Pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia tidak selalu dilakukan melalui mekanisme tender terbuka atau penunjukan langsung kepada PPK-Lingkup luas. Salah satu alternatif penting adalah swakelola, yakni pelaksanaan pengadaan dengan memberdayakan satuan kerja atau satuan kerja percontohan internal instansi pemerintah itu sendiri, atau melalui mitra masyarakat. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta turunannya, swakelola dibagi menjadi empat tipe-Tipe I, II, III, dan IV-yang masing-masing memiliki karakteristik, ruang lingkup, serta kriteria penggunaan berbeda. Artikel ini membahas secara panjang, mendalam, dan terstruktur mengenai kapan tiap tipe swakelola dapat dan sebaiknya digunakan, sehingga pejabat pengadaan dan satuan kerja dapat mengambil keputusan yang tepat sesuai kebutuhan dan regulasi.
1. Pengertian dan Landasan Hukum Swakelola
Sebelum membahas keempat tipe swakelola, penting memahami konsep dasar dan kerangka hukum yang mengatur. Swakelola adalah metode pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang memanfaatkan sumber daya internal instansi pemerintah atau kerjasama dengan kelompok masyarakat, tanpa harus melalui proses tender atau penunjukan langsung kepada pihak eksternal komersial. Tujuannya adalah mengoptimalkan penggunaan aset, kompetensi pegawai, dan partisipasi masyarakat dalam proyek pemerintah yang berskala kecil hingga menengah.
Landasan utama swakelola terdapat pada:
- Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 (Perpres 12/2021) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
- Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), yang menetapkan pedoman pelaksanaan swakelola serta klasifikasi tipe I-IV.
- Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri, yang mengatur alokasi anggaran dan mekanisme pelaporan keuangan untuk kegiatan swakelola.
Dengan landasan hukum tersebut, swakelola menjadi instrumen resmi yang dapat dipilih PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) ketika kondisi dan karakteristik pekerjaan sesuai.
2. Jenis-Jenis Swakelola: Tipe I hingga IV
Perpres 12/2021 mengklasifikasikan swakelola ke dalam empat tipe, berdasarkan siapa pelaksana, besaran anggaran, dan kompleksitas pekerjaan:
- Swakelola Tipe I (SWA-I): Pelaksanaan oleh Satuan Kerja Pemerintah (SKP) sendiri, dengan sumber daya manusia dan sarana yang dimiliki.
- Swakelola Tipe II (SWA-II): Pelaksanaan oleh Kelompok Kerja Swakelola (pokja swakelola) yang dibentuk dari pegawai instansi pengadaan atau instansi lain, atas dasar kesepakatan.
- Swakelola Tipe III (SWA-III): Pelaksanaan oleh Kelompok Masyarakat atau mitra non-komersial, seperti kelompok tani, LSM, organisasi profesi, dengan pendanaan pemerintah.
- Swakelola Tipe IV (SWA-IV): Pelaksanaan oleh badan hukum milik negara atau daerah, koperasi, BUMDes, atau badan usaha milik negara khusus yang ditunjuk secara khusus.
Meskipun sama-sama “swakelola”, tiap tipe memiliki regulasi operasional berbeda-termasuk batasan nilai anggaran, kewajiban pertanggungjawaban, serta tingkat pengawasan dan evaluasi.
3. Kapan Menggunakan Swakelola Tipe I?
Swakelola Tipe I sering disebut pula sebagai “pelaksanaan mandiri instansi”. Tipe ini paling sederhana karena sepenuhnya dikerjakan oleh pegawai di dalam satuan kerja pengadaan itu sendiri, memanfaatkan peralatan dan infrastruktur yang sudah tersedia. Poin-poin utama penggunaan SWA-I adalah:
- Skala Pekerjaan Kecil dan Sederhana
Apabila volume dan cakupan pekerjaan relatif kecil-misalnya penyediaan ATK (alat tulis kantor), pemeliharaan rutin gedung, atau percetakan dokumen-SWA-I memberi fleksibilitas dan kecepatan. SKP cukup menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) internal, tanpa perlu lelang publik. - Sumber Daya Internal Mumpuni
SKP harus memiliki pegawai yang memiliki kompetensi teknis sesuai pekerjaan, serta alat/prasarana yang memadai. Contohnya, unit IT yang memiliki personel dan perangkat lunak cukup untuk mengembangkan aplikasi sederhana. - Nilai Anggaran Terbatas
Umumnya SWA-I diberi batas nilai maksimal sesuai ketentuan peraturan turunan LKPP-misalnya hingga Rp100 juta atau Rp200 juta per paket (bergantung jenis pengadaan dan instansi). Dengan anggaran kecil, beban administratif minimal, tetapi pertanggungjawaban tetap mengikuti prosedur keuangan pemerintah. - Tingkat Risiko Rendah
Pekerjaan yang berisiko rendah terhadap aspek keselamatan, dampak lingkungan, dan kerahasiaan data internal lebih cocok untuk SWA-I. Tidak melibatkan pihak eksternal sehingga resiko kebocoran informasi atau sengketa kontrak relatif kecil. - Efisiensi Waktu
Karena tidak melalui proses tender, proses perencanaan hingga pelaksanaan dapat dipangkas secara signifikan. SKP hanya perlu menyusun Rencana Kebutuhan, SPK internal, dan melakukan monitoring sesuai anggaran.
