Kesenjangan Aturan Pengadaan dan Praktiknya di Lapangan

Pendahuluan

Pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJ) merupakan instrumen vital dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan publik. Secara teori, sistem pengadaan telah diatur secara ketat dan sistematis melalui berbagai regulasi yang bertujuan menciptakan transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan dalam penggunaan anggaran negara. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang mencolok antara apa yang tertulis dalam regulasi dan bagaimana proses tersebut dijalankan sehari-hari oleh para pelaku pengadaan. Kesenjangan ini menciptakan ruang ketidakpastian, potensi pelanggaran, dan bahkan membuka peluang terjadinya praktik korupsi serta inefisiensi anggaran.

Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang kesenjangan antara aturan pengadaan dan praktik di lapangan, termasuk penyebab utamanya, dampak yang ditimbulkan, serta langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk menjembatani gap tersebut. Pemahaman yang jernih tentang persoalan ini diharapkan mampu mendorong reformasi pengadaan yang lebih inklusif, realistis, dan berorientasi pada hasil.

Regulasi Pengadaan: Rancangan Ideal yang Terstruktur

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan acuan utama dalam sistem pengadaan di Indonesia. Dalam aturan ini telah dijelaskan berbagai prinsip dasar pengadaan, seperti efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Regulasi ini juga mengatur tata kelola yang melibatkan berbagai pelaku seperti Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan, Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja), dan Penyedia.

Di atas kertas, sistem ini terkesan rapi dan terukur. Pengadaan diklasifikasikan berdasarkan nilai kontrak, jenis barang atau jasa, serta mekanisme pemilihan yang tersedia mulai dari pengadaan langsung hingga tender umum dan e-purchasing. Penggunaan sistem elektronik (SPSE) juga ditujukan untuk meminimalkan interaksi manusia yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Namun, rancangan ideal ini tidak serta merta menjamin kelancaran di tingkat implementasi. Aturan yang terlalu teknis, perubahan regulasi yang cepat, serta minimnya pemahaman dan kapasitas pelaksana di lapangan kerap menimbulkan distorsi antara teori dan praktik.

Realitas Lapangan: Tekanan, Keterbatasan, dan Pragmatisme

Di lapangan, pelaksanaan pengadaan kerap berbenturan dengan berbagai realitas yang kompleks dan tidak sepenuhnya tercermin dalam aturan. Selain persoalan SDM yang belum terampil, ada pula berbagai kendala teknis dan lingkungan yang memperparah situasi:

