Pendahuluan: Fenomena Umum dalam Praktik Pengadaan
Dalam dinamika pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah, Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan) memegang peranan sentral untuk menjamin proses pemilihan penyedia berjalan sesuai prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi. Namun, dalam praktik di banyak instansi daerah maupun pusat, anggota Pokja sering kali dihadapkan pada beban tugas ganda-merangkap sejumlah jabatan atau fungsi lain di luar perannya sebagai evaluator pemilihan. Fenomena ini lahir dari keterbatasan sumber daya manusia, tekanan target kinerja, serta upaya cepat tanggap birokrasi menghadapi berbagai proyek.
Sebagai contoh, seorang anggota Pokja bisa sekaligus menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), anggota tim teknis proyek, atau bahkan pejabat struktural eselon di unit lain. Di satu sisi, rangkap jabatan ini dianggap membantu “menghemat” anggaran dan memaksimalkan pemanfaatan individu ASN yang ada. Namun di sisi lain, fokus dan independensi yang menjadi syarat mutlak dalam menilai penawaran menjadi terancam ketika waktu dan perhatian terbagi.
Lebih jauh, tugas ganda menghadirkan risiko serius: dari konflik kepentingan-di mana satu individu menilai hasil karyanya sendiri-hingga penurunan kualitas evaluasi yang dapat memicu keterlambatan, sengketa hukum, atau bahkan kerugian negara. Sementara kebijakan internal instansi sering tidak secara tegas melarang rangkap fungsi kritis, APIP dan aparat penegak hukum kerap menemukan celah penyimpangan yang berakar pada beban kerja tak proporsional.
1. Tugas Pokja dalam Sistem Pengadaan
Sebelum mengulas lebih jauh tentang isu tugas ganda yang sering dibebankan kepada anggota Pokja Pemilihan, penting untuk terlebih dahulu memahami secara menyeluruh apa sebenarnya cakupan peran dan tanggung jawab Pokja dalam sistem pengadaan barang/jasa pemerintah. Pokja bukanlah sekadar tim administratif yang bekerja di balik layar, melainkan entitas kunci dalam tahapan krusial proses pengadaan: pemilihan penyedia.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta ketentuan teknis yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Pokja bertugas menjalankan serangkaian kegiatan teknis dan administratif dalam proses seleksi penyedia barang dan jasa. Tugas tersebut tidak hanya berfokus pada hal-hal administratif, tetapi mencakup aspek evaluasi teknis yang sangat menentukan kualitas hasil akhir dari suatu proses pengadaan.
Beberapa tugas utama Pokja meliputi:
- Menyusun dokumen pemilihan, yakni menetapkan rancangan dokumen yang menjadi dasar hukum bagi calon penyedia untuk mengajukan penawaran. Dokumen ini mencakup persyaratan administrasi, teknis, harga, serta rancangan kontrak. Kesalahan sedikit saja dalam dokumen ini dapat menimbulkan peluang gugatan atau kesalahpahaman yang merugikan negara.
- Menjawab sanggahan, yaitu memberikan tanggapan resmi dan argumentatif terhadap keberatan dari peserta tender yang merasa dirugikan oleh hasil evaluasi. Proses ini tidak hanya membutuhkan kecermatan dalam menelaah kembali seluruh proses yang sudah berjalan, tetapi juga kejelian dalam merumuskan jawaban yang sesuai dengan aturan hukum dan prinsip keadilan.
- Melakukan evaluasi dokumen penawaran, yaitu menilai secara menyeluruh kelayakan administrasi, teknis, dan harga dari setiap penyedia. Evaluasi ini memerlukan kemampuan analitis yang tinggi, pemahaman detail terhadap kebutuhan pengadaan, serta kejujuran dan independensi yang tidak terganggu oleh tekanan internal maupun eksternal.
