Pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui mekanisme swakelola kian populer sebagai alternatif metode konvensional tender. Salah satu variasi swakelola memanfaatkan Organisasi Masyarakat (Ormas) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana. Skema ini memungkinkan keterlibatan warga dalam pembangunan, meningkatkan rasa memiliki, dan memanfaatkan potensi lokal. Namun, kehadiran Ormas sebagai pelaksana swakelola juga memunculkan tantangan pengawasan yang patut dicermati. Artikel ini membahas secara panjang dan mendalam: kerangka hukum, dinamika pelibatan Ormas, risiko korupsi dan kolusi, mekanisme pengawasan formal dan sosial, hingga rekomendasi memperkuat akuntabilitas.
1. Latar Belakang: Kenapa Ormas Ditunjuk sebagai Pelaksana Swakelola?
Dalam upaya mereformasi tata kelola pengadaan barang dan jasa pemerintah, pendekatan swakelola muncul sebagai solusi strategis untuk menjembatani kebutuhan pembangunan dengan pemberdayaan langsung masyarakat. Di antara berbagai entitas yang dapat dilibatkan dalam pelaksanaan swakelola, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menjadi salah satu mitra potensial yang kian sering dipilih oleh pemerintah, terutama dalam skema Swakelola Tipe III yang memang dirancang untuk melibatkan kelompok masyarakat atau entitas berbasis komunitas dalam pelaksanaan kegiatan tertentu.
Penunjukan Ormas sebagai pelaksana swakelola bukanlah keputusan yang muncul tanpa dasar. Keputusan ini dilandasi oleh sejumlah pertimbangan fungsional dan strategis, terutama menyangkut efektivitas penyelenggaraan kegiatan dan pencapaian dampak sosial yang lebih luas.
Pertama, jangkauan sosial yang luas menjadi salah satu keunggulan utama Ormas. Berbeda dengan kontraktor profesional yang bekerja berdasarkan mekanisme bisnis, Ormas biasanya telah berakar di tengah masyarakat dan memiliki jaringan yang tersebar di berbagai segmen sosial, seperti kelompok perempuan, pemuda, petani, hingga komunitas adat. Karena itulah, mereka relatif lebih mampu mengidentifikasi kebutuhan masyarakat secara akurat serta menjaring partisipasi dari kelompok-kelompok yang selama ini kurang tersentuh oleh program formal pemerintah. Dengan keterlibatan Ormas, program swakelola menjadi lebih partisipatif, tidak hanya dalam pelaksanaan, tapi juga dalam perencanaan dan evaluasi.
Kedua, tingkat kepercayaan publik terhadap Ormas cenderung tinggi, terutama jika Ormas tersebut lahir dari inisiatif lokal dan telah lama berkiprah dalam aktivitas sosial, budaya, atau keagamaan di wilayah tertentu. Kepercayaan ini menjadi modal sosial yang sangat penting, karena dalam banyak kasus, keberhasilan suatu program tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknis atau besarnya anggaran, melainkan juga oleh penerimaan masyarakat. Ormas yang dipercaya dapat menengahi berbagai potensi konflik, memperlancar koordinasi dengan tokoh masyarakat, dan memastikan bahwa kegiatan berjalan lancar tanpa penolakan di lapangan.
Ketiga, kesesuaian misi organisasi dengan tujuan program. Banyak Ormas yang secara ideologis dan operasional telah lama berkutat dalam bidang pemberdayaan masyarakat, pelestarian lingkungan, pengarusutamaan gender, dan pendidikan non-formal. Program-program pemerintah yang memiliki tujuan serupa-seperti pelatihan keterampilan kerja, gerakan sanitasi masyarakat, atau konservasi sumber daya alam-akan jauh lebih efektif jika dijalankan oleh mitra yang memang memiliki kepedulian dan pengalaman di bidang tersebut. Dalam konteks ini, pelibatan Ormas bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga relevansi.
Keempat, efisiensi anggaran juga menjadi alasan praktis. Karena Ormas biasanya bekerja secara nirlaba dan memiliki struktur biaya operasional yang rendah, pelibatan mereka sering kali jauh lebih hemat dibanding penyedia jasa profesional yang memerlukan margin keuntungan tinggi. Misalnya, tenaga relawan atau kader internal Ormas bisa digerakkan dengan honorarium kecil atau sekadar biaya transportasi dan konsumsi. Selain itu, karena mereka telah memiliki jaringan logistik dan akses ke komunitas, biaya mobilisasi pun bisa ditekan secara signifikan.