Contoh Penggunaan:
- Pemeliharaan AC kantor.
- Penggantian lampu dan perbaikan kecil fasilitas gedung.
- Pencetakan materi presentasi dan pamflet internal.
4. Kapan Menggunakan Swakelola Tipe II?
Swakelola Tipe II melibatkan pembentukan Kelompok Kerja Swakelola (Pokja Swakelola), biasanya terdiri dari pegawai lintas unit di instansi yang memiliki keahlian berbeda, atau melibatkan aparatur pemerintahan desa/kelurahan dalam skala daerah. Karakteristik dan kriteria SWA-II meliputi:
- Pekerjaan Sedang dengan Aspek Multidisiplin
Jika kegiatan memerlukan kolaborasi antarbidang-misalnya penyusunan modul pelatihan, pendirian posyandu keliling, atau perakitan peralatan IT-maka SWA-II lebih tepat. Kelompok kerja dapat menggabungkan personel teknis, administrasi, serta logistik. - Nilai Anggaran Menengah
Batas anggaran SWA-II biasanya lebih tinggi dari SWA-I, misalnya hingga Rp500 juta – Rp1 miliar per paket. Dengan anggaran menengah, diperlukan struktur pengelolaan anggaran yang sedikit lebih formal, tetapi tetap tanpa proses tender. - Kebutuhan Koordinasi yang Lebih Kompleks
Karena melibatkan beberapa unit kerja, SWA-II menuntut mekanisme rapat koordinasi, pembagian tugas, serta sistem pelaporan internal yang rapih. Pokja Swakelola wajib membuat Berita Acara Pembentukan Tim, TOR (Term of Reference), dan Rencana Kerja. - Potensi Pengembangan Kapasitas Pegawai
Melalui SWA-II, pegawai memiliki kesempatan belajar manajemen proyek, komunikasi lintas unit, dan pelaporan kinerja. Ini efektif untuk program pengembangan kompetensi internal. - Pertanggungjawaban dan Pengawasan
Meskipun dilakukan internal, SWA-II tetap wajib melalui mekanisme verifikasi administratif dan keuangan oleh pengawas internal (SPI) serta BPKP atau Inspektorat.
Contoh Penggunaan:
- Pembangunan taman baca keliling melibatkan tim perencanaan, teknisi IT, dan staf kemasyarakatan.
- Pelatihan kewirausahaan bagi kelompok pemuda desa, dimana narasumber internal, logistik, dan dokumentasi dikelola oleh pokja.
- Perakitan perangkat teleconference di kantor dinas, dengan tim hardware, software, dan administrasi.