- Menetapkan pemenang pemilihan, dengan dasar hasil evaluasi yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Penetapan ini memerlukan keberanian mengambil keputusan, terutama jika terdapat penawaran dengan harga terendah namun kualitas meragukan, atau jika terdapat tekanan untuk memenangkan penyedia tertentu.
- Menandatangani Berita Acara hasil pemilihan, sebagai bentuk pertanggungjawaban formal atas hasil evaluasi dan keputusan yang telah diambil. Dokumen ini menjadi dasar dalam proses kontraktual selanjutnya dan dapat menjadi objek audit atau pemeriksaan hukum jika terjadi sengketa.
- Berkoordinasi dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), dalam rangka menyelaraskan pemahaman tentang kebutuhan kegiatan, waktu pelaksanaan, dan hasil yang diharapkan dari proses pengadaan. Komunikasi ini harus dijaga agar tidak menjadi celah masuknya intervensi atau pengaruh yang tidak semestinya.
Seluruh tugas ini bersifat saling terkait dan tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Prosesnya harus dijalankan secara profesional, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan yang diatur dalam regulasi nasional, termasuk prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
2. Tugas Ganda: Realitas di Lapangan
Di atas kertas, Pokja Pemilihan seharusnya berisi personel yang dapat fokus secara penuh pada tugas-tugas teknis dan administratif dalam proses pemilihan penyedia. Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari harapan tersebut. Di banyak instansi pemerintah, khususnya di tingkat daerah dan unit kerja dengan jumlah ASN terbatas, anggota Pokja justru menjadi sosok “serba bisa” yang memikul tanggung jawab ganda-bahkan dalam bentuk yang ekstrem, hingga menimbulkan kelelahan sistemik dan penurunan kualitas kerja.
Fakta menunjukkan bahwa keterbatasan sumber daya manusia (SDM) menjadi alasan utama mengapa tugas Pokja kerap dirangkap. Ketika hanya ada segelintir ASN yang memiliki sertifikasi atau kompetensi pengadaan, maka orang-orang tersebut akan ditarik untuk mengisi berbagai peran sekaligus. Dalam satu hari, mereka bisa berpindah dari rapat pembahasan anggaran, mengecek progres fisik proyek di lapangan, melakukan review kontrak, hingga duduk sebagai evaluator teknis dalam sidang Pokja.
Beberapa posisi rangkap yang umum dijumpai antara lain:
- Pejabat Struktural Eselon IV atau V: Dalam posisi ini, ASN memiliki tanggung jawab manajerial di unit tertentu, seperti subbagian perencanaan, keuangan, kepegawaian, atau aset. Mereka harus menyusun laporan kinerja, menghadiri rapat internal, dan melayani kebutuhan administratif unit kerja, namun di saat yang sama tetap diharapkan menyelesaikan proses evaluasi pengadaan dalam peran sebagai anggota Pokja.
- Panitia Kegiatan Non-Pengadaan: Banyak Pokja juga diberi tugas tambahan sebagai panitia penyelenggara seminar, pelatihan, atau rapat koordinasi. Ini menuntut keterlibatan waktu dan perhatian yang cukup besar karena menyangkut pelaksanaan kegiatan yang berbasis output.
- Pejabat Pembuat Komitmen (PPK): Ini adalah salah satu bentuk rangkap jabatan yang paling rawan konflik kepentingan. Seorang ASN bertugas menyiapkan kontrak dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan, namun pada saat yang sama juga menjadi bagian dari Pokja yang memilih penyedia untuk kegiatan yang ia rancang sendiri. Dalam logika akuntabilitas, ini seperti menilai karya sendiri, dan secara prinsip bertentangan dengan semangat pemisahan fungsi dalam sistem pengadaan.
- Anggota Tim Teknis: Sering kali Pokja merangkap menjadi tim teknis yang menyusun spesifikasi teknis dan kebutuhan barang/jasa. Ini menjadikan proses evaluasi rawan bias karena evaluator berpotensi condong kepada penyedia yang memenuhi spesifikasi teknis yang mereka sendiri susun.
