa diantisipasi sejak awal. Peran ini memungkinkan APIP berkontribusi tidak hanya pada kepatuhan, tetapi juga pada peningkatan kinerja organisasi secara menyeluruh.
2.2. Landasan Hukum
Untuk menjalankan fungsinya, APIP memiliki dasar hukum yang kuat dan komprehensif. Beberapa regulasi utama yang menjadi pijakan APIP dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap PBJ antara lain:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
UU ini menegaskan bahwa seluruh pelaksanaan tugas pemerintahan harus berasaskan profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas. APIP memiliki mandat untuk mengawal prinsip-prinsip ini agar setiap tindakan administratif, termasuk dalam PBJ, tidak melampaui kewenangan atau bertentangan dengan hukum. - Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
SPIP adalah sistem yang dirancang untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi. SPIP mencakup lima komponen utama: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan. APIP menjadi bagian sentral dalam implementasi dan pengawasan SPIP, termasuk dalam proses pengadaan. - Peraturan Kepala BPKP Nomor 1 Tahun 2020 tentang Standar Profesional APIP (SP-APIP)
Peraturan ini menjadi panduan operasional bagi seluruh APIP dalam menjalankan tugas pemeriksaan, evaluasi, reviu, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya. Standar ini menetapkan etika profesi, kompetensi teknis, dan metodologi yang harus diikuti APIP agar hasil pengawasannya dapat diandalkan. - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Inspektorat Daerah
Bagi APIP di lingkungan pemerintah daerah, regulasi ini mengatur posisi, struktur organisasi, serta lingkup tugas Inspektorat Daerah. Dalam konteks PBJ, Inspektorat Daerah berwenang melakukan reviu dokumen pengadaan, melakukan audit berbasis risiko, dan memberikan masukan strategis kepada kepala daerah. - Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Meski bukan khusus untuk APIP, regulasi ini menjadi acuan utama bagi seluruh pihak yang terlibat dalam PBJ. APIP menggunakan Perpres ini sebagai referensi ketika menilai kepatuhan pelaksanaan pengadaan, baik pada tahap perencanaan, pemilihan penyedia, pelaksanaan kontrak, maupun pembayaran.
Landasan hukum tersebut menunjukkan bahwa APIP bukanlah lembaga ad-hoc atau pelengkap belaka, tetapi memiliki legitimasi formal yang kuat untuk mengawal integritas proses PBJ. APIP memiliki akses terhadap dokumen-dokumen pengadaan, hak untuk merekomendasikan tindakan korektif, serta kewajiban untuk melaporkan temuan kepada pimpinan instansi, bahkan kepada lembaga penegak hukum apabila ditemukan unsur pelanggaran berat.
Dengan demikian, memahami definisi dan dasar hukum APIP menjadi fondasi penting agar semua pihak-baik pelaksana PBJ maupun masyarakat pengawas-dapat menghargai dan memaksimalkan peran strategis APIP dalam mewujudkan pengadaan yang bersih dan berkualitas.
3. Fungsi dan Tugas Utama APIP dalam Pengawasan PBJ
APIP menjalankan peran penting dalam memastikan bahwa proses pengadaan barang dan jasa pemerintah berlangsung secara akuntabel, efisien, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Fungsi pengawasan yang dilakukan APIP bersifat menyeluruh-dari pencegahan, deteksi, hingga koreksi. Beberapa fungsi utama APIP yang secara spesifik menyasar proses PBJ antara lain:
3.1. Audit Kinerja dan Audit Kepatuhan
Salah satu tugas utama APIP adalah melakukan audit terhadap pelaksanaan pengadaan, baik dari sisi kinerja (performance audit) maupun kepatuhan (compliance audit).
- Audit kinerja berfokus pada seberapa jauh proses PBJ telah memenuhi prinsip 3E (efisiensi, efektivitas, dan ekonomis). Contoh pertanyaan audit kinerja meliputi: Apakah barang yang dibeli benar-benar dibutuhkan? Apakah harga sesuai dengan pasar? Apakah waktu pelaksanaan sesuai rencana?
