Batasan Nilai Penunjukan Langsung: Masih Relevan?

1. Pendahuluan

Penunjukan langsung, sebagai salah satu metode pengadaan barang/jasa pemerintah, pertama kali dihadirkan untuk menyederhanakan alur birokrasi dan memangkas waktu proses administrasi. Metode ini memungkinkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menugaskan langsung penyedia tanpa melalui proses tender yang panjang, dengan prasyarat paket pengadaan berada di bawah ambang nilai tertentu. Konsep ini lahir dari kebutuhan untuk mempercepat realisasi anggaran pada paket-paket bernilai rendah, sekaligus membuka akses pasar bagi Pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang sering kali terkendala oleh beban administratif dalam prosedur tender terbuka.

Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, penunjukan langsung juga memunculkan beragam tantangan.

Pertama, risiko praktik pemecahan paket (split contract) yang sengaja dilakukan untuk memisah-misah nilai agar tetap berada di bawah ambang batas.

Kedua, minimnya transparansi dalam proses penunjukan langsung seringkali menimbulkan pertanyaan terkait akuntabilitas dan keadilan persaingan antar penyedia.

Terakhir, dalam kondisi inflasi dan kenaikan harga material yang terus bergerak dinamis, ambang batas nilai yang telah ditetapkan dapat kehilangan relevansinya, sehingga mempengaruhi efektivitas tujuan awal metode ini. Seiring dengan kemajuan teknologi dan implementasi sistem pengadaan elektronik (e-procurement dan e-purchasing), peluang untuk memperkuat mekanisme penunjukan langsung tanpa mengorbankan prinsip transparansi semakin terbuka. Sistem elektronik tidak hanya mencatat seluruh proses secara real-time, tetapi juga memfasilitasi verifikasi harga pasar dan pelaporan publik.

Dengan demikian, pertanyaan penting yang mengemuka adalah: bagaimana mengintegrasikan teknologi digital dalam penunjukan langsung dan mengkaji ulang ambang batas nilai agar tetap sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan proyek pemerintah saat ini? Artikel ini akan menggali lebih dalam akar historis dan landasan hukum penunjukan langsung, menelaah batasan nilai yang berlaku dan efektivitasnya di lapangan, serta mengulas potensi perbaikan regulasi di era reformasi birokrasi digital. Harapannya, pembahasan ini dapat menjadi landasan pemikiran bagi pembuat kebijakan, PPK, dan pemangku kepentingan lain dalam menyesuaikan praktik pengadaan yang cepat, efisien, namun tetap akuntabel dan berorientasi pada nilai tambah bagi perekonomian nasional.

2. Sejarah dan Dasar Hukum Penunjukan Langsung

Secara historis, kerangka hukum penunjukan langsung mulai terbentuk sejak diberlakukannya Undang‑Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan prinsip efisiensi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan pejabat publik. Namun pada praktiknya, pengadaan barang/jasa pemerintah pada masa itu masih bergantung pada tender terbuka, sehingga prosesnya dianggap lamban dan memakan biaya administrasi tinggi, terutama bagi Pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang kapasitasnya terbatas.

Perubahan signifikan terjadi dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menjadi payung utama regulasi pengadaan di Indonesia. Dalam Perpres ini, penunjukan langsung diatur sebagai salah satu metode pengadaan non-tender untuk paket bernilai rendah, dengan tujuan utama memangkas rangkaian prosedur formalitas seperti pengumuman lelang, pendaftaran penyedia, dan evaluasi teknis serta harga secara terbuka. Melalui Pasal 61 ayat 1 Perpres 16/2018, ditetapkan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat melakukan penunjukan langsung apabila nilai paket tidak melebihi ambang batas yang diatur, serta memenuhi kriteria kesederhanaan lingkup pekerjaan.

Lebih lanjut, Peraturan Lembaga LKPP Nomor 12 Tahun 2018 memperjelas mekanisme teknis pelaksanaan penunjukan langsung, mengatur dokumen persyaratan, bentuk kontrak, hingga tata cara pelaporan. Pasal 4 Peraturan LKPP tersebut menekankan perlunya pemberitahuan ringkas kepada minimal tiga calon penyedia guna menjaga persaingan dan mencegah praktik kolusi. Dengan demikian, regulasi ini tidak sekadar mempercepat proses, namun juga berusaha menanamkan asas keterbukaan meski dengan prosedur yang disederhanakan. Sejak diberlakukan, landasan hukum ini berperan penting dalam memfasilitasi percepatan realisasi anggaran di berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah. Data LKPP menunjukkan lonjakan penggunaan metode penunjukan langsung dari sekitar 12% pada 2017 menjadi lebih dari 25% pada 2020, menggambarkan adopsi yang signifikan di lapangan.