  1. Keterbatasan Infrastruktur dan Teknologi
    Di banyak kantor satuan kerja, terutama di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), koneksi internet tidak stabil atau bahkan belum tersedia sama sekali. Padahal hampir seluruh proses tender, evaluasi dokumen, hingga penetapan pemenang sekarang mengandalkan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE). Gangguan jaringan memaksa petugas mengunduh dan mengunggah berkas secara manual, lalu mengemas ulang proses elektroniknya seraya mengejar tenggat waktu. Akibatnya, dokumen sering terlambat diverifikasi, atau muncul versi ganda yang membingungkan tim evaluasi.
  2. Kekhawatiran Hukum dan Sikap Defensif
    Maraknya pemberitaan mengenai kasus pengadaan yang berujung korupsi dan kriminalisasi pejabat pemerintah membuat PPK dan Pokja cenderung memilih “aman” ketimbang “benar”. Setiap langkah diperlakukan sangat hati-hati: spesifikasi dibuat seumurbangun mungkin untuk mencegah klaim penyedia, penjadwalan rapat dijaga agar tak ada catatan tidak baku, dan seluruh korespondensi diarsip dengan detail. Sikap defensif ini sebenarnya melambatkan seluruh proses, mendistorsi makna transparansi menjadi beban administrasi semata, dan seringkali melemahkan kreativitas dalam menyusun kebutuhan barang/jasa yang sebenar-benarnya.
  3. Peran Vendor dan Jaringan Informal
    Tidak jarang, penyedia barang/jasa yang sudah “akrab” dengan instansi tertentu diperlakukan lebih duluan. Lewat rantai komunikasi informal-mulai dari gosip di kantin pemerintahan hingga grup WhatsApp tertutup-vendor senior “mengomunikasikan” rencana pengadaan sebelum diumumkan resmi. Hal ini menciptakan ketimpangan akses informasi: penyedia baru dan UMKM potensial tidak kebagian “bisikan” sehingga kalah bersaing sebelum kesempatan benar-benar dibuka. Praktik semacam ini melunturkan prinsip terbuka dan adil yang dijamin regulasi.
  4. Pengaruh Tekanan Anggaran Tahunan
    Kebiasaan “mengejar realisasi anggaran” menjadikan akhir tahun anggaran bagai roller-coaster. Di kuartal terakhir, PPK bagaikan disc jockey yang memutar habis-habisan lagu “riru riru realisasi” dengan menjejalkan tender kilat, kontrak multipaket, hingga pembayaran lump sum agar angka penyerapan terlihat maksimal. Praktik ini cenderung menghasilkan pelaksanaan proyek yang terburu-buru-mulai dari perancangan yang setengah matang, pengadaan yang menomorduakan mutu, hingga serah terima barang/jasa yang cuma formalitas.
  5. Adaptasi Pragmatis Terhadap Kepatuhan
    Dalam situasi terjepit, banyak pelaksana akhirnya mengadopsi pendekatan pragmatis: menyusun job description Pokja sekadarnya, mengontrak konsultan “pengantar” hanya untuk memenuhi syarat administrasi, atau menggabung-gabung paket dengan nilai rendah agar tak perlu tender terbuka. Dalam praktiknya, pendekatan ini “memotong” sebagian prosedur formal-bukan karena berniat curang, melainkan untuk menyiasati sistem yang dianggap terlalu kaku. Sayangnya, solusi darurat ini lambat laun justru memperkokoh kebiasaan menyimpang dan melemahkan semangat perubahan.

Dengan memahami beragam tekanan nyata-mulai dari teknologi yang serba terbatas hingga ketakutan akan risiko hukum-kita dapat melihat bahwa gap antara regulasi dan realitas bukan hanya soal ketidakpatuhan, tetapi juga soal kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan aturan dengan dinamika lapangan. Hanya ketika hambatan-hambatan ini diakui dan dicermati, solusi yang lebih relevan dan berdaya guna bisa dirancang.

Penyebab Kesenjangan: Sistemik dan Struktural

Kesenjangan antara aturan dan praktik pengadaan tidak terjadi secara kebetulan, melainkan berakar pada tumpukan faktor sistemik dan struktural yang saling memperkuat. Berikut ini pengembangan lebih mendalam dari penyebab-penyebab utama tersebut:

  1. Kesenjangan Perspektif Pusat-Daerah
    • Regulasi “One Size Fits All”
      Banyak peraturan disusun dengan kerangka berpikir terpadu yang ideal untuk level pusat, namun sulit diadaptasi di daerah dengan karakteristik geografis, demografis, dan teknologi berbeda. Contohnya, klausul penggunaan SPSE versi terbaru berjalan mulus di ibu kota provinsi, tetapi memaksa instansi di pulau terluar untuk berburu koneksi satelit berbayar agar bisa mengunggah dokumen tender.
    • Keterbatasan Lokalisasi Aturan
      Upaya “lokalisasi” tata laksana pengadaan-misalnya menyederhanakan persyaratan administrasi untuk paket kecil-sering tertinggal jauh dari perubahan regulasi pusat. Tanpa pedoman turunannya, PPK di daerah hanya bisa menebak interpretasi yang benar, padahal kebutuhan lokal menuntut fleksibilitas lebih besar.
  2. Kelemahan Pembinaan dan Pengawasan
    • Jangkauan LKPP yang Terbatas
      Meskipun LKPP bertanggung jawab atas sosialisasi dan pembinaan, sumber daya manusia pendamping terbatas menjangkau ribuan satuan kerja di seluruh nusantara. Akibatnya, banyak kantor pemerintah daerah yang tidak pernah mendapatkan workshop atau pendampingan intensif, sehingga praktik standar terbaik (best practices) sulit diinternalisasi.
    • Fokus APIP pada Kepatuhan Birokrasi
      Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) cenderung menitikberatkan audit pada kelengkapan dokumen-apakah materai, tanda tangan, dan tanggal sudah “pas”-daripada menilai hasil akhir pengadaan: mutu barang/jasa, tepat waktu, dan nilai manfaat. Audit pasca-fakta yang sebatas dokumentasi ini tidak menstimulasi perbaikan proses substantif.
  3. Perubahan Regulasi yang Cepat dan Kurang Sinkron
    • Revisi Beruntun Tanpa Sinkronisasi
      Setiap tahun atau setiap kali terbit aturan baru di kementerian teknis, terjadi revisi Perpres PBJ, Pedoman LKPP, dan standar e-procurement. Namun harmonisasi antar-peraturan seringkali terlewat, sehingga muncul kontradiksi: dokumen tender yang disusun mengikuti Perpres terbaru, tetapi aplikasi SPSE belum diperbarui untuk mendukung skema tersebut.
    • Minimnya Sosialisasi dan Pelatihan Terstruktur
      Surat edaran atau webinar singkat tidak cukup untuk membekali PPK/Pokja memahami perubahan mendasar-seperti mekanisme evaluasi “best value for money” atau detail kontrak lump sum-maupun konsekuensi hukumnya. Tanpa pelatihan praktik lapangan dan simulasi kasus nyata, teori di dokumen sulit diimplementasikan dengan keyakinan.
  4. Struktur Organisasi dan Insentif yang Tidak Kompatibel
    • Siklus Anggaran TahunanSistem APBN/APBD yang berjangka satu tahun memaksa unit kerja “bertempur” dalam sprint alokasi anggaran. PPK yang tidak mencapai realisasi 100% di akhir tahun dianggap gagal, tanpa memperhitungkan kualitas hasil pengadaan. Hal ini mendorong manajemen risiko rendah, sehingga proses dipaksa cepat, bukan berkualitas.
    • Insentif Berbasis KuantitasKPI instansi sering menitikberatkan jumlah paket atau nilai kontrak yang selesai, bukan outcome proyek. Seorang PPK yang bisa menuntaskan 50 paket bernilai kecil dianggap lebih sukses daripada yang hanya menangani 5 paket besar dengan manfaat jangka panjang, meski hasilnya jauh lebih strategis.
  5. Keterbatasan Data dan Sistem Informasi
    • Kurangnya Akses Data Historis dan Benchmark
      Untuk bisa merencanakan dan mengeksekusi pengadaan secara optimal, PPK memerlukan data harga pasar, kinerja penyedia, dan catatan masalah sebelumnya. Namun indeks harga referensi di SPSE hanya mencakup jenis-jenis umum dan sering kali tidak di-update secara berkala. Tanpa basis data historis yang andal, estimasi biaya cenderung meleset, memicu revisi anggaran berkali-kali.
    • Fragmentasi Sistem Informasi
      Berbagai aplikasi pendukung-e-procurement, e-budgeting, e-planning-seringkali tidak terintegrasi penuh. Data perencanaan tidak otomatis mengalir ke modul tender, memaksa PPK memindahkan data secara manual dan meningkatkan risiko human error.
  6. Budaya Organisasi dan Kepemimpinan yang Belum Mendukung
    • Resistensi Terhadap Inovasi
      Dalam birokrasi yang hierarkis, ide perbaikan proses-seperti penggunaan kontrak outcome-based atau metode agile dalam pengadaan jasa konsultansi-kadang dipandang sebagai “tidak baku” dan berisiko. Akibatnya, inovasi berhenti di tingkat proposal tanpa pernah diuji lapangan.
    • Kurangnya Kepemimpinan Transformasional
      Pemimpin proyek atau kepala satuan kerja yang memiliki visi modernisasi pengadaan masih relatif sedikit. Tanpa champion yang berani menerapkan change management, upaya penyelarasan aturan dengan praktik berakhir pada pertemuan rutin tanpa tindakan lanjutan.

Dengan merinci akar sistemik dan struktural di atas, kita melihat bahwa kesenjangan bukan sekadar masalah “pelanggaran prosedur”, melainkan sebuah fenomena kompleks yang menuntut reformasi menyeluruh-mulai dari penyusunan regulasi yang lebih adaptif dan berbasis konteks, hingga pembentukan insentif dan sistem informasi yang mendukung tata kelola pengadaan modern.