- Auditor Internal atau Pengawas Lapangan: Bahkan dalam beberapa kasus, anggota Pokja juga diminta berperan sebagai pengawas kegiatan fisik proyek, membuat laporan progres pekerjaan, atau menjadi bagian dari tim pengendali mutu. Kondisi ini menimbulkan kelelahan fisik dan mental, serta menumpulkan sensitivitas terhadap evaluasi yang kritis.
- ASN Non-Teknis: Tak jarang pula anggota Pokja merangkap jabatan sebagai ASN yang mengelola urusan kepegawaian, pengarsipan, logistik, atau bahkan pengemudi kendaraan dinas dalam instansi kecil. Ini menjadi gambaran nyata bahwa peran teknis pengadaan seringkali tidak mendapat posisi strategis dalam struktur organisasi, tetapi justru diperlakukan seperti “tambahan kerja” yang bisa ditimpakan ke siapa saja yang tersedia.
Tujuan umumnya adalah efisiensi: satu orang menyelesaikan banyak pekerjaan agar organisasi tetap berjalan. Namun, ini menyisakan pertanyaan tentang efektivitas dan kualitas pengambilan keputusan.
3. Efektivitas: Multitasking atau Multi-beban?
Bagi sebagian pemangku kebijakan, rangkap jabatan dianggap sebagai bentuk “multitasking ASN yang tangguh”. Namun secara realistis, multitasking jarang sekali menghasilkan kualitas kerja yang maksimal di semua lini. Sebaliknya, multitasking sering berakhir sebagai multi-beban.
Beberapa dampak negatif yang umum terjadi antara lain:
a. Keterlambatan dalam Proses Pemilihan Penyedia
Salah satu konsekuensi yang paling sering terjadi akibat tugas ganda adalah molornya waktu proses pemilihan penyedia. Dalam sistem pengadaan pemerintah, setiap tahapan pemilihan-seperti pengumuman, evaluasi, klarifikasi, hingga penetapan pemenang-memiliki batas waktu yang ketat. Ketika anggota Pokja harus membagi waktu dengan rapat struktural, kegiatan teknis, atau tanggung jawab non-pengadaan lainnya, maka tahapan-tahapan tersebut sulit diselesaikan sesuai jadwal.
Banyak kasus di mana proses evaluasi dokumen penawaran baru dimulai di malam hari atau akhir pekan karena anggota Pokja baru punya waktu luang. Hal ini menyebabkan kualitas kerja terganggu, dan lebih jauh, keterlambatan tersebut bisa berimplikasi serius pada terhambatnya pelaksanaan kegiatan, pengembalian anggaran (Silpa), atau bahkan hilangnya momentum proyek strategis yang seharusnya segera dijalankan.
b. Kualitas Evaluasi Teknis Menurun
Evaluasi teknis adalah proses yang memerlukan analisis mendalam dan pemahaman substansi dari dokumen penawaran yang diajukan oleh para penyedia. Anggota Pokja harus memeriksa spesifikasi teknis, menyamakan persepsi dengan kebutuhan pengguna, serta membandingkan keunggulan dari satu penyedia ke penyedia lainnya. Proses ini tidak bisa dilakukan tergesa-gesa atau setengah hati.
Ketika waktu anggota Pokja terbatas karena tugas lain, maka evaluasi teknis cenderung dilakukan secara cepat dan berbasis checklist administratif saja. Hal ini menyebabkan penyedia yang sebenarnya unggul secara kualitas bisa tersingkir, sementara penyedia yang hanya unggul dalam melengkapi dokumen administrasi namun tidak kuat secara teknis bisa menang. Dalam jangka panjang, kualitas hasil pengadaan menjadi buruk: barang/jasa yang diterima tidak sesuai harapan, menimbulkan keluhan pengguna, atau bahkan menuntut perbaikan berulang.
c. Minimnya Inovasi dalam Penyusunan Dokumen Pemilihan
Penyusunan dokumen pemilihan adalah tahapan krusial yang seharusnya menjadi wadah bagi Pokja untuk merancang proses seleksi yang kompetitif, adil, dan relevan dengan kebutuhan pengguna. Dalam praktiknya, dokumen pemilihan harus dikembangkan dengan memperhatikan dinamika pasar, kesesuaian teknis, serta potensi risiko kontraktual.