- Audit kepatuhan, di sisi lain, lebih menekankan pada prosedur: Apakah proses pemilihan penyedia sudah sesuai dengan Perpres 12/2021? Apakah paket pengadaan telah diumumkan melalui sistem e-procurement? Apakah dokumen lengkap dan ditandatangani oleh pejabat berwenang?
Melalui kombinasi audit ini, APIP dapat memberi gambaran lengkap tentang integritas dan efektivitas PBJ di setiap instansi.
3.2. Penilaian Risiko dan Pemantauan Preventif
APIP juga menjalankan fungsi risk-based auditing, yaitu melakukan identifikasi dan pemetaan risiko pada paket-paket pengadaan yang berpotensi menimbulkan permasalahan hukum, keuangan, atau reputasi. Risiko tersebut bisa muncul dari berbagai hal: spesifikasi teknis yang dirancang untuk “menang-kan” penyedia tertentu, ketidakjelasan ruang lingkup pekerjaan, harga satuan yang tidak wajar, hingga rekam jejak penyedia yang buruk.
Melalui pendekatan ini, APIP bukan hanya mengaudit setelah kejadian, tetapi turut melakukan pemantauan preventif (preventive monitoring) sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan kontrak, terutama pada proyek-proyek strategis dan bernilai besar.
3.3. Pemberian Rekomendasi dan Pembinaan Teknis
Setiap hasil pengawasan tidak berhenti pada temuan, tetapi dilanjutkan dengan rekomendasi perbaikan yang konstruktif. APIP menyusun rekomendasi teknis dan administratif yang bertujuan memperbaiki kelemahan sistem, bukan sekadar menghukum pelaku.
Rekomendasi bisa berupa revisi SOP, penyempurnaan dokumen RUP, pelatihan teknis penyusunan HPS, atau perubahan struktur tim pengadaan. Dalam beberapa kasus, APIP juga diminta menjadi narasumber pelatihan, membantu menyiapkan formulir evaluasi, atau menyusun template dokumen agar sesuai standar.
3.4. Penanganan Pengaduan dan Whistleblowing
APIP juga menjadi kanal resmi bagi masyarakat atau pegawai yang ingin melaporkan dugaan pelanggaran dalam proses PBJ. Melalui sistem whistleblowing, laporan dapat disampaikan secara anonim, dan identitas pelapor dilindungi sesuai peraturan.
APIP kemudian memverifikasi laporan tersebut dan, jika terbukti kredibel, melakukan pemeriksaan investigatif. Kanal ini menjadi pintu masuk awal untuk mencegah terjadinya korupsi sebelum mencapai tahap yang merugikan keuangan negara.
4. Metode dan Tahapan Pengawasan APIP dalam PBJ
Pengawasan APIP terhadap proses PBJ tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi melalui tahapan yang sistematis dan terstandarisasi. Berikut tahapan umumnya:
4.1. Perencanaan Audit
Setiap tahun, APIP menyusun Rencana Audit Tahunan (RAT) berdasarkan analisis risiko. Proyek-proyek pengadaan yang bernilai besar, menggunakan dana bantuan pusat, atau memiliki riwayat temuan audit sebelumnya biasanya mendapat prioritas. Dalam perencanaan ini, APIP juga mempertimbangkan masukan dari pimpinan OPD, laporan masyarakat, dan data pemantauan LKPP.
Perencanaan ini penting untuk memastikan keterbatasan sumber daya APIP dapat diarahkan pada titik-titik paling kritis dalam siklus PBJ.
4.2. Pelaksanaan Audit Lapangan
Tim APIP kemudian turun ke lapangan dan melakukan field audit terhadap paket PBJ yang dipilih. Proses ini melibatkan:
- Pemeriksaan dokumen perencanaan: RUP, KAK, HPS, metode pemilihan.
- Verifikasi proses evaluasi: Berita Acara Evaluasi, Formulir Evaluasi Penawaran.