Dampak Kesenjangan: Dari Inefisiensi Hingga Korupsi

Kesenjangan antara aturan dan praktik pengadaan membawa dampak serius yang merugikan negara secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu dampak paling nyata adalah inefisiensi penggunaan anggaran. Barang atau jasa yang diperoleh melalui proses yang tidak sesuai prosedur cenderung memiliki kualitas rendah, harga tidak kompetitif, dan tidak tepat guna. Proyek pembangunan menjadi mangkrak, infrastruktur cepat rusak, atau perangkat yang dibeli tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Lebih parah lagi, kesenjangan ini membuka ruang bagi praktik korupsi yang terstruktur. Ketidakjelasan prosedur sering dimanfaatkan oleh oknum untuk “memainkan” pengadaan, mulai dari mark-up harga, pengaturan pemenang tender, hingga pembuatan proyek fiktif. Kejahatan semacam ini sulit dilacak jika hanya berpatokan pada dokumen formal, karena pada dasarnya semua tampak sesuai di atas kertas.

Tidak hanya itu, kesenjangan ini juga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Masyarakat melihat proyek pemerintah dengan kecurigaan karena kerap kali kualitas hasilnya tidak mencerminkan dana yang dikeluarkan. Hal ini memperparah krisis legitimasi birokrasi dan merusak semangat pelayanan publik.

Menjembatani Kesenjangan: Pendekatan Solutif dan Adaptif

Mengatasi kesenjangan antara aturan dan praktik pengadaan tidak cukup dengan menambah regulasi atau memperketat pengawasan. Diperlukan pendekatan yang lebih adaptif dan menyeluruh. Pertama, peningkatan kapasitas pelaku pengadaan harus menjadi prioritas. Pelatihan berkelanjutan, sertifikasi yang kredibel, dan pendampingan teknis bagi PPK, Pokja, dan pejabat pengadaan perlu diperluas, khususnya di daerah terpencil atau satuan kerja kecil yang minim dukungan teknis.

Kedua, diperlukan reformulasi dalam proses perencanaan pengadaan. Setiap kegiatan pengadaan harus direncanakan secara realistis sejak awal tahun, dengan mempertimbangkan waktu, risiko, dan kebutuhan aktual. Peran perencana pengadaan harus diperkuat agar tidak hanya menjadi formalitas, tetapi menjadi titik awal dari seluruh keberhasilan proses PBJ.

Ketiga, transparansi dan partisipasi publik harus ditingkatkan. Sistem e-procurement perlu terus disempurnakan agar lebih mudah diakses dan dipantau, tidak hanya oleh penyedia tetapi juga oleh masyarakat umum dan lembaga pengawas independen. Inovasi digital seperti dashboard real-time, penilaian penyedia berbasis komunitas, hingga open contract bisa mendorong proses yang lebih akuntabel.

Terakhir, diperlukan keberanian untuk melakukan deregulasi terhadap aturan-aturan pengadaan yang terbukti tidak efektif atau membingungkan. Regulasi harus sederhana, mudah dipahami, dan fleksibel terhadap variasi kondisi lapangan. Fokus pengadaan seharusnya bukan hanya pada kepatuhan prosedur, tetapi juga pada capaian hasil dan manfaat nyata bagi masyarakat.

Penutup

Kesenjangan antara aturan pengadaan dan praktik di lapangan merupakan tantangan serius yang harus segera ditangani. Sistem pengadaan tidak boleh terjebak dalam birokrasi prosedural yang melupakan tujuan utamanya: menyediakan barang dan jasa berkualitas untuk mendukung pelayanan publik. Untuk itu, perlu sinergi antara pembuat regulasi, pelaksana teknis, penyedia, masyarakat, dan lembaga pengawas dalam menciptakan sistem pengadaan yang lebih adaptif, akuntabel, dan berorientasi pada hasil.

Dengan menjembatani kesenjangan ini, pengadaan dapat menjadi instrumen strategis dalam pembangunan nasional, bukan sekadar proses administratif. Pengadaan yang baik akan menghasilkan layanan publik yang baik pula-dan di situlah kepercayaan publik terhadap negara akan bertumbuh.