Namun demikian, keberadaan potensi manfaat ini tidak serta merta meniadakan berbagai tantangan krusial, khususnya dalam aspek pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan. Tidak semua Ormas memiliki sistem manajemen yang mapan, pengalaman mengelola dana publik, atau pemahaman menyeluruh terhadap regulasi pengadaan pemerintah. Oleh karena itu, sekalipun pelibatan Ormas sangat ideal dalam konteks pembangunan berbasis masyarakat, pengawasan tetap menjadi isu strategis yang harus direncanakan dengan seksama sejak tahap perencanaan swakelola.
2. Landasan Hukum Swakelola oleh Ormas
Agar keterlibatan Ormas dalam pelaksanaan kegiatan swakelola memiliki dasar yang kuat, legal, dan tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari, perlu dipahami bahwa pengaturan mengenai swakelola telah diatur secara cukup lengkap dalam kerangka peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di dalamnya, disebutkan secara tegas bahwa Ormas dapat menjadi pelaksana kegiatan swakelola, khususnya dalam kategori Swakelola Tipe III, selama memenuhi sejumlah kriteria dan dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Dasar hukum paling mendasar yang mengatur swakelola adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam peraturan ini, khususnya pada Pasal 74-76, dijelaskan bahwa pengadaan barang/jasa oleh pemerintah dapat dilaksanakan melalui swakelola, dan salah satu pelaksana swakelola tersebut adalah Organisasi Kemasyarakatan. Pasal-pasal ini menjadi titik awal penting untuk memahami bahwa pelibatan Ormas bukanlah diskresi pejabat semata, melainkan telah memiliki legalitas yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menyediakan pedoman teknis yang lebih rinci mengenai tata cara pelaksanaan swakelola, termasuk kriteria kelayakan Ormas sebagai pelaksana, jenis kegiatan yang dapat diswakelolakan, serta dokumen apa saja yang wajib disiapkan. Di antara ketentuannya adalah bahwa Ormas harus memiliki badan hukum, memiliki rekam jejak kegiatan di bidang sejenis, serta tidak sedang dalam sengketa hukum atau daftar hitam pemerintah.
Selain Perpres dan pedoman LKPP, Permendagri Nomor 37 Tahun 2020 juga memuat aturan penting yang memperkuat posisi Ormas dalam pembangunan berbasis masyarakat. Dalam konteks ini, Permendagri mengatur tentang pemberdayaan masyarakat desa dan tata cara kerja sama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga, termasuk Ormas. Hal ini sangat relevan mengingat banyak kegiatan swakelola yang didesain untuk menjangkau masyarakat akar rumput, terutama di wilayah pedesaan.
Kemudian ada juga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 190 Tahun 2015, yang mengatur tentang pengelolaan dana desa. PMK ini sering menjadi rujukan dalam pelaksanaan kegiatan swakelola yang melibatkan Ormas lokal atau kelompok masyarakat, seperti dalam pembangunan fisik ringan, pelatihan warga, atau penyelenggaraan kegiatan sosial. PMK ini memperjelas mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban dana, serta pentingnya pelaporan keuangan yang transparan dan akurat.
Agar pelibatan Ormas benar-benar sah secara hukum dan tidak menimbulkan risiko hukum atau audit di masa mendatang, beberapa dokumen wajib harus disiapkan secara lengkap dan akurat, antara lain:
- Surat Keputusan (SK) Penunjukan Ormas sebagai pelaksana swakelola oleh pejabat berwenang. SK ini mencantumkan identitas organisasi, ruang lingkup kegiatan, durasi pelaksanaan, dan ketentuan pertanggungjawaban.
- Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara instansi dan Ormas, yang memuat rincian hak dan kewajiban, nilai anggaran, metode pelaporan, serta sanksi jika terjadi pelanggaran.
- Term of Reference (TOR) atau Kerangka Acuan Kerja, yang merinci kegiatan yang akan dilakukan, jadwal pelaksanaan, dan indikator keberhasilan.
- Rencana Anggaran Biaya (RAB), yang disusun berdasarkan kebutuhan nyata dan harus disetujui kedua belah pihak.