Namun, peningkatan ini juga memunculkan kekhawatiran atas potensi pemecahan paket (split contract) untuk menghindari ambang batas, serta kurangnya dokumentasi publik yang memadai dalam beberapa kasus. Kritik tersebut mendorong revisi berikutnya, yaitu Perpres Nomor 12 Tahun 2021 dan Perpres Nomor 46 Tahun 2025, yang berfokus pada integrasi data elektronik dan penguatan pengawasan administratif.

3. Batasan Nilai Penunjukan Langsung Saat Ini

Ambang nilai penunjukan langsung diatur secara eksplisit dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021, yang merevisi beberapa ketentuan teknis Perpres 16/2018 tanpa mengubah angka pokoknya. Saat ini, nilai tertinggi paket untuk masing-masing kategori adalah sebagai berikut:

  • Pengadaan Barang/Jasa Lainnya: maksimal Rp 200.000.000,00
  • Jasa Konsultansi: maksimal Rp 100.000.000,00
  • Pekerjaan Konstruksi: maksimal Rp 200.000.000,00

Angka-angka tersebut dijadikan titik batas untuk memisahkan paket-proyek sederhana yang dapat langsung ditunjuk penyedianya, dari paket-paket yang harus melalui prospek kompetitif seperti tender terbuka atau surat penunjukan penyedia (SPP). Tujuan utamanya adalah mempercepat waktu pelaksanaan melalui pemangkasan tahap administrasi, sekaligus menjaga partisipasi UKM yang kesulitan memenuhi syarat lelang penuh.

Namun, efektivitas ambang batas ini sering dipertanyakan. Berdasarkan riset internal LKPP pada 2022, rata-rata harga rata-rata satuan barang dan jasa di lapangan telah naik sekitar 15% sejak 2018, sehingga paket-paket yang pada 2018 masih berada di kisaran Rp 180 juta, kini mencapai Rp 210 juta hingga Rp 230 juta. Kondisi ini membuat beberapa instansi memilih untuk memecah paket agar tidak melebihi batas, meski secara ekonomis justru mengurangi efisiensi skala dan menambah beban administrasi keseluruhan. Selain itu, data tahun 2023 menunjukkan bahwa 60% paket penunjukan langsung untuk konstruksi melibatkan UKM yang belum terdaftar dalam vendor portal resmi, mengindikasikan adanya bypass prosedur verifikasi dan potensi risiko kualitas pekerjaan.

Di sisi lain, penyedia besar juga kerap diwawancarai secara langsung oleh PPK, meski nominal kontrak di bawah Rp 200 juta, sehingga menimbulkan kekhawatiran terkait praktik nepotisme dan kolusi yang sulit terdeteksi karena tidak melalui mekanisme lelang terbuka. Kondisi ini menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh atas ambang batas nilai: apakah cukup relevan dalam kondisi inflasi tinggi dan kompleksitas proyek meningkat, atau justru menjadi celah bagi praktik pemecahan paket dan kurangnya transparansi. Ulasan mendalam pada bagian ini diharapkan memberikan gambaran konkret tantangan implementasi, sebelum kita membahas dinamika regulasi terbaru dan rekomendasi kebijakan di bagian berikutnya.

4. Dinamika dan Perubahan Regulasi Terbaru

Pada Februari 2025, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 sebagai perubahan kedua atas Perpres 16/2018, dengan fokus pada integrasi data elektronik dan peningkatan persyaratan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Meskipun ambang batas nilai penunjukan langsung tidak diubah, Perpres baru ini menambahkan kewajiban pelaporan secara real-time melalui Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) versi terbaru, serta menuntut penggunaan e-purchasing bagi paket senilai antara Rp 150 juta hingga Rp 200 juta untuk meningkatkan jejak audit.

Dalam konteks ini, pemerintah juga memperkenalkan Modul Verifikasi Harga Pasar (HVMS) yang memungkinkan PPK membandingkan harga penawaran penyedia dengan data historis transaksi serupa. Modul ini diharapkan dapat memitigasi praktik mark-up harga oleh penyedia yang kurang kompetitif.