- Pemeriksaan kontrak dan SPK: apakah redaksi sesuai standar dan ketentuan hukum.
- Pengecekan bukti fisik: berita acara serah terima barang/jasa, dokumentasi kegiatan.
- Wawancara dengan pejabat pengadaan, penyedia, atau pengguna hasil pengadaan.
Jika ditemukan potensi penyimpangan, audit bisa diperluas untuk menggali motif, alur dokumen, dan dampaknya terhadap keuangan negara.
4.3. Pelaporan Hasil Audit
Setelah seluruh bukti terkumpul, APIP menyusun Laporan Hasil Pengawasan (LHP) yang berisi:
- Ringkasan pelaksanaan pengadaan yang diaudit.
- Temuan-temuan utama, diklasifikasikan sebagai temuan administrasi, teknis, atau berpotensi pidana.
- Analisis dampak keuangan dan kelemahan sistem.
- Rekomendasi perbaikan serta tenggat waktu pelaksanaan koreksi.
LHP disampaikan kepada pimpinan instansi dan unit PBJ yang diperiksa, dan menjadi acuan untuk pembenahan internal.
4.4. Tindak Lanjut dan Verifikasi
Fungsi APIP tidak berhenti setelah LHP diterbitkan. APIP harus melakukan tindak lanjut dan verifikasi, biasanya dalam jangka waktu 30-60 hari setelah temuan disampaikan. Tim verifikasi akan menilai apakah rekomendasi telah dilaksanakan secara nyata, misalnya:
- Sudahkah dokumen diperbaiki?
- Apakah pembayaran yang tidak sah sudah dikembalikan ke kas daerah/negara?
- Apakah pejabat yang melanggar telah diganti atau diberi sanksi?
Verifikasi ini penting agar pengawasan tidak hanya menjadi rutinitas formal, tetapi benar-benar mendorong perubahan perilaku dan peningkatan kualitas PBJ.
5. Studi Kasus: APIP Mengungkap Mark-Up Proyek Jalan Desa
Untuk memahami dampak konkret peran APIP dalam PBJ, mari simak sebuah studi kasus nyata:
Di salah satu kabupaten, terdapat proyek pengaspalan jalan desa sepanjang 3 kilometer dengan nilai kontrak sekitar Rp1,8 miliar. Proyek ini dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan masuk sebagai program prioritas kepala daerah.
Namun, dalam proses audit tahunan, APIP mencurigai adanya kejanggalan harga satuan dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB). Tim audit kemudian melakukan serangkaian langkah:
- Verifikasi Harga Pasar
Tim APIP mengunjungi tiga supplier material jalan dan dua kontraktor pembanding. Hasilnya, ditemukan bahwa harga satuan aspal dan batu split dalam proyek tersebut 30% lebih tinggi dibanding harga pasar. - Pemeriksaan Dokumen Pembelian
Dokumen pembelian aspal yang diserahkan oleh kontraktor ternyata tidak didukung bukti pembayaran riil. Terdapat invoice palsu dan nota fiktif yang digunakan sebagai justifikasi pengeluaran. - Wawancara dengan Panitia dan Penyedia
Dalam wawancara, panitia pengadaan mengaku “ikut arahan” dari pejabat dinas dan tidak berani memverifikasi lebih lanjut harga yang ditetapkan.
Hasil audit ini mengungkap mark-up senilai lebih dari Rp500 juta, yang kemudian memicu proses:
- Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dari Inspektorat Daerah.
- Rekomendasi pemecatan panitia pengadaan.
- Penunjukan ulang kontraktor untuk pekerjaan tambahan di tahun berikutnya.
- Perbaikan prosedur validasi HPS dengan keterlibatan APIP sejak awal perencanaan.
Kasus ini memperlihatkan betapa pentingnya peran APIP dalam mendeteksi lebih awal potensi kerugian negara, sekaligus menunjukkan fungsi pembinaan agar kesalahan serupa tidak terulang.