Namun dalam kondisi tugas ganda, penyusunan dokumen ini kerap dilakukan dengan cara mengulang template lama tanpa penyesuaian. Pokja tidak punya cukup waktu untuk berdiskusi dengan PPK, mempelajari tren teknologi baru, atau mengadopsi praktik terbaik dari pengalaman sebelumnya. Akibatnya, dokumen pemilihan menjadi kaku, monoton, bahkan berpotensi membatasi partisipasi penyedia yang sebenarnya kompeten namun tidak bisa memenuhi persyaratan yang dibuat terlalu generik atau tidak relevan.
Tanpa ruang untuk berinovasi dan mengevaluasi kualitas dokumen pemilihan secara periodik, maka proses pengadaan menjadi ritual yang dijalankan sekadar untuk menggugurkan kewajiban administratif, bukan sebagai mekanisme strategis untuk mendapatkan nilai terbaik dari belanja negara.
d. Penurunan Semangat Kerja Akibat Kelelahan dan Tekanan
Dampak yang tak kalah serius dari tugas ganda adalah kehilangan semangat dan penurunan kesehatan mental anggota Pokja. Banyak ASN yang menjadi Pokja mengaku merasa lelah, tertekan, bahkan cemas karena harus terus-menerus berpindah peran tanpa waktu pemulihan yang memadai. Mereka bekerja dari pagi hingga malam, menyelesaikan pekerjaan kantor di siang hari dan mengevaluasi pengadaan di luar jam kerja. Beberapa di antaranya bahkan membawa pulang dokumen penawaran ke rumah untuk ditelaah di akhir pekan.
Kelelahan ini tidak hanya berdampak pada produktivitas jangka pendek, tetapi juga berpengaruh pada kualitas pengambilan keputusan, ketajaman analisis, serta ketahanan terhadap tekanan atau intervensi. ASN yang terlalu lelah dan terbebani akan cenderung memilih jalan aman-tidak mengevaluasi secara mendalam, tidak berani menolak penawaran yang tidak layak, dan hanya mengikuti arus agar cepat selesai.
Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menimbulkan gejala burnout, bahkan keengganan untuk kembali terlibat dalam pengadaan. Beberapa ASN bahkan menolak ditunjuk kembali sebagai Pokja karena trauma menghadapi tekanan kerja yang tidak manusiawi. Hal ini menjadi masalah serius dalam pengelolaan SDM pengadaan, karena regenerasi anggota Pokja menjadi sulit, sementara beban pekerjaan tetap menumpuk.
Dalam konteks pengadaan, di mana satu kesalahan administrasi bisa berdampak hukum, ketelitian tidak bisa dikompromikan. Maka, tugas ganda lebih sering menjadi penghambat efektivitas dibanding pendorongnya.
4. Efisiensi Anggaran atau Efisiensi Semu?
Salah satu alasan paling umum yang digunakan untuk membenarkan praktik penugasan ganda pada anggota Pokja adalah dalih efisiensi anggaran. Dalam konteks instansi pemerintah yang sering kali menghadapi keterbatasan dana operasional dan tuntutan untuk menjalankan program dengan sumber daya minimal, membebankan beberapa tugas pada satu orang dianggap sebagai langkah cerdas untuk memangkas biaya.