5. Kapan Menggunakan Swakelola Tipe III?
Berbeda dengan dua tipe sebelumnya, Swakelola Tipe III melibatkan Kelompok Masyarakat sebagai pelaksana utama. Kelompok yang dimaksud bisa berupa KWT (Kelompok Wanita Tani), LSM lingkungan, kelompok UMKM, atau forum warga. SWA-III cocok ketika tujuan utama kegiatan lebih bersifat pemberdayaan dan pemberian manfaat langsung ke masyarakat. Karakteristiknya:
- Pekerjaan Pemberdayaan Sosial atau Lingkungan
Misalnya program rehabilitasi hutan mangrove, pelatihan pemberdayaan ekonomi lokal, atau pembangunan sarana air bersih di desa terpencil. Kegiatan yang menyasar peningkatan kesejahteraan masyarakat. - Sumber Daya Pelaksana Bukan PNS
Kelompok masyarakat bertindak selaku pelaksana, dengan pendanaan dan supervisi dari instansi pemerintah. Pegawai pemerintah berfungsi sebagai fasilitator dan pengawas. - Nilai Anggaran Kecil hingga Menengah
Biasanya batas anggaran SWA-III sejalan dengan SWA-II atau sedikit lebih rendah, tergantung pedoman teknis instansi. Misalnya hingga Rp700 juta. - Keterlibatan Tinggi Masyarakat
Proses dimulai dari musyawarah desa, pembentukan kelompok, penyusunan proposal, hingga penetapan mekanisme pembagian hasil (jika relevan). Pemerintah mendanai, kelompok masyarakat mengerjakan, dan menikmati manfaat langsung. - Akuntabilitas Sosial
Selain pertanggungjawaban formal ke bendahara, SWA-III memerlukan laporan publik di tingkat desa/kelurahan, sehingga transparansi dan akuntabilitas sosial terjaga.
Contoh Penggunaan:
- Pembangunan sumur bor di desa terpencil oleh kelompok tani setempat.
- Program pelatihan pembuatan kerajinan tangan untuk ibu-ibu PKK.
- Rehabilitasi hutan mangrove yang dikerjakan LSM lingkungan bersama pemuda desa.
6. Kapan Menggunakan Swakelola Tipe IV?
Swakelola Tipe IV menempatkan badan hukum-seperti BUMDes, koperasi, BUMN/BUMD, atau badan usaha milik negara khusus-sebagai pelaksana. Tipe ini ideal ketika:
- Skala dan Kompleksitas Besar
Kegiatan berskala luas, seperti pembangunan jalan lingkungan, pengelolaan pasar desa, atau penyediaan layanan air minum. Badan hukum memiliki struktur manajemen, keahlian, dan peralatan memadai. - Nilai Anggaran Besar
Batas anggaran SWA-IV biasanya lebih tinggi-contoh hingga beberapa miliar rupiah. Dengan nilai besar, pelaksanaan memerlukan badan usaha resmi dengan pengalaman, sistem akuntansi terintegrasi, dan jaminan kerja. - Kebutuhan Legalitas dan Jaminan
Badan hukum dapat memberikan jaminan pelaksanaan (performance bond) dan jaminan pemeliharaan (maintenance bond). Ini penting untuk pekerjaan infrastruktur atau pengadaan strategis. - Konsistensi Mutu dan Standar
Karena dikelola oleh entitas komersial atau semi-pemerintah, SWA-IV menjamin standar mutu sesuai SNI, ISO, atau regulasi teknis lain. Pengawasan pemerintah fokus pada hasil dan pemeliharaan jangka panjang. - Pengawasan Formal
Pelaporan berkala ke pemerintah pusat atau daerah, audit keuangan oleh BPK dan audit teknis oleh Kementerian terkait.
Contoh Penggunaan:
- Pengelolaan Pasar Rakyat oleh BUMDes setempat.
- Pembangunan dan pengoperasian instalasi pengolahan air minum desa oleh badan usaha milik daerah.
- Pemeliharaan jaringan penerangan jalan umum oleh perusahaan listrik daerah.
7. Persyaratan Umum dan Prosedur Pelaksanaan
Meskipun setiap tipe swakelola memiliki perbedaan mendasar dalam hal pelaksana, skala anggaran, serta karakteristik pekerjaan, semua jenis swakelola tetap tunduk pada kerangka prosedural dan persyaratan umum yang seragam. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap kegiatan pengadaan melalui swakelola tetap memenuhi asas efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif, sebagaimana diamanatkan dalam regulasi pengadaan pemerintah.
A. Perencanaan
Langkah pertama dalam pelaksanaan swakelola adalah tahap perencanaan. Tanpa perencanaan yang matang, kegiatan swakelola sangat rentan mengalami deviasi pelaksanaan, pembengkakan biaya, atau bahkan gagal memenuhi output yang diharapkan.
