Pendahuluan: Di Balik Fleksibilitas, Ada Celah
Penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu metode pemilihan penyedia yang memberikan fleksibilitas bagi pejabat pengadaan. Mekanisme ini memungkinkan proses pengadaan dilaksanakan dengan cepat dan efisien, terutama ketika kebutuhan bersifat mendesak, nilainya relatif kecil, atau hanya terdapat satu penyedia yang mampu menyediakan barang atau jasa tersebut. Namun, di balik kepraktisannya, metode ini juga menjadi salah satu titik rawan kecurangan yang sering kali luput dari pengawasan publik.
Penunjukan langsung ibarat pisau bermata dua: di satu sisi mempercepat pelaksanaan kegiatan, di sisi lain membuka ruang abu-abu yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Ketika transparansi dan akuntabilitas tidak ditegakkan secara ketat, potensi penyimpangan-baik berupa konflik kepentingan, kolusi, atau penggelembungan harga-menjadi semakin besar. Oleh karena itu, penting untuk menelaah secara kritis bagaimana modus-modus kecurangan disisipkan dalam proses penunjukan langsung dan apa saja faktor yang menyuburkannya.
Pemahaman Dasar Penunjukan Langsung
Penunjukan langsung merupakan metode pemilihan penyedia yang digunakan dalam situasi-situasi tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kriteria penggunaannya mencakup, antara lain, nilai pengadaan di bawah ambang batas tertentu, pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh satu penyedia, atau sifat pengadaan yang darurat.
Dalam praktiknya, penunjukan langsung lazim digunakan untuk pengadaan bernilai kecil seperti jasa kebersihan, pengadaan alat tulis kantor, atau jasa konsultan individu untuk pekerjaan spesifik. Karena mekanisme ini hanya memerlukan satu penyedia dan tidak melibatkan proses tender terbuka, maka seluruh proses bisa selesai dalam hitungan hari-jauh lebih cepat dibandingkan tender umum yang memakan waktu berminggu-minggu.
Namun, justru karena tidak memerlukan kompetisi antarpenyedia, proses ini sangat rentan dimanipulasi. Ketika tidak ada pembanding harga atau kualitas, maka pihak-pihak di dalam sistem bisa dengan mudah mengatur pemenang, menaikkan harga, atau menyisipkan klausul-klausul kontrak yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Di sinilah letak kelemahan struktural yang kerap dimanfaatkan oleh oknum.
Modus-Modus Kecurangan yang Sering Terjadi
1. Manipulasi Kualifikasi Penyedia
Salah satu bentuk kecurangan yang sering terjadi adalah rekayasa kualifikasi penyedia agar hanya satu pihak yang dinyatakan memenuhi syarat. Dalam banyak kasus, pejabat pengadaan telah memiliki “jagoan” atau rekanan yang hendak ditunjuk sejak awal. Maka kriteria teknis dirancang sedemikian rupa agar hanya penyedia tertentu yang dapat lolos verifikasi.
Misalnya, dalam pengadaan jasa konsultansi, disusun persyaratan seperti pengalaman kerja minimal 5 tahun dalam proyek serupa di wilayah tertentu, penggunaan perangkat lunak tertentu, atau memiliki tenaga ahli dengan sertifikasi langka. Padahal pekerjaan tersebut bisa dikerjakan oleh banyak pihak. Persyaratan yang terlalu spesifik tersebut bukan bertujuan menjamin kualitas, melainkan menyaring pesaing agar penyedia pilihan bisa ditetapkan secara legal formal.
2. Penggelembungan Harga (Mark-Up)
Modus lainnya adalah penggelembungan harga yang tidak masuk akal. Karena dalam penunjukan langsung tidak ada proses kompetisi harga terbuka, maka penyedia dan pejabat pengadaan bisa “bermain harga” dengan menetapkan nilai kontrak di atas harga pasar. Selisih antara harga riil dan harga kontrak ini kemudian bisa dibagi secara tidak sah antar pihak.
Seringkali harga pengadaan disesuaikan bukan pada kebutuhan teknis yang wajar, melainkan pada “target setoran” atau pembagian hasil di belakang layar. Praktik ini bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menciptakan ekosistem pengadaan yang koruptif dan tidak sehat bagi pelaku usaha yang jujur.
3. Konflik Kepentingan dan Nepotisme
Penunjukan langsung juga menjadi sarana subur untuk praktik nepotisme dan konflik kepentingan. Ketika pejabat pengadaan atau pihak-pihak yang memiliki wewenang dalam proses pemilihan penyedia ternyata memiliki hubungan keluarga, kekerabatan, atau afiliasi bisnis dengan penyedia yang ditunjuk, maka integritas proses menjadi patut dipertanyakan.
Hubungan semacam ini seringkali ditutupi dengan menggunakan perusahaan atas nama orang lain, tetapi sesungguhnya dikelola atau dimiliki oleh pihak-pihak yang terafiliasi. Tanpa pengawasan yang kuat, praktik ini sulit dideteksi dan seringkali baru terbongkar setelah adanya audit mendalam atau laporan dari whistleblower.
4. Pekerjaan Fiktif dan Pengadaan Asal Jadi
Dalam kasus yang lebih parah, penunjukan langsung bisa dijadikan modus untuk melakukan pengadaan fiktif, yakni pekerjaan yang sebenarnya tidak pernah dilaksanakan namun tetap dibayar seolah-olah telah selesai. Modus ini bisa terjadi dalam bentuk laporan palsu, dokumentasi manipulatif, dan kerja sama antara penyedia dan pihak pengelola anggaran.