Dengan tidak perlu merekrut tenaga tambahan, tidak harus membayar honorarium terpisah, dan tidak perlu menyusun struktur tim yang lebih kompleks, organisasi merasa telah berhasil “berhemat.” Namun jika ditelaah lebih jauh, efisiensi ini seringkali bersifat semu-menghemat angka pada laporan keuangan jangka pendek, tetapi menyisakan beban biaya dan risiko yang jauh lebih besar dalam jangka panjang.
a. Biaya Tersembunyi dari Kesalahan Akibat Fokus Terbagi
Misalnya, ketika seorang anggota Pokja juga menjabat sebagai PPK atau pejabat teknis lainnya, potensi kesalahan dalam penyusunan dokumen pemilihan atau evaluasi penawaran meningkat drastis. Fokus yang terbagi menyebabkan proses seleksi tidak berjalan cermat: dokumen teknis tidak ditelaah mendalam, evaluasi harga dilakukan terburu-buru, atau kesalahan input menyebabkan peserta yang tidak layak justru terpilih. Akibatnya, proyek gagal terlaksana tepat waktu, atau bahkan harus dilakukan tender ulang.
Tender ulang bukanlah proses yang tanpa biaya. Ia memakan waktu, sumber daya, dan menciptakan efek domino terhadap keterlambatan kegiatan, pelaporan keuangan, dan output layanan publik. Dalam beberapa kasus, kegiatan tidak bisa dilaksanakan karena waktu tahun anggaran telah habis, yang akhirnya menyebabkan anggaran menjadi Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran)-dan publik tidak menerima manfaat apapun.
b. Efisiensi Palsu: Hemat di Muka, Boros di Belakang
Efisiensi seharusnya tidak hanya diukur dari berapa banyak uang yang tidak dikeluarkan, tetapi juga dari kualitas belanja dan pencapaian hasil yang optimal. Ketika satu orang diberi banyak tugas, efektivitas kerja menurun. Proses menjadi lambat, tidak akurat, dan sarat risiko. Apabila proses pengadaan gagal atau bermasalah, maka yang muncul bukan efisiensi, melainkan pemborosan yang ditunda waktu.
Lebih jauh, kegagalan dalam pengadaan akibat tugas ganda tidak hanya berdampak pada proyek tertentu, tetapi bisa menurunkan reputasi instansi di mata publik, memperlemah kepercayaan mitra kerja (penyedia), dan memicu audit berulang oleh APIP maupun BPK. Semua ini membutuhkan tambahan energi dan biaya untuk klarifikasi, koreksi, atau perbaikan sistem.
c. Risiko Sanksi dan Konsekuensi Hukum
Efisiensi semu juga menimbulkan kerentanan terhadap pelanggaran hukum. Ketika Pokja yang juga menjadi PPK terlibat dalam proses pemilihan dan penunjukan pemenang, maka sangat mungkin terjadi konflik kepentingan. Jika kemudian terbukti terdapat pelanggaran prosedur, maka tidak hanya pengadaan gagal, tetapi juga dapat memicu sanksi administratif dari APIP atau bahkan pidana pengadaan jika ditemukan indikasi perbuatan melawan hukum.
Banyak ASN yang awalnya hanya bermaksud membantu mempercepat proses, akhirnya terjerat masalah hukum karena tanda tangan di posisi yang tidak seharusnya. Bahkan dalam beberapa kasus, inspektorat maupun aparat penegak hukum menyatakan bahwa rangkap jabatan telah menciptakan situasi di mana objektivitas tidak bisa dijamin, dan itulah yang memperkuat dugaan pelanggaran.
d. Investasi SDM yang Tidak Terlaksana
Sementara itu, dalih efisiensi kerap dijadikan alasan untuk tidak berinvestasi pada pengembangan SDM pengadaan. Jika organisasi terus mengandalkan segelintir orang yang dianggap serba bisa, maka regenerasi tidak terjadi. ASN lain tidak diberi kesempatan untuk belajar, mengikuti pelatihan, atau mendapatkan pengalaman langsung dalam proses pengadaan. Akibatnya, instansi menjadi tergantung pada individu tertentu, bukan membangun sistem yang berkelanjutan.