- Pakta Integritas, yang ditandatangani oleh pimpinan Ormas sebagai bentuk komitmen untuk melaksanakan kegiatan secara jujur, transparan, dan bertanggung jawab.
Kelengkapan dokumen ini bukan sekadar formalitas administratif, tetapi merupakan bukti sah bahwa kegiatan telah dirancang dan akan dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, baik instansi pemerintah maupun Ormas wajib memahami dan menaati seluruh regulasi yang berlaku, termasuk bila diperlukan melakukan konsultasi atau asistensi dengan LKPP, Inspektorat, atau Kantor Akuntan Publik untuk memastikan bahwa semua proses telah sesuai norma hukum dan prinsip tata kelola yang baik.
3. Karakteristik Swakelola Tipe III dan Peran Ormas
Swakelola Tipe III adalah skema pengadaan pemerintah yang melibatkan kelompok masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Dalam konteks ini, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sering menjadi mitra pelaksana karena dianggap memiliki kapasitas sosial dan jaringan masyarakat yang luas. Berbeda dengan pelibatan penyedia jasa profesional dalam kontraktual atau instansi pemerintah dalam swakelola tipe I dan II, pada tipe III ini, pendekatannya lebih berbasis komunitas dan partisipatif. Oleh karena itu, penting untuk memahami karakteristik unik dari swakelola tipe III, serta peran strategis yang dimainkan oleh Ormas.
Pertama-tama, legalitas formal menjadi syarat mutlak bagi Ormas untuk dapat menjadi pelaksana kegiatan swakelola. Ormas harus memiliki akta pendirian notaris, Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Hukum dan HAM sebagai bukti bahwa organisasi tersebut telah terdaftar secara resmi di negara, serta memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang aktif. Legalitas ini menjadi indikator dasar bahwa Ormas tersebut memiliki struktur organisasi dan pertanggungjawaban hukum yang jelas. Tanpa legalitas yang lengkap, maka pelibatan Ormas akan berisiko tinggi terhadap aspek hukum dan audit di kemudian hari.
Kedua, struktur organisasi yang jelas dan fungsional menjadi ciri khas lain dari Ormas yang dapat dilibatkan dalam swakelola. Struktur ini setidaknya mencakup ketua organisasi, sekretaris, dan bendahara, dengan tugas-tugas yang serupa dengan tim swakelola internal di pemerintahan. Ketika organisasi telah terbiasa menjalankan kegiatan sosial atau pemberdayaan masyarakat, maka fungsi-fungsi ini biasanya telah berjalan secara rutin, sehingga memudahkan integrasi dengan sistem pelaporan keuangan dan administrasi pemerintah.
Ketiga, Ormas biasanya memiliki basis keanggotaan atau jaringan relawan yang luas, tergantung pada latar belakang dan fokus organisasi tersebut. Misalnya, Ormas kepemudaan akan memiliki jaringan kader di tingkat desa hingga kabupaten, sedangkan Ormas keagamaan memiliki struktur hingga tingkat RT. Keberadaan jaringan ini sangat membantu dalam proses rekrutmen tenaga pelaksana lapangan, distribusi informasi program, hingga penggalangan partisipasi masyarakat secara luas. Di sinilah nilai tambah Ormas-mereka tidak hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi juga sebagai jembatan antara pemerintah dan komunitas penerima manfaat.
Keempat, Ormas sering kali memiliki akses pada sumber pendanaan non-pemerintah, seperti hibah dari lembaga donor internasional, dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), atau donasi dari masyarakat. Pendanaan multisumber ini menambah kapasitas organisasi untuk melakukan penyesuaian program apabila terjadi kendala pendanaan dari pemerintah, sekaligus memperkuat keberlanjutan program setelah kegiatan swakelola selesai. Ormas yang terbiasa mengelola dana non-APBN/APBD juga cenderung memiliki pengalaman menyusun laporan keuangan dan naratif, yang menjadi modal penting dalam pelaksanaan swakelola secara tertib administrasi.
Dalam implementasinya, peran Ormas dalam swakelola tipe III sangat kompleks dan mencakup berbagai aspek operasional. Ormas bertanggung jawab untuk menyusun rencana teknis kegiatan, termasuk menyusun jadwal pelatihan, modul pelatihan, kebutuhan logistik, dan evaluasi pasca kegiatan. Mereka juga bertugas melakukan pelatihan peserta atau penerima manfaat, yang dapat berupa pelatihan keterampilan, penyuluhan kesehatan, atau edukasi lingkungan, tergantung pada jenis program yang dilaksanakan. Selain itu, Ormas menjalankan pengawasan lapangan secara langsung, termasuk mencatat kehadiran peserta, mencatat progres kegiatan, dan melaporkan setiap dinamika yang terjadi di lapangan kepada pihak pemberi anggaran.