6. Tantangan dan Rekomendasi Penguatan Peran APIP
Meskipun memiliki mandat yang sangat strategis, pelaksanaan peran APIP di lapangan tidak selalu berjalan mulus. Sejumlah hambatan struktural, teknis, dan budaya masih menjadi tantangan utama dalam menjalankan fungsi pengawasan yang optimal terhadap proses pengadaan barang/jasa. Oleh karena itu, memahami tantangan ini dan menyusun langkah penguatan menjadi bagian penting dari reformasi tata kelola PBJ.
6.1. Tantangan yang Dihadapi APIP
a. Keterbatasan Sumber Daya Manusia dan Spesialisasi Audit
Salah satu tantangan paling krusial adalah jumlah dan kapasitas auditor APIP yang belum memadai. Di banyak pemerintah daerah, rasio antara jumlah auditor dengan jumlah kegiatan pengadaan sangat timpang. Bahkan dalam satu tahun, satu auditor bisa menangani puluhan paket, yang tentu mengorbankan kedalaman pemeriksaan. Selain itu, tidak semua auditor memiliki spesialisasi di bidang PBJ, terutama yang melibatkan kontrak konstruksi kompleks atau pengadaan barang teknologi tinggi.
b. Kesenjangan Teknologi Informasi dan Alat Bantu Audit
Di era digital, pengawasan yang efektif membutuhkan dukungan sistem informasi terintegrasi. Sayangnya, tidak semua APIP memiliki akses terhadap software audit berbasis data atau dashboard pengawasan digital yang terhubung ke LPSE, SIMDA, dan sistem keuangan daerah. Akibatnya, banyak proses audit masih bersifat manual, lambat, dan rentan kelolosan atas penyimpangan.
c. Resistensi Organisasi dan Budaya Kerja
Temuan dan rekomendasi dari APIP sering kali dianggap sebagai kritik atau ancaman oleh unit kerja yang diawasi. Hal ini memunculkan resistensi internal yang membuat tindak lanjut audit tidak berjalan optimal. Dalam beberapa kasus, APIP bahkan mengalami tekanan atau intimidasi karena mengungkap penyimpangan yang melibatkan pejabat tinggi. Kondisi ini menunjukkan perlunya perlindungan independensi dan penguatan posisi strategis APIP dalam struktur organisasi.
d. Minimnya Tindak Lanjut terhadap Rekomendasi
Audit yang baik tidak berarti banyak jika rekomendasinya tidak ditindaklanjuti. Banyak LHP APIP yang mandek, tidak dieksekusi tepat waktu, atau bahkan diabaikan karena tidak ada mekanisme penegakan yang kuat. Hal ini membuat efek jera terhadap pelanggaran PBJ menjadi lemah.
6.2. Rekomendasi Penguatan Peran APIP
Untuk menjadikan APIP sebagai lembaga yang benar-benar efektif dalam mengawal PBJ yang bersih dan akuntabel, berikut beberapa strategi yang dapat dilakukan:
a. Rekrutmen, Pelatihan, dan Sertifikasi Auditor PBJ
Pemerintah daerah dan pusat perlu melakukan rekrutmen auditor APIP secara selektif, dengan mempertimbangkan kompetensi teknis di bidang pengadaan, kontrak, dan akuntansi keuangan. Selain itu, perlu ada pelatihan rutin dan sertifikasi khusus bagi auditor PBJ, termasuk pelatihan audit berbasis risiko dan teknologi informasi.
Kerjasama dengan LKPP, BPKP, dan lembaga pelatihan swasta bisa mempercepat peningkatan kapasitas SDM APIP. Auditor PBJ juga sebaiknya dibekali pemahaman hukum pengadaan, peraturan e-purchasing, dan analisis HPS agar mampu membaca celah risiko sejak awal.
b. Implementasi Dashboard Audit dan Integrasi Data Real Time
Salah satu kunci keberhasilan pengawasan modern adalah penggunaan teknologi digital berbasis data terbuka. Pemerintah perlu membangun dashboard pengawasan PBJ yang bisa:
- Menarik data real-time dari LPSE, SIRUP, dan SIMDA;
- Menyajikan profil risiko per paket berdasarkan nilai, metode, dan waktu pelaksanaan;
- Mendeteksi outlier (misalnya harga terlalu tinggi dibanding pasar);
- Menghasilkan peringatan dini jika ada anomali.