Padahal, investasi pada SDM adalah strategi efisiensi jangka panjang yang sesungguhnya. Dengan lebih banyak ASN yang memiliki kompetensi dan fokus pada tugas pengadaan, maka beban kerja terbagi, kualitas meningkat, dan proses menjadi lebih cepat, akurat, serta minim sengketa.
e. Produktivitas Menurun di Semua Lini
Ironisnya, bukan hanya pengadaan yang menjadi korban dari efisiensi semu ini. ASN yang dirangkap tugasnya juga mengalami penurunan produktivitas dalam tugas lainnya. Sebagai contoh, jika seorang pejabat struktural juga menjadi anggota Pokja, maka tugas-tugas struktural seperti penyusunan laporan kinerja, monitoring internal, atau pelayanan administratif juga ikut terbengkalai. Artinya, efisiensi yang dimaksudkan tidak benar-benar tercapai, melainkan justru menciptakan inefisiensi ganda.
Dengan mempertimbangkan semua hal di atas, jelas bahwa efisiensi anggaran yang dijadikan alasan utama dalam penerapan tugas ganda harus dikaji ulang secara lebih komprehensif. Hemat yang tidak bijak adalah awal dari pemborosan yang sistemik.
5. Risiko Konflik Kepentingan
Tugas ganda membuka celah besar bagi konflik kepentingan. Seorang ASN yang duduk sebagai Pokja dan PPK sekaligus, misalnya, bisa berada dalam posisi di mana ia mengevaluasi hasil pekerjaannya sendiri. Ini bertentangan dengan prinsip check and balance dalam tata kelola pengadaan.
Beberapa skenario risiko konflik kepentingan antara lain:
a. Pokja Menilai Penyedia untuk Pekerjaan yang Ia Sendiri Rancang sebagai PPK
Ini merupakan bentuk konflik struktural yang paling mudah dikenali. Seorang ASN yang merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan sekaligus anggota Pokja berarti memainkan dua peran yang bertentangan secara prinsip: sebagai pihak yang merancang pekerjaan (termasuk spesifikasi teknis dan HPS), dan sekaligus pihak yang menilai siapa penyedia yang layak melaksanakan pekerjaan tersebut.
Dalam situasi ini, objektivitas sangat sulit dijaga. Ketika seorang PPK sekaligus Pokja menyusun spesifikasi yang condong pada penyedia tertentu, lalu menilai dokumen penyedia tersebut dalam proses pemilihan, maka besar kemungkinan penilaian tersebut tidak lagi netral. Bahkan jika hasilnya objektif, publik atau peserta tender lain tetap akan mempertanyakan integritas proses tersebut.
b. Pokja yang Juga Merupakan Bagian dari Tim Pelaksana Proyek
Skenario ini tampak lebih halus, namun tetap menyimpan risiko yang sama besar. Seorang ASN bisa saja tidak menjadi PPK, namun ia adalah bagian dari tim pelaksana teknis atau pengawas proyek yang akan berinteraksi langsung dengan penyedia setelah penunjukan. Dalam banyak kasus, hubungan kerja yang akan berlangsung setelah tender bisa menciptakan preferensi tertentu selama proses evaluasi. Anggota Pokja yang tahu bahwa ia akan bekerja sama dengan penyedia, bisa terdorong untuk memilih penyedia yang dianggap “mudah diajak kerja sama”, bukan yang paling kompeten.
Risiko semacam ini sulit dibuktikan secara kasat mata, namun sangat terasa dalam pola relasi kekuasaan yang terbentuk. Jika penyedia yang dipilih ternyata punya rekam jejak buruk atau tidak memenuhi syarat teknis, namun tetap lolos karena pertimbangan kenyamanan kerja ke depan, maka publik kehilangan hak atas barang/jasa terbaik yang seharusnya diperoleh.
c. Pokja Merupakan Atasan Langsung dari PPK atau Staf Penyedia
Kasus lain yang kerap terjadi adalah saat anggota Pokja memiliki posisi struktural sebagai atasan langsung dari PPK, atau bahkan dari staf penyedia itu sendiri. Dalam beberapa instansi, terutama yang melibatkan BUMD, koperasi ASN, atau penyedia lokal yang melibatkan keluarga pegawai, hubungan kedekatan ini tidak bisa dihindari.