Tak kalah penting, Ormas juga bertanggung jawab atas pertanggungjawaban administratif dan keuangan. Mereka wajib menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan secara rinci dan transparan, melampirkan bukti-bukti pembayaran seperti kuitansi, daftar hadir, dokumentasi kegiatan, dan laporan akhir. Semua ini menjadi bagian dari sistem pengendalian internal yang bertujuan untuk menjaga akuntabilitas program, serta meminimalkan potensi penyimpangan yang dapat merugikan keuangan negara.
4. Tantangan Pengawasan: Risiko Utama
Meskipun Ormas memiliki banyak kelebihan sebagai pelaksana swakelola, terutama dari sisi sosial dan jaringan komunitas, keterlibatan mereka juga membawa sejumlah risiko yang harus diantisipasi sejak awal oleh instansi pemerintah. Pengawasan terhadap pelaksanaan swakelola oleh Ormas menjadi tantangan tersendiri karena sifat organisasi yang tidak selalu memiliki standar tata kelola seketat birokrasi pemerintah atau perusahaan profesional. Berikut adalah beberapa tantangan pengawasan utama yang sering muncul dalam praktik di lapangan:
4.1. Risiko Korupsi dan Kolusi
Salah satu risiko paling krusial dalam pelibatan Ormas adalah korupsi dan kolusi, terutama dalam hal pengelolaan keuangan dan pelaporan kegiatan. Situasi ini semakin rentan terjadi apabila:
- Pencairan dana dilakukan sekaligus di awal kegiatan, tanpa mekanisme termin atau tahapan kinerja. Dalam kondisi ini, tidak ada jaminan bahwa dana akan digunakan sesuai rencana kerja, karena pengawasan berbasis progres tidak dapat dilakukan secara bertahap.
- Tidak adanya jaminan pelaksanaan (performance bond) atau sistem penalti bagi Ormas jika gagal melaksanakan program sesuai kontrak. Berbeda dengan kontraktor profesional yang diwajibkan memberikan jaminan uang muka, pelaksanaan, dan pemeliharaan, Ormas sering kali tidak diwajibkan menyetor jaminan apapun.
- Pembuatan laporan kegiatan yang fiktif atau tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Hal ini bisa berupa laporan kehadiran peserta pelatihan yang direkayasa, kegiatan yang hanya bersifat simbolik tanpa substansi, atau dokumen kegiatan yang tidak valid.
- Pembayaran kepada relawan atau tenaga lapangan yang sebenarnya tidak bekerja, namun dicantumkan dalam daftar penerima honorarium. Praktik seperti ini terjadi karena lemahnya verifikasi di lapangan, serta tidak adanya sistem audit berbasis bukti lapangan yang ketat.
Jika tidak diawasi secara aktif, risiko ini bukan hanya merugikan negara dari sisi keuangan, tetapi juga merusak citra pemerintah yang mencoba melibatkan masyarakat dalam pembangunan.
4.2. Risiko Transparansi Minim
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah minimnya transparansi dalam proses swakelola oleh Ormas. Berbeda dengan pengadaan barang/jasa melalui penyedia, yang tercatat secara rinci di sistem e-procurement (SPSE/LPSE), pelaksanaan swakelola belum sepenuhnya terdigitalisasi dan terdokumentasi dalam sistem terbuka. Akibatnya:
- Data pelaksanaan tidak tersedia secara real time bagi publik, sehingga masyarakat sulit mengetahui apakah kegiatan telah berjalan, siapa pelaksananya, berapa jumlah peserta, dan bagaimana rincian biayanya.
- Pengawasan dari masyarakat terbatas, karena tidak ada platform atau dashboard yang menyajikan informasi kegiatan swakelola secara terbuka.
- Laporan kegiatan hanya beredar secara internal antara Ormas dan instansi pemberi anggaran, tanpa melalui sistem pemantauan berbasis publik atau partisipatif.
Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa swakelola “tersembunyi” dari pengawasan publik, padahal salah satu tujuan utama melibatkan Ormas adalah meningkatkan partisipasi dan transparansi.