- Penyusunan Rencana Kebutuhan Barang/Jasa (RKBJ):
Dokumen RKBJ menjadi pondasi bagi pelaksanaan kegiatan swakelola. Dalam RKBJ, dicantumkan secara rinci kebutuhan barang/jasa yang akan dipenuhi, alasan pemilihan metode swakelola, estimasi biaya, jadwal pelaksanaan, dan indikator keberhasilan kegiatan. RKBJ juga harus diselaraskan dengan Rencana Umum Pengadaan (RUP) yang diumumkan secara terbuka melalui portal LPSE. - Penetapan Metode Pelaksanaan dan Tipe Swakelola:
Pemilihan tipe swakelola harus melalui kajian teknis yang mempertimbangkan kompleksitas pekerjaan, kapasitas pelaksana, risiko pekerjaan, dan ketersediaan sumber daya. Penetapan metode ini harus didasarkan pada prinsip “value for money”-artinya, metode yang dipilih harus mampu menghasilkan manfaat terbaik dengan biaya yang wajar. - Persetujuan Anggaran oleh Pejabat Berwenang:
Anggaran kegiatan swakelola wajib mendapatkan persetujuan dari pejabat pengguna anggaran (PA) atau kuasa pengguna anggaran (KPA), sesuai ketentuan keuangan negara. Persetujuan ini harus dicantumkan dalam DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) atau dokumen setara di level daerah.
B. Penetapan Pelaksana
Setelah tahap perencanaan diselesaikan dan anggaran disetujui, langkah berikutnya adalah penetapan pelaksana kegiatan. Mekanismenya berbeda-beda tergantung pada tipe swakelola.
- Swakelola Tipe I:
Pelaksanaan dilakukan langsung oleh satuan kerja melalui personel internal. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) cukup menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) internal yang mencantumkan rincian kegiatan, nama pelaksana, alokasi anggaran, dan jadwal pelaksanaan. - Swakelola Tipe II:
Kepala instansi menetapkan Pokja Swakelola melalui Surat Keputusan (SK). SK ini memuat struktur tim, pembagian tugas, serta kewenangan masing-masing anggota. Pokja ini bertanggung jawab penuh terhadap perencanaan teknis, pelaksanaan, serta pelaporan. - Swakelola Tipe III:
Kelompok Masyarakat (Pokmas) harus dibentuk secara sah, lengkap dengan AD/ART atau dokumen pendukung legalitas. Pemerintah menetapkan Pokmas sebagai pelaksana melalui SK atau perjanjian kerja sama yang disertai rencana kerja, RAB, dan pakta integritas. - Swakelola Tipe IV:
Badan hukum seperti BUMDes, koperasi, atau BUMD ditetapkan melalui surat penunjukan resmi atau kontrak kerja sama antara instansi pemerintah dan badan hukum tersebut. Dalam kontrak disertakan klausul pertanggungjawaban, spesifikasi pekerjaan, dan hak serta kewajiban kedua belah pihak.
C. Pelaksanaan
Tahapan ini merupakan inti dari proses swakelola dan menuntut tata kelola yang disiplin serta transparansi tinggi.
- Monitoring Fisik, Administrasi, dan Keuangan Secara Berkala:
Monitoring dilakukan oleh PPK atau tim pengawas yang ditunjuk. Pengawasan tidak hanya pada aspek fisik kegiatan, tapi juga dokumentasi administrasi dan penggunaan anggaran. Hal ini penting untuk mencegah penyimpangan dan memastikan akuntabilitas. - Pelaporan Progres ke Pejabat Pengadaan dan Inspektorat:
Progres kegiatan dilaporkan secara berkala melalui laporan mingguan atau bulanan. Jika ditemukan deviasi (keterlambatan, kelebihan anggaran, masalah teknis), PPK wajib memberikan arahan korektif. Laporan juga menjadi dasar untuk evaluasi berkala oleh inspektorat internal.
D. Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban menjadi elemen krusial dalam menjaga integritas swakelola. Semua jenis swakelola wajib menyusun dokumen pertanggungjawaban yang memuat:
- Laporan Hasil Pekerjaan: Berisi pencapaian output, kendala, dan langkah mitigasi.
- Berita Acara Serah Terima (BAST): Dokumen resmi bahwa pekerjaan telah selesai dan diserahkan kepada pihak pemberi tugas.
- Dokumen Keuangan: Bukti pengeluaran, kuitansi, invoice, dan rekapitulasi penggunaan dana yang diverifikasi oleh bendahara atau auditor internal.
E. Audit dan Evaluasi
Proses evaluasi penting untuk pembelajaran dan peningkatan kualitas pengadaan selanjutnya.