Posisi sebagai atasan langsung bisa menciptakan tekanan atau pengaruh dalam pengambilan keputusan. Seorang PPK bisa merasa sungkan menyampaikan catatan terhadap proses evaluasi jika Pokjanya adalah atasannya sendiri. Atau sebaliknya, Pokja bisa merasa berkepentingan agar pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh stafnya sendiri tidak dipersulit.
Konflik seperti ini bukan hanya berdampak pada kualitas hasil pengadaan, tetapi juga rawan menjadi objek pemeriksaan oleh APIP maupun aparat penegak hukum.
6. Dampak terhadap Independensi dan Akuntabilitas
Dalam sistem pengadaan yang sehat dan berintegritas, independensi dan akuntabilitas bukan hanya jargon normatif, melainkan prinsip dasar yang menjadi fondasi seluruh proses. Pokja Pemilihan memiliki peran strategis sebagai penjaga gerbang masuknya penyedia barang/jasa ke dalam sistem pemerintah. Oleh karena itu, Pokja dituntut untuk bekerja secara mandiri, netral, dan bebas dari pengaruh manapun-baik itu pengaruh politik, jabatan struktural, relasi personal, maupun tekanan institusional.
Namun, ketika anggota Pokja memikul tugas ganda, terutama jabatan struktural dalam organisasi, maka batas antara profesionalisme teknis dan loyalitas jabatan menjadi kabur. Keputusan-keputusan yang seharusnya lahir dari pertimbangan obyektif, berisiko dikaburkan oleh pertimbangan birokratis dan kepentingan internal organisasi. Situasi ini secara langsung merusak nilai independensi dan menurunkan kualitas akuntabilitas proses pengadaan.
a. Independensi yang Tergerus oleh Jabatan Lain
Contoh paling nyata adalah saat anggota Pokja juga menjabat sebagai kepala subbagian perencanaan, kepala seksi keuangan, atau pejabat penatausahaan keuangan. Jabatan ini sangat dekat dengan fungsi perencanaan dan pelaksanaan anggaran, yang pada dasarnya memiliki kepentingan agar seluruh proses berjalan lancar, cepat, dan sesuai target serapan anggaran.
Dalam konteks tersebut, anggota Pokja yang merangkap jabatan perencana bisa terdorong untuk “mengamankan” proyek, yaitu dengan meloloskan penyedia yang dapat menyelesaikan pekerjaan secara cepat, meski secara teknis tidak unggul. Fokus bergeser dari mencari penyedia terbaik menjadi mencari penyedia “aman”. Hal ini melemahkan objektivitas, karena evaluasi tidak lagi berdasarkan kriteria kualitas, melainkan pada kalkulasi manajerial dan kehati-hatian politis.
Situasi ini juga menciptakan ruang yang sangat rentan terhadap pengaruh atasan. Ketika Pokja juga merupakan bawahan langsung PA/KPA atau bagian dari tim penyerapan anggaran, maka mereka cenderung merasa “wajib” mendukung rencana atasan tanpa banyak bertanya. Maka, independensi keputusan hilang, tergantikan oleh semangat “asal pimpinan senang”.
b. Akuntabilitas yang Sulit Dipertanggungjawabkan
Akuntabilitas tidak hanya berarti dapat dimintai pertanggungjawaban, tetapi juga bahwa keputusan yang diambil dapat dijelaskan secara logis, transparan, dan berdasarkan data. Dalam konteks tugas ganda, akuntabilitas menjadi rapuh karena motif di balik pengambilan keputusan menjadi bercampur.