4.3. Risiko Kapasitas dan Konflik Kepentingan
Tantangan berikutnya adalah keterbatasan kapasitas teknis dan administrasi dari sebagian Ormas, terutama yang baru terbentuk atau belum memiliki pengalaman mengelola program berskala besar. Beberapa Ormas belum memahami prinsip akuntabilitas keuangan negara, tidak terbiasa menyusun laporan RAB sesuai standar pemerintah, atau bahkan tidak memiliki staf administrasi yang memadai. Akibatnya, banyak pelaporan yang terlambat, tidak lengkap, atau tidak sesuai format.
Selain itu, terdapat juga potensi konflik kepentingan, terutama ketika pengurus Ormas juga menjabat sebagai pejabat publik atau ASN aktif di instansi pemerintah. Misalnya, jika seorang kepala bidang di dinas tertentu juga menjadi ketua Ormas yang ditunjuk sebagai pelaksana kegiatan, maka terjadi situasi di mana seseorang bisa menjadi “pemberi” dan “penerima” keputusan sekaligus. Praktik seperti ini menyalahi prinsip etika pengadaan dan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.
5. Mekanisme Pengawasan Formal
Pengawasan formal terhadap pelaksanaan swakelola yang melibatkan Ormas merupakan elemen krusial dalam menjaga kredibilitas penggunaan anggaran negara dan mencegah terjadinya penyimpangan. Pengawasan ini dilakukan melalui berbagai instrumen struktural yang dimiliki pemerintah, mulai dari level internal satuan kerja hingga tingkat kementerian dan lembaga negara pengawas eksternal.
5.1. Peran Satuan Pengawasan Intern (SPI)
Satuan Pengawasan Intern (SPI), yang berada langsung di bawah pimpinan instansi pengguna anggaran, memiliki tanggung jawab utama dalam memastikan bahwa proses swakelola telah berjalan sesuai prosedur sejak tahap perencanaan. SPI harus melaksanakan audit pendahuluan (pra-audit) terhadap dokumen-dokumen penting yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan swakelola, termasuk:
- Surat Keputusan (SK) Penunjukan Ormas sebagai pelaksana,
- Term of Reference (TOR) yang menjelaskan ruang lingkup kegiatan,
- Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang merinci penggunaan dana, dan
- Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara instansi dengan Ormas.
Setelah tahap dokumen diverifikasi, SPI juga wajib melakukan spot check atau audit lapangan selama pelaksanaan kegiatan berlangsung. Spot check ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mencakup verifikasi fisik output kegiatan, validasi data peserta, serta kesesuaian antara laporan keuangan dan bukti pengeluaran riil. Di akhir kegiatan, SPI menyusun laporan audit kinerja yang menjadi dasar evaluasi bagi instansi pengguna dan bahan pemeriksaan eksternal di kemudian hari.
5.2. Inspektorat Daerah
Inspektorat daerah memiliki mandat untuk melakukan audit secara periodik terhadap seluruh kegiatan yang dibiayai oleh APBD, termasuk swakelola yang melibatkan Ormas. Audit dilakukan dalam beberapa bentuk:
- Audit reguler tahunan atau semesteran, yang merupakan bagian dari siklus pengawasan anggaran rutin.
- Audit tematik, yang difokuskan pada jenis kegiatan tertentu yang rawan penyimpangan atau melibatkan dana besar.
- Audit investigatif, apabila ada laporan masyarakat, media, atau indikasi awal dugaan penyimpangan yang signifikan.
Laporan hasil audit Inspektorat sering menjadi dasar pertimbangan bagi pimpinan daerah dalam menetapkan kebijakan lanjutan, serta menjadi rujukan bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saat melakukan audit eksternal.
5.3. Monitoring oleh LKPP dan Kementerian Keuangan
Dua lembaga nasional Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memiliki peran strategis dalam pemantauan dan pengendalian swakelola secara nasional. LKPP telah menyediakan modul e-monitoring khusus untuk kegiatan swakelola dalam sistem pengadaan nasional. Modul ini digunakan oleh instansi pusat dan daerah untuk mengunggah data pelaksanaan, termasuk rencana kegiatan, progres, dan pelaporan pertanggungjawaban.