- Audit Internal oleh SPI (Satuan Pengawasan Intern):
SPI melakukan audit efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan terhadap prosedur. Temuan SPI harus ditindaklanjuti dalam laporan akhir kegiatan. - Audit Eksternal oleh BPK atau Auditor Independen:
Untuk swakelola berskala besar seperti Tipe IV, audit oleh BPK atau auditor independen diperlukan untuk menjamin bahwa penggunaan anggaran negara telah memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
8. Studi Kasus Kecil: Memilih Tipe Swakelola yang Tepat
Untuk memberikan pemahaman lebih konkret, berikut contoh-contoh riil pengambilan keputusan tipe swakelola berdasarkan konteks dan karakteristik kegiatan:
a. Dinas Pendidikan Kabupaten X
Kegiatan: Percetakan 2.000 buku paket guru PAUDAnggaran: Rp50 jutaKondisi: Ada percetakan mini internal, SDM siap.Pilihan: Swakelola Tipe IAlasan:
- Pekerjaan berskala kecil
- Tidak butuh keahlian lintas bidang
- Dapat diselesaikan oleh pegawai internal dalam waktu singkat
b. Dinas Sosial Kota Y
Kegiatan: Pelatihan keterampilan jahit untuk 100 penyandang disabilitasAnggaran: Rp300 jutaKondisi: Butuh instruktur, logistik, serta dokumentasi kegiatan.Pilihan: Swakelola Tipe IIAlasan:
- Kompleksitas kegiatan menengah
- Perlu kerja sama lintas unit (pelatihan, sosial, keuangan)
- Efektif membentuk Pokja yang menangani seluruh aspek pelatihan
c. Dinas Lingkungan Desa Z
Kegiatan: Rehabilitasi kebun rakyat 5 hektarAnggaran: Rp600 jutaKondisi: Kelompok tani siap bekerja, memiliki pengalaman.Pilihan: Swakelola Tipe IIIAlasan:
- Pelaksana dari masyarakat langsung
- Berorientasi pemberdayaan
- Pemerintah berperan sebagai pembina dan fasilitator
d. PDAM Daerah A
Kegiatan: Pembangunan instalasi air minum untuk kota kecilAnggaran: Rp5 miliarKondisi: PDAM memiliki lisensi, tenaga ahli, dan alat.Pilihan: Swakelola Tipe IVAlasan:
- Proyek skala besar dan teknis tinggi
- Pelaksana adalah badan hukum resmi
- Butuh jaminan pelaksanaan dan standar mutu
Studi kasus ini menunjukkan bahwa pemilihan tipe swakelola bukan bersifat opsional, melainkan harus berbasis analisis kebutuhan, kemampuan pelaksana, dan tingkat risiko kegiatan.
9. Kesimpulan
Pemilihan tipe swakelola yang tepat bukan hanya soal teknis administratif, tetapi merupakan bagian dari strategi manajemen publik yang lebih luas untuk memastikan pengadaan barang/jasa pemerintah berjalan secara efisien, akuntabel, dan berdampak langsung pada masyarakat.
- Swakelola Tipe I menawarkan solusi cepat dan murah untuk kegiatan sederhana yang bisa ditangani oleh SDM internal instansi.
- Swakelola Tipe II memungkinkan kolaborasi lintas bidang dalam satu instansi, ideal untuk kegiatan berskala menengah dengan kebutuhan koordinasi tinggi.
- Swakelola Tipe III menekankan prinsip pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, cocok untuk proyek sosial dan lingkungan berbasis komunitas.
- Swakelola Tipe IV membawa keunggulan legalitas dan kapasitas pelaksana yang tinggi, memungkinkan pelaksanaan proyek strategis secara profesional dengan jaminan mutu.
Namun demikian, keberhasilan swakelola tetap ditentukan oleh perencanaan yang cermat, monitoring yang disiplin, pelaporan yang akurat, serta evaluasi yang jujur dan konstruktif. Di tengah dinamika birokrasi dan ekspektasi publik terhadap tata kelola yang baik, swakelola bukan sekadar metode alternatif pengadaan-melainkan instrumen penting untuk memperkuat kemandirian pemerintah, mendorong partisipasi masyarakat, serta mengembangkan kapasitas internal pemerintahan.
Oleh karena itu, setiap instansi yang ingin menggunakan skema swakelola harus memahami peraturan perundangan, risiko administratif, dan tanggung jawab moral terhadap penggunaan anggaran publik. Ketika diterapkan dengan tepat dan profesional, swakelola mampu menjadi motor pembangunan yang responsif, adaptif, dan inklusif.