Bentuk lainnya adalah pengadaan asal jadi, di mana pekerjaan memang dilaksanakan, tetapi dengan kualitas yang sangat buruk karena tidak melalui proses seleksi ketat terhadap penyedia. Produk atau jasa yang dihasilkan menjadi tidak bermanfaat, cepat rusak, atau tidak sesuai spesifikasi, sehingga negara mengalami kerugian ganda: dari sisi anggaran maupun hasil akhir.
Faktor-Faktor yang Menyuburkan Kecurangan
1. Lemahnya Pengawasan Internal
Salah satu penyebab utama suburnya kecurangan dalam penunjukan langsung adalah lemahnya fungsi pengawasan internal, baik dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) maupun Inspektorat. Dalam banyak kasus, pengawasan baru dilakukan setelah kegiatan selesai dan laporan pertanggungjawaban telah disusun sedemikian rupa sehingga tampak sesuai prosedur.
Minimnya audit secara real-time atau berbasis risiko membuat ruang penyimpangan nyaris tidak tersentuh. Apalagi jika pengawas internal turut terlibat atau memiliki hubungan tidak netral dengan pihak pelaksana, maka pengawasan menjadi formalitas belaka.
2. Tekanan Target dan Politik Anggaran
Seringkali pejabat pengadaan tertekan oleh target serapan anggaran yang harus dipenuhi dalam waktu singkat. Akibatnya, mereka memilih jalur cepat dengan penunjukan langsung, meskipun sebenarnya pekerjaan tersebut lebih tepat dilakukan dengan mekanisme lelang terbuka.
Tidak jarang pula terdapat tekanan politik dari pihak eksekutif atau legislatif yang mengarahkan agar penyedia tertentu dipilih karena alasan non-teknis. Ketika proses pengadaan menjadi alat politik atau sarana bagi-bagi proyek, maka akuntabilitas dan efisiensi tidak lagi menjadi pertimbangan utama.
3. Rendahnya Pemahaman Etika Pengadaan
Meski regulasi pengadaan sudah cukup lengkap, banyak pejabat pengadaan dan penyedia jasa yang belum memiliki pemahaman etika pengadaan yang baik. Mereka cenderung melihat celah hukum sebagai peluang, bukan sebagai peringatan. Perilaku semacam ini berakar pada budaya birokrasi yang permisif terhadap pelanggaran selama tidak ketahuan.
Kurangnya pelatihan berkelanjutan tentang integritas pengadaan, serta tidak adanya sanksi sosial yang tegas terhadap pelanggar, menyebabkan praktik kecurangan dianggap sebagai bagian dari “tradisi” birokrasi yang sulit diubah.
Upaya Mencegah dan Mengurangi Kecurangan
1. Perkuat Pengawasan Berbasis Data
Penerapan sistem e-purchasing dan e-contracting harus dimaksimalkan agar seluruh proses penunjukan langsung tercatat secara digital dan mudah diawasi oleh sistem. Penggunaan big data dan data mining dapat membantu mengidentifikasi pola-pola penyimpangan, seperti perusahaan yang sering ditunjuk dalam berbagai paket, atau harga pengadaan yang tidak wajar dibanding harga pasar.
Dengan pengawasan berbasis teknologi, pelanggaran tidak lagi bisa disembunyikan dalam tumpukan dokumen manual yang sulit diaudit. Sistem bisa memberi sinyal peringatan secara otomatis apabila terjadi anomali dalam proses atau hasil pengadaan.
2. Audit Kinerja Secara Rutin
Audit kinerja oleh inspektorat atau BPKP perlu dilakukan secara rutin dan tidak hanya difokuskan pada aspek kepatuhan administratif, tetapi juga efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran. Proses audit harus menyasar substansi pekerjaan: apakah pekerjaan benar-benar dibutuhkan, dilaksanakan sesuai standar, dan memberi manfaat nyata.
Dengan pendekatan ini, penunjukan langsung yang hanya menjadi alat formalitas akan mudah teridentifikasi. Audit kinerja juga harus dibuka untuk partisipasi publik agar masyarakat dapat ikut mengawasi dan memberi masukan.
3. Perluas Peran Whistleblower
Perlindungan terhadap pelapor dugaan kecurangan harus diperkuat agar ASN atau penyedia yang memiliki informasi mengenai penyimpangan berani melapor. Sistem whistleblower harus dijamin kerahasiaannya dan diberikan penghargaan atas kontribusinya dalam menjaga integritas pengadaan.
Tanpa adanya perlindungan dan insentif, pelaporan akan sulit terjadi karena risiko intimidasi dan tekanan dari atasan atau rekan kerja yang terlibat dalam praktik korupsi.
Kesimpulan: Reformasi Penunjukan Langsung Adalah Keniscayaan
Penunjukan langsung adalah instrumen penting dalam pengadaan barang dan jasa, tetapi tanpa kontrol dan pengawasan yang kuat, metode ini justru bisa menjadi pintu masuk bagi berbagai bentuk kecurangan. Praktik manipulasi kualifikasi, penggelembungan harga, hingga nepotisme dan pekerjaan fiktif adalah bentuk nyata penyimpangan yang menggerogoti kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan.
Oleh karena itu, diperlukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola penunjukan langsung-mulai dari regulasi yang lebih ketat, penguatan kapasitas pengawasan, hingga penerapan teknologi digital yang memungkinkan pengawasan real-time dan berbasis data. Hanya dengan integritas, transparansi, dan akuntabilitas yang ditegakkan secara konsisten, metode penunjukan langsung bisa menjadi solusi, bukan sumber masalah.