Sementara itu, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan pemantauan terhadap aspek kepatuhan keuangan, terutama pada pencairan dana, penggunaan kode akun yang tepat, dan keterpaduan pelaporan dengan sistem perbendaharaan negara (SPAN). Kementerian Keuangan juga dapat memberikan peringatan atau teguran fiskal apabila ditemukan ketidaksesuaian antara rencana anggaran dan realisasi di lapangan.
6. Mekanisme Pengawasan Sosial
Selain pengawasan formal yang dilakukan oleh lembaga negara, pengawasan sosial dari masyarakat juga menjadi kunci penting dalam menjaga transparansi dan integritas pelaksanaan swakelola oleh Ormas. Mekanisme ini bertumpu pada prinsip partisipasi, keterbukaan informasi, dan kolaborasi antara pemerintah dan warga negara dalam mendorong penggunaan anggaran yang bertanggung jawab.
6.1. Keterbukaan Data ke Publik
Salah satu cara paling efektif untuk mendorong pengawasan publik adalah melalui keterbukaan informasi pelaksanaan swakelola. Instansi pelaksana dapat mempublikasikan informasi kegiatan secara terbuka melalui:
- Website resmi instansi, yang memuat dokumen TOR, jadwal kegiatan, dan laporan progres.
- Spanduk atau papan informasi di lokasi kegiatan, yang mencantumkan nama program, sumber dana, Ormas pelaksana, dan narahubung.
- Media sosial resmi, yang dapat digunakan untuk memberikan update berkala dalam format visual seperti foto kegiatan, testimoni peserta, atau infografis realisasi anggaran.
Keterbukaan ini tidak hanya memberi ruang bagi masyarakat untuk melihat dan menilai, tetapi juga memperkuat legitimasi program di mata publik dan mencegah tuduhan penyalahgunaan dana.
6.2. Whistleblowing System
Pemerintah telah mengembangkan berbagai saluran pelaporan anonim (whistleblowing system) yang memungkinkan masyarakat atau bahkan internal Ormas menyampaikan laporan tentang indikasi penyimpangan tanpa takut terhadap konsekuensi hukum atau sosial. Saluran ini dapat berupa:
- Aplikasi LAPOR! (www.lapor.go.id) milik pemerintah pusat yang terintegrasi dengan KemenPANRB dan Ombudsman.
- Kotak pengaduan fisik yang disediakan di lokasi kegiatan.
- Formulir digital di website instansi.
Keberadaan sistem pelaporan ini penting untuk mengungkap kasus fiktif, pemalsuan laporan, atau konflik kepentingan, serta menjadi bukti awal yang dapat ditindaklanjuti oleh SPI atau Inspektorat.
6.3. Peran Media dan LSM Pengawas
Media massa, khususnya media lokal dan komunitas jurnalis independen, memiliki peran vital dalam menginformasikan kepada publik tentang pelaksanaan swakelola yang melibatkan Ormas. Liputan media dapat menjadi alat tekanan sosial untuk memastikan program berjalan sesuai rencana dan menghindari kecurangan. Selain itu, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada isu anti-korupsi dan transparansi juga dapat melakukan pemantauan lapangan secara independen, termasuk investigasi kecil untuk mengonfirmasi laporan fiktif atau pelaksanaan yang tidak sesuai standar.
Kolaborasi antara pemerintah, media, dan LSM akan menciptakan ekosistem pengawasan tiga lapis yang kokoh: lembaga negara, publik, dan civil society. Ekosistem ini sangat penting dalam konteks swakelola, di mana pelaksana berasal dari komunitas dan tidak selalu tunduk pada mekanisme kontraktual yang ketat.
7. Praktik Baik Penguatan Pengawasan
Untuk memperkuat efektivitas pengawasan, berbagai praktik baik (best practices) telah diterapkan oleh sejumlah instansi pemerintah dalam rangka menutup celah risiko dan meningkatkan partisipasi publik. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Termin Pembayaran Berbasis Progres Verifikasi Lapangan
Alih-alih mencairkan seluruh dana di awal kegiatan, beberapa instansi menerapkan mekanisme pembayaran bertahap, misalnya:
- 30% di awal sebagai modal kegiatan awal,
- 40% setelah 50% kegiatan diverifikasi lapangan melalui spot check SPI,
- 30% sisanya setelah laporan akhir lengkap dan diverifikasi.