Ketika Pokja memilih penyedia tertentu, apakah itu karena penyedia tersebut paling sesuai secara teknis, atau karena penyedia tersebut dianggap paling mungkin menyelamatkan realisasi anggaran? Apakah keputusan Pokja dibuat berdasarkan hasil evaluasi riil, atau atas instruksi informal dari pihak lain dalam struktur organisasi?
Lebih parah lagi, ketika audit dilakukan, dokumentasi Pokja seringkali tidak bisa menjelaskan dengan jelas proses pengambilan keputusan. Evaluasi teknis yang dibuat secara terburu-buru dan tidak didukung data analitis akan tampak lemah di hadapan APIP atau BPK. Jika terjadi sengketa atau sanggahan dari penyedia, anggota Pokja kesulitan menunjukkan bahwa keputusan yang mereka ambil bebas dari bias dan intervensi.
c. Tanggung Jawab Ganda, Risiko Ganda
Tugas ganda secara inheren juga membawa tanggung jawab ganda. Dalam praktiknya, hal ini menciptakan situasi dilematis. Ketika keputusan dalam peran sebagai Pokja berseberangan dengan kepentingan jabatan struktural lainnya, maka ASN tersebut berada dalam posisi rentan secara psikologis dan institusional. Bila ia berpihak pada keobyektifan sebagai Pokja, maka bisa dianggap “menghambat program” oleh kolega internalnya. Sebaliknya, jika ia memilih menyelamatkan program dengan mengabaikan prinsip pengadaan, maka ia melanggar integritas profesinya.
Dampaknya tidak hanya pada individu, tetapi juga pada sistem pengadaan itu sendiri. Pokja yang seharusnya menjadi filter terhadap penyedia yang tidak berkualitas, justru menjadi titik lemah yang memungkinkan masuknya penyedia yang tidak kompeten atau bermasalah secara hukum.
d. Efek Jangka Panjang terhadap Budaya Organisasi
Tugas ganda juga mengganggu proses pembelajaran dan pembentukan budaya akuntabilitas dalam organisasi. Ketika ASN terbiasa mengambil keputusan berdasarkan “loyalitas jabatan lain” ketimbang prinsip fungsi yang diembannya, maka organisasi cenderung berkembang menjadi birokrasi yang tunduk pada hierarki dan kepentingan sesaat, bukan pada prinsip transparansi dan kualitas.
Pokja kehilangan identitas fungsionalnya sebagai tim independen pemilihan penyedia, dan berubah menjadi “kepanjangan tangan” birokrasi anggaran atau atasan struktural. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan pembenaran sistemik atas keputusan yang tidak berbasis analisis teknis dan data, dan melemahkan kepercayaan internal maupun eksternal terhadap proses pengadaan.
7. Penutup: Antara Efektivitas dan Risiko Sistemik
Menugaskan ASN dalam berbagai peran mungkin terlihat sebagai solusi efisien dalam organisasi yang kekurangan SDM. Namun, dalam konteks Pokja Pemilihan, praktik ini justru mengandung konsekuensi sistemik yang jauh lebih besar daripada manfaat jangka pendeknya.
Tugas ganda bukan hanya persoalan kelebihan beban, tetapi menyentuh jantung integritas sistem pengadaan. Ia menciptakan ruang abu-abu yang merusak prinsip objektivitas, menurunkan mutu pengambilan keputusan, membuka celah konflik kepentingan, dan melemahkan akuntabilitas publik.
Jika pengadaan dimaknai sebagai instrumen pembangunan dan pelayanan publik, maka pembentukan Pokja harus menjadi agenda serius. Pokja yang kuat, independen, dan fokus pada tugasnya akan menjadi penentu utama kualitas barang dan jasa yang diperoleh pemerintah.
Sudah saatnya instansi berhenti menempatkan Pokja sebagai beban tambahan, dan mulai menjadikannya sebagai peran fungsional strategis yang mendapat perlindungan, penguatan, dan apresiasi yang layak.