Dengan dashboard ini, APIP dapat melakukan early warning system, bukan hanya pemeriksaan setelah kerugian terjadi.
c. Sosialisasi Temuan Audit dan Penguatan Transparansi
Meskipun bersifat internal, hasil audit APIP tetap bisa dimanfaatkan untuk membangun budaya akuntabilitas publik. Salah satunya melalui publikasi ringkasan temuan audit dalam bentuk laporan tahunan atau executive summary yang disampaikan ke masyarakat dan DPRD.
Sosialisasi ini akan memberi sinyal kuat bahwa proses PBJ diawasi ketat, dan semua pihak-baik internal maupun eksternal-dapat ikut terlibat dalam mengawasi pengadaan. Transparansi juga dapat memperkuat posisi APIP ketika rekomendasinya dipertanyakan oleh pihak tertentu.
d. Penguatan Regulasi Internal dan Perlindungan Auditor
Auditor harus dilindungi dari intervensi politik dan tekanan struktural. Pemerintah perlu menyusun regulasi internal yang menjamin independensi APIP, termasuk mekanisme perlindungan whistleblower dan penanganan konflik kepentingan internal. Dalam hal ini, keterlibatan Inspektorat Jenderal, BPKP, dan Ombudsman sangat strategis untuk mendampingi APIP dalam menangani kasus sensitif.
e. Penegakan Tindak Lanjut dengan Sistem Sanksi dan Penghargaan
Tindak lanjut atas rekomendasi APIP harus menjadi indikator kinerja bagi OPD. Instansi yang menindaklanjuti rekomendasi dengan baik harus diberi insentif dalam bentuk apresiasi atau kenaikan nilai pengawasan. Sebaliknya, instansi yang mengabaikan rekomendasi penting harus mendapat teguran tertulis hingga sanksi administratif sesuai Permendagri.
Dengan sistem reward and punishment ini, efek pembinaan dari APIP menjadi lebih nyata dan terasa.
7. Kesimpulan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJ) merupakan sektor yang sangat strategis dalam siklus pembangunan nasional dan daerah, karena menyerap anggaran dalam jumlah besar dan langsung bersentuhan dengan kualitas layanan publik. Namun, sektor ini juga sangat rentan terhadap praktik penyimpangan, baik karena kesengajaan maupun kelemahan sistem. Dalam konteks inilah Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) memegang peranan yang sangat vital sebagai pelindung integritas PBJ.
Melalui fungsi audit kinerja, audit kepatuhan, pemetaan risiko, pembinaan teknis, dan pengelolaan pengaduan, APIP mampu menjadi penjaga gawang tata kelola PBJ yang bersih dan transparan. Namun demikian, efektivitas APIP masih menghadapi tantangan serius: jumlah auditor yang terbatas, kurangnya penggunaan teknologi pengawasan, serta lemahnya tindak lanjut hasil pengawasan.
Untuk memperkuat posisi dan peran APIP, diperlukan strategi penguatan yang menyentuh aspek SDM, infrastruktur digital, sistem reward-sanksi, dan transparansi publik. Pemerintah daerah dan pusat harus memberikan dukungan penuh dalam bentuk anggaran, pelatihan, serta perlindungan kelembagaan bagi APIP agar dapat menjalankan tugasnya secara independen dan profesional.
Pada akhirnya, kualitas PBJ yang baik bukan hanya bergantung pada regulasi dan sistem, tetapi juga pada ekosistem pengawasan yang kuat dan terpercaya. APIP, sebagai bagian dari sistem itu, harus diberdayakan secara maksimal agar proses pengadaan benar-benar menjadi instrumen pembangunan, bukan sarang penyimpangan. Dengan APIP yang berdaya, PBJ yang akuntabel bukan lagi impian-tetapi kenyataan.