Skema ini mendorong Ormas untuk menjaga kualitas dan konsistensi pelaksanaan program, serta memberi ruang pengawasan terhadap capaian nyata di lapangan sebelum pembayaran penuh dilakukan.
Melibatkan Pemuka Masyarakat dalam Forum Monitoring
Pelibatan tokoh masyarakat lokal, seperti ketua RT, RW, tokoh agama, atau tokoh pemuda, dalam proses monitoring kegiatan sangat efektif meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap program. Mereka bisa dilibatkan dalam forum monitoring yang dibentuk oleh instansi, diundang dalam rapat evaluasi, atau bahkan ditugaskan sebagai saksi kegiatan lapangan untuk memastikan kehadiran peserta, kualitas output, dan pelaksanaan sesuai jadwal.
Sistem Digitalisasi Laporan
Beberapa daerah telah mulai menggunakan aplikasi mobile berbasis Android/iOS untuk mendukung pelaporan kegiatan swakelola. Fitur-fitur yang biasa tersedia dalam aplikasi ini antara lain:
- Upload dokumentasi foto pelaksanaan,
- Absensi digital dengan tanda tangan elektronik,
- Geotagging lokasi agar bukti kegiatan dapat diverifikasi secara spasial.
Digitalisasi ini bukan hanya mempercepat proses pelaporan, tetapi juga memudahkan pengarsipan dan audit di kemudian hari.
Audit Mitra Independen
Untuk kegiatan swakelola berskala besar, beberapa instansi juga menggandeng mitra audit independen seperti perguruan tinggi, lembaga riset, atau konsultan pengawasan. Mitra ini memberikan perspektif objektif, analisis kualitatif, dan catatan-catatan pembelajaran yang sangat berguna untuk perbaikan sistem swakelola ke depan.
8. Rekomendasi Penguatan Mekanisme
Agar pelaksanaan swakelola yang melibatkan Ormas benar-benar berjalan efektif, efisien, dan akuntabel, maka diperlukan serangkaian penguatan mekanisme pengawasan serta pengelolaan kelembagaan. Rekomendasi berikut bersifat praktis dan dapat diadopsi oleh berbagai level pemerintahan, dari pusat hingga daerah, serta relevan bagi Ormas yang ingin terlibat aktif dan sah dalam program-program pembangunan pemerintah.
8.1. Standarisasi Dokumen Swakelola Ormas
Saat ini, dokumen-dokumen swakelola yang melibatkan Ormas cenderung disusun secara manual dan variatif antar instansi, sehingga sulit diaudit dan tidak selalu mengikuti standar pengadaan. Oleh karena itu, perlu disusun format baku atau standar nasional untuk seluruh dokumen kunci yang digunakan dalam swakelola tipe III, termasuk:
- Surat Keputusan (SK) Penunjukan Ormas, yang menyebutkan nama, legalitas, dan ruang lingkup kegiatan.
- Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan klausul yang mencakup termin pembayaran, indikator kinerja, dan sanksi pelanggaran.
- Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang disusun sesuai struktur APBN/APBD dan mematuhi kode akun perbendaharaan.
- Format Laporan Keuangan dan Pertanggungjawaban (SPJ) yang sederhana namun memenuhi prinsip akuntabilitas fiskal.
LKPP, BPKP, atau Kemenkeu dapat mengembangkan template dokumen ini sebagai bagian dari pedoman pelaksanaan swakelola tipe III nasional. Standarisasi dokumen akan mempermudah audit internal dan eksternal, serta menjadi alat belajar yang efektif bagi Ormas yang baru pertama kali menjadi pelaksana program pemerintah.
8.2. Pelatihan Manajemen Keuangan untuk Ormas
Salah satu titik lemah dalam pelaksanaan swakelola oleh Ormas adalah kurangnya pemahaman bendahara Ormas tentang sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah. Hal ini dapat menyebabkan kesalahan administratif yang berdampak pada penundaan pencairan, temuan audit, atau bahkan sanksi hukum.
Untuk mengatasinya, diperlukan program pelatihan rutin dan wajib bagi bendahara atau pengelola keuangan Ormas, yang mencakup:
- Pengenalan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan prinsip SAK-ETAP (Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik).
- Simulasi penyusunan SPJ, dengan kasus nyata dan format terbaru dari Kemenkeu atau BPKP.
- Manajemen pengarsipan bukti transaksi, termasuk pentingnya menyimpan dokumen primer seperti kuitansi asli, daftar hadir, dan dokumentasi kegiatan.