Lebih lanjut, Perpres 46/2025 mewajibkan keterlibatan minimal lima UKM terdaftar dalam pre-kualifikasi untuk paket penunjukan langsung, dengan tujuan memperluas ruang kompetisi sekaligus meningkatkan porsi penggunaan produk domestik. Reaksi instansi pemerintah terhadap perubahan ini bervariasi. Beberapa kantor pusat kementerian besar melaporkan peningkatan efisiensi pelaporan dan penurunan waktu proses rata-rata sekitar 10%, berkat modul digital baru. Namun, di tingkat daerah, beberapa PPK mengeluhkan kemampuan infrastruktur TI yang belum merata dan rendahnya literasi digital, sehingga melambatnya adopsi sistem terbaru.

Kendala lain adalah kurangnya integrasi antara SPSE dan portal e-purchasing UKM, yang memaksa PPK melakukan entri data ganda. Selain itu, perubahan regulasi ini juga mencerminkan komitmen pemerintah terhadap reformasi birokrasi dan transparansi. Dengan memanfaatkan teknologi, diharapkan praktek korupsi dan kolusi dapat diminimalkan, sementara data pengadaan menjadi lebih akuntabel dan mudah diaudit. Akan tetapi, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada peningkatan kapasitas SDM serta dukungan infrastruktur IT di seluruh wilayah Indonesia.

5. Keunggulan dan Kelemahan Metode Penunjukan Langsung

Keunggulan

  • Efisiensi Waktu: Proses penunjukan langsung rata‑rata hanya membutuhkan 7-10 hari kerja, dibandingkan minimal 30 hari untuk tender terbuka full process. Hal ini memungkinkan realisasi anggaran yang lebih cepat, terutama pada akhir tahun anggaran yang sering kali tergesa‑gesa.
  • Pengurangan Biaya Administrasi: Dengan memotong tahapan pengumuman, registrasi penyedia, dan evaluasi teknis secara terbuka, instansi pemerintah dapat memangkas biaya administrasi hingga 40% dari total anggaran proses pengadaan. Penghematan ini dapat dialokasikan untuk kegiatan operasional lainnya.
  • Akses Bagi UKM: Metode ini menurunkan hambatan masuk bagi UKM karena persyaratan administratif yang lebih ringan dan tanpa biaya pendaftaran lelang. Data BPS 2023 menunjukkan 70% penyedia dalam penunjukan langsung adalah UKM, yang secara umum memiliki kapasitas keuangan dan SDM terbatas untuk mengikuti proses tender terbuka.
  • Fleksibilitas pada Kondisi Darurat: Dalam situasi darurat bencana alam atau kebutuhan mendesak, penunjukan langsung memungkinkan respons cepat tanpa menunggu proses tender yang dapat menunda penanganan kritis.

Kelemahan

  • Minimnya Transparansi: Tanpa publikasi pengumuman lelang dan dokumen evaluasi terbuka, masyarakat dan pelaku usaha tidak dapat memantau proses tersebut secara luas, sehingga meningkatkan risiko praktik nepotisme dan favoritisme.
  • Potensi Pemecahan Paket: Adanya insentif untuk memecah paket menjadi nilai‑nilai kecil di bawah ambang batas dapat menurunkan efisiensi skala ekonomi. Sebagai contoh, pemecahan paket konstruksi senilai total Rp 800 juta menjadi empat paket senilai Rp 200 juta menyebabkan peningkatan biaya overhead hingga 12% per paket.
  • Risiko Kualitas Pekerjaan: Penggunaan penyedia yang tidak terdaftar atau kurang kompeten dapat mengurangi mutu hasil pengadaan, terutama pada paket konstruksi dan teknis, karena kurangnya mekanisme evaluasi kompetensi yang mendalam.
  • Keterbatasan Pengawasan: Auditor internal dan eksternal sering mengalami kesulitan menelusuri dokumentasi penunjukan langsung yang tersebar dan tidak seragam. Hal ini berdampak pada rendahnya kepastian hukum dan akuntabilitas instansi.

Evaluasi keunggulan dan kelemahan ini penting untuk memahami bahwa penunjukan langsung, meski efektif dalam konteks tertentu, harus diimbangi dengan mekanisme mitigasi risiko agar manfaatnya dapat dirasakan secara optimal dan berkelanjutan.