Pelatihan ini dapat dilaksanakan oleh Dinas Sosial, Inspektorat, atau Bagian Pengadaan Barang/Jasa dengan dukungan narasumber profesional dari auditor negara atau akademisi.
8.3. Integrasi Portal Swakelola ke Sistem Pengadaan (SPSE)
Untuk meningkatkan transparansi dan mendorong pengawasan digital, sudah saatnya sistem informasi pengadaan barang/jasa pemerintah (SPSE) menyertakan modul khusus untuk swakelola tipe III, yang digunakan untuk:
- Mendaftarkan Ormas calon pelaksana, lengkap dengan legalitas dan rekam jejak kegiatan.
- Mengunggah dokumen TOR, RAB, dan PKS, sehingga dapat diakses auditor dan publik sesuai klasifikasi terbuka.
- Menginput data progres pelaksanaan dan laporan berkala, dalam bentuk digital terstruktur (bukan hanya PDF atau lampiran fisik).
- Menilai kinerja Ormas berdasarkan indikator keberhasilan program.
Dengan cara ini, seluruh aktivitas swakelola akan tercatat secara elektronik, dapat diaudit lebih cepat, dan memberi dasar pengambilan keputusan apakah Ormas tertentu layak kembali ditunjuk sebagai pelaksana kegiatan pada tahun anggaran berikutnya.
8.4. Pembentukan Tim Gabungan Pengawasan
Pengawasan swakelola oleh Ormas tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh satu lembaga. Harus ada tim gabungan yang mengintegrasikan fungsi kontrol internal, teknis, dan sosial, yang terdiri dari:
- Satuan Pengawasan Intern (SPI) yang melakukan audit administratif dan kepatuhan regulasi.
- Inspektorat Daerah atau Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) yang mengevaluasi efisiensi, efektivitas, dan potensi penyimpangan keuangan.
- Perwakilan masyarakat seperti tokoh desa, LSM pengawas, atau jurnalis lokal yang memantau kegiatan lapangan secara independen.
Tim ini dapat bekerja dengan mekanisme rotasi dan berbasis kegiatan. Mereka harus memiliki akses langsung terhadap laporan, progres fisik, serta diberi mandat untuk merekomendasikan perbaikan kebijakan swakelola Ormas di masa mendatang. Keberadaan tim gabungan ini akan membentuk sistem pengawasan tiga dimensi: administratif, substansial, dan sosial.
9. Kesimpulan
Swakelola oleh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) adalah inovasi dalam tata kelola pengadaan pemerintah yang membuka ruang lebih luas bagi partisipasi masyarakat sipil. Melalui model ini, negara bukan hanya sebagai pemberi layanan, tetapi juga sebagai fasilitator pemberdayaan yang mempercayakan sebagian pelaksanaan program kepada aktor-aktor sosial di lapangan. Keterlibatan Ormas dalam pengadaan bukan hanya memperluas akses pelayanan, tetapi juga memperkuat legitimasi program dan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan inklusif.
Namun demikian, skema ini bukan tanpa tantangan. Risiko korupsi, manipulasi laporan, minimnya transparansi, serta konflik kepentingan adalah beberapa persoalan yang sering muncul dalam praktik swakelola tipe III. Ketiadaan sistem pengawasan elektronik dan keterbatasan kapasitas administrasi Ormas menjadi faktor tambahan yang membuat kegiatan berisiko tidak mencapai output atau bahkan menyimpang dari tujuan awal.
Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan mekanisme pengawasan ganda yang saling melengkapi: formal melalui SPI, Inspektorat, dan sistem pengadaan elektronik; serta sosial melalui partisipasi publik, pelibatan tokoh masyarakat, dan sistem whistleblower. Upaya ini harus diperkuat dengan regulasi yang konsisten, pelatihan teknis berkelanjutan, dan digitalisasi sistem pelaporan agar pengawasan dapat dilakukan secara real time dan berbasis bukti.
Dengan menerapkan praktik baik, membangun sistem kontrol yang responsif, serta menjalin kolaborasi antara pemerintah, Ormas, dan masyarakat, maka swakelola Ormas akan berkembang menjadi model pengadaan alternatif yang tidak hanya hemat biaya, tetapi juga mencerminkan prinsip keadilan sosial, transparansi fiskal, dan keberlanjutan pembangunan berbasis komunitas.