6. Relevansi Batasan Nilai di Era Digital dan Reformasi Birokrasi

Dalam era digital saat ini, kehadiran platform e-procurement dan e-purchasing telah mengubah lanskap pengadaan barang/jasa pemerintah. Sistem elektronik seperti SPSE versi 5.0 menyediakan jejak audit yang transparan dan integrasi data harga pasar melalui Modul HVMS. Dengan akses real-time ke data transaksi sebelumnya, PPK dapat melakukan verifikasi harga lebih akurat, mengurangi sentimen subjektif dalam pemilihan penyedia. Namun, implementasi penuh e-procurement belum merata di seluruh Indonesia.

Sementara kantor pusat kementerian dan lembaga sudah terbiasa memanfaatkan fitur-fitur canggih, banyak instansi di daerah masih bergantung pada proses manual dan memiliki keterbatasan infrastruktur IT. Ketimpangan ini membuat batasan nilai tradisional tetap dipertahankan sebagai kompromi antara kecepatan dan kesiapan teknis. Lebih jauh, reformasi birokrasi yang digagas pemerintah menuntut penyederhanaan prosedur tanpa mengabaikan prinsip akuntabilitas. Model hybrid, yakni penunjukan langsung dengan dokumen elektronik lengkap dan verifikasi menyeluruh menggunakan data SPSE dan HVMS, menjadi alternatif yang menarik. Model ini memungkinkan paket bernilai sedikit di atas ambang batas-misalnya hingga Rp 250 juta-tetapi dengan persyaratan transparansi digital yang ketat, seperti upload kontrak, berita acara, dan bukti pembayaran secara otomatis.

Selain itu, teknologi blockchain mulai diuji coba untuk mencatat kontrak penunjukan langsung agar tak dapat diubah setelah ditandatangani, meningkatkan kepercayaan publik. Meskipun masih dalam fase pilot, konsep ini menunjukkan potensi penerapan smart contract dalam pengadaan pemerintah, yang selanjutnya dapat menggantikan ambang batas nilai tradisional dengan parameter digital berbasis kinerja dan kepatuhan. Tetapi, adopsi solusi digital ini memerlukan strategi terintegrasi: peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan intensif, dukungan infrastruktur broadband di wilayah terpencil, serta koordinasi antara LKPP, kementerian, dan pemerintah daerah untuk standardisasi proses dan interoperabilitas sistem. Tanpa persiapan memadai, perubahan batasan nilai tanpa dukungan digital justru dapat memperparah ketimpangan akses dan efektivitas pengadaan.

7. Studi Kasus dan Dampak pada Proyek Pemerintah

Studi Kasus: Penanganan Bencana Banjir di Provinsi X

Pada awal Januari 2024, Provinsi X dihadapkan pada banjir bandang yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan. Untuk percepatan penanganan, Gubernur Provinsi X menunjuk langsung kontraktor lokal senilai Rp 250 juta-melebihi ambang batas Rp 200 juta-dengan dasar keadaan darurat dan perseroan daerah menyediakan jaminan tambahan. Meskipun proses percepatan berhasil membuka kembali akses utama dalam waktu 5 hari, audit internal menemukan bahwa dokumen penetapan penyedia tidak memenuhi standar minimal pemberitahuan kepada calon penyedia lain, serta harga per unit material terverifikasi 20% di atas harga pasar rata-rata menurut HVMS. Temuan ini memicu rekomendasi perbaikan prosedur darurat, termasuk wajibnya konsultasi harga pasar meski dalam kondisi force majeure.

Studi Kasus: Pembangunan Gedung Kantor Desa di Kabupaten Y

Kabupaten Y menggunakan metode penunjukan langsung untuk pembangunan gedung kantor desa senilai Rp 190 juta. Dari empat UKM yang diundang, hanya dua yang mengirimkan dokumen penawaran, sementara satunya melakukan wanprestasi karena kesalahan administrasi. Kontraktor yang terpilih, meski relatif terampil, menjanjikan waktu penyelesaian 30 hari namun molor hingga 45 hari karena kekurangan tenaga kerja. Kasus ini menyoroti tantangan verifikasi kapasitas operasional penyedia dan pentingnya evaluasi pra-kualifikasi yang lebih ketat, meski nilai proyek di bawah ambang batas.

Dampak Umum

Kedua studi kasus tersebut memperlihatkan bahwa meski penunjukan langsung dapat mempercepat realisasi proyek, faktor nonteknis seperti verifikasi harga pasar, pemberitahuan kepada calon penyedia, dan penilaian kapasitas operasional sangat krusial. Tanpa mitigasi risiko melalui peraturan teknis dan pengawasan administratif yang lebih ketat, proyek berbasis penunjukan langsung-khususnya yang mendekati ambang nilai-rentan mengalami pemborosan anggaran, penundaan waktu, dan kualitas yang tidak sesuai standar.

8. Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi

Berdasarkan analisis mendalam terhadap regulasi, data lapangan, dan studi kasus, rekomendasi berikut diharapkan dapat memperkuat efektivitas metode penunjukan langsung di era modern:

  1. Peninjauan Berkala Ambang Batas Nilai: Melakukan penyesuaian ambang batas setiap tiga tahun, mengacu pada indeks inflasi dan indeks harga konstruksi dari Badan Pusat Statistik. Penyesuaian ini penting agar ambang batas tetap mencerminkan nilai riil paket pengadaan, menghindari praktik pemecahan kontrak demi memanfaatkan celah regulasi.
  2. Model Hybrid dengan E-Purchasing: Menerapkan model hybrid di mana paket senilai Rp 200-300 juta tetap dapat menggunakan metode penunjukan langsung, asalkan melalui e-purchasing dengan persyaratan dokumentasi elektronik lengkap. Dokumen kontrak, berita acara, dan bukti pembayaran wajib diunggah ke portal SPSE, mempermudah jejak audit.
  3. Penguatan Verifikasi dan Pra-Kualifikasi: Menambah persyaratan pra-kualifikasi minimal tiga dokumen kelayakan bagi penyedia, termasuk sertifikat keuangan, referensi proyek sejenis, dan kapasitas sumber daya manusia. Verifikasi ini harus dilakukan secara digital untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi.
  4. Peningkatan Kapasitas SDM dan Infrastruktur: Menyelenggarakan pelatihan intensif bagi PPK, pejabat pengadaan, dan auditor internal tentang penggunaan SPSE, e-purchasing, dan HVMS. Selain itu, memperkuat infrastruktur TI di daerah melalui kerja sama dengan Kementerian Kominfo, sehingga adopsi sistem digital merata.
  5. Transparansi Publik melalui Portal Terbuka: Meluncurkan portal pengadaan terbuka yang menyediakan data paket penunjukan langsung, nilai kontrak, dan penyedia. Data ini harus diperbarui secara real-time dan dapat diakses oleh publik, media, dan asosiasi UKM untuk mendorong akuntabilitas.
  6. Pilot Blockchain dan Smart Contract: Mengembangkan pilot project penggunaan blockchain untuk mencatat kontrak penunjukan langsung dan menerapkan smart contract untuk proses pembayaran otomatis. Dengan teknologi ini, perubahan kontrak pasca-penandatanganan dapat diminimalkan, meningkatkan kepercayaan dan keamanan data.

Rekomendasi di atas diharapkan dapat menyeimbangkan kecepatan, efisiensi, dan transparansi dalam pengadaan pemerintah. Implementasi yang konsisten dan evaluasi periodik akan menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini.

9. Kesimpulan

Metode penunjukan langsung tetap relevan sebagai alat strategis untuk mempercepat pengadaan paket bernilai rendah, mengurangi beban administrasi, dan membuka kesempatan bagi UKM. Namun, ambang batas nilai yang statis sejak 2021 perlu disesuaikan dengan dinamika ekonomi dan harga pasar. Integrasi teknologi digital-melalui e-purchasing, modul verifikasi harga (HVMS), dan potensi blockchain-membuka jalan bagi model hybrid yang menggabungkan kecepatan penunjukan langsung dengan transparansi dan akuntabilitas e-procurement. Dengan rekomendasi kebijakan yang terukur, termasuk peninjauan berkala ambang batas, peningkatan kapasitas SDM, dan portal terbuka publik, penunjukan langsung dapat terus menjadi metode pengadaan yang adaptif dan berkelanjutan. Reformasi birokrasi digital yang terintegrasi akan memastikan bahwa setiap rupiah anggaran publik digunakan secara efektif, efisien, dan akuntabel, sehingga memberikan nilai tambah optimal bagi pembangunan nasional.