Pendahuluan
Dalam praktik pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJ), salah satu tantangan terbesar yang sering muncul adalah ketika barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi atau ketentuan yang tercantum dalam kontrak. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan kerugian negara, tetapi juga mengganggu keberlangsungan proyek, merusak reputasi instansi, dan menimbulkan potensi konflik hukum antara pihak-pihak terkait. Penting untuk memahami akar permasalahan ketidaksesuaian barang dengan kontrak-apakah kesalahan terletak pada penyedia (supplier), pejabat pengadaan, atau sistem pengawasan yang lemah. Artikel ini menguraikan secara mendalam berbagai aspek yang mempengaruhi terjadinya ketidaksesuaian, menelusuri tanggung jawab setiap pihak, serta memberikan rekomendasi pencegahan dan penyelesaian sengketa yang komprehensif.
Bagian I: Definisi dan Bentuk Ketidaksesuaian
Ketidaksesuaian barang dengan kontrak bukan semata-mata soal selisih angka atau sedikit perbedaan material-melainkan pencerminan kegagalan sistemik dalam seluruh rantai pengadaan. Dari sisi perencanaan, ketidaksesuaian bisa berakar pada spesifikasi yang tidak mempertimbangkan konteks operasi: misalnya, pesanan genset untuk daerah pesisir tanpa memperhitungkan skorosi akibat angin laut, sehingga material anti-karat yang diharapkan justru tidak ada. Secara teknis, ketidaksesuaian dapat dibagi ke dalam tiga kategori utama:
- Ketidaksesuaian kualitas (quality non-conformance), seperti material tidak memenuhi uji mutu;
- Ketidaksesuaian kuantitas (quantity variance), di mana jumlah barang kurang atau berlebih; dan
- Ketidaksesuaian waktu (delivery non-compliance), mencakup lebih awal atau menunda pengiriman yang mengganggu jadwal proyek.
Masing-masing kategori memerlukan pendekatan verifikasi dan penanganan berbeda. Misalnya, quantity variance mudah dihitung lewat timbang terima, tetapi quality non-conformance memerlukan pengujian laboratorium berstandar ISO. Lebih jauh, ketidaksesuaian waktu kerap menyebabkan denda atau biaya tambahan, tapi dampaknya pada pengguna akhir kerap sulit diukur secara finansial, seperti proyek pendidikan yang tertunda mempengaruhi proses belajar siswa. Keseluruhan bentuk ketidaksesuaian ini menuntut pemahaman menyeluruh sejak awal, agar setiap pihak mengetahui tolok ukur toleransi dan prosedur klaim yang tepat.
Bagian II: Peran Dokumen Kontrak dalam Menetapkan Standar
Dokumen kontrak adalah fondasi legal dan teknis yang menegaskan apa yang menjadi kewajiban penyedia dan hak pengguna. Kejelasan dokumen meliputi tiga lapis utama:
- Spesifikasi Teknis, berisi parameter teknis terukur-misalnya, densitas beton minimal 2.400 kg/m³ atau kapasitas pompa minimal 50 m³/jam;
- Syarat Pengujian dan Sertifikasi, menyebut lembaga pengujian yang diakui (Kementerian ESDM, Balai Besar Keramik, dsb) serta kelengkapan sertifikat produk; dan
- Sanksi dan Jaminan, memuat klausul retensi pembayaran (misalnya 5-10% hingga masa garansi berakhir), denda keterlambatan (0,1% per hari kalender), serta mekanisme warranty claim jika gagal fungsi dalam periode tertentu.
Dokumen yang ideal juga menyertakan lampiran gambar kerja, diagram alur, dan standar mutu acuan internasional (ISO, ASTM). Tanpa detail ini, tim verifikasi tidak memiliki dasar menolak barang yang keliru dikirim. Lebih jauh, klausul force majeure dan perubahan pesanan (change order) harus diatur agar tidak disalahgunakan-misalnya, penyedia tidak bisa sewenang-wenang memaksa revisi spesifikasi dengan alasan harga naik. Oleh karena itu, audit terhadap Draft Kontrak sebelum ditandatangani sangat krusial: melibatkan konsultan independen untuk menguji celah legal dan teknis, sehingga seluruh pihak memiliki pemahaman dan komitmen yang sama.
Bagian III: Tanggung Jawab Penyedia Barang
Penyedia barang memiliki kewajiban mutlak untuk menyerahkan produk sesuai kontrak, terukur tidak hanya lewat dokumen, tetapi juga lewat standar kinerja di lapangan. Ketentuan Pasal 17 LKPP No. 12/2021 menegaskan bahwa penyedia wajib mengganti atau memperbaiki barang dalam jangka waktu garansi tanpa biaya. Namun di lapangan, kewajiban ini kerap terabaikan karena
- kurangnya dana cadangan untuk rectification;
- proses klaim yang berbelit-dibutuhkan BAPP, laporan pengujian, hingga persetujuan berlapis; dan
- budaya suap yang mungkin menutupi ketidaksesuaian.
Motivasi penyedia menekan biaya-melalui substitusi material atau pengerjaan cepat-memang menggoda saat persaingan harga ketat, tetapi merusak reputasi jangka panjang. Studi perilaku menunjukkan bahwa penyedia dengan track record buruk lebih sulit mendapatkan proyek selanjutnya karena rating kinerja (performance evaluation) di e-procurement bersifat transparan. Oleh karena itu, penyedia profesional biasanya membangun quality management system (QMS) tersertifikasi ISO 9001 untuk meyakinkan konsumen. Di sisi lain, penyedia kecil yang belum terakreditasi sering diuntungkan oleh dokumen kontrak yang lemah-sehingga penting bagi tim pengadaan melakukan due diligence, termasuk kunjungan pabrik, pemeriksaan sertifikat homologasi, dan wawancara karyawan kunci.
Bagian IV: Tanggung Jawab Pejabat Pengadaan dan PPK
Pejabat Pengadaan dan PPK tidak hanya menandatangani kontrak, melainkan bertindak sebagai “gatekeeper” yang memastikan seluruh proses akuntabel dan sesuai prosedur. Tugas penting pertama adalah verifikasi administrasi: memeriksa keabsahan NPWP, SIUP, sertifikat LPJK, dan dokumen penawaran teknis. Kesalahan sering terjadi ketika verifikasi hanya dilakukan secara desktop review, tanpa validasi fisik terhadap sampel barang. Tahapan berikutnya adalah pre-delivery inspection (PDI), di mana PPK bersama tim teknis memeriksa sampel awal di pabrik atau gudang penyedia sebelum volume penuh dikirim.
Pada tahap ini, PPK memiliki wewenang menghentikan pengiriman jika terjadi “major non-conformance.” Setelah barang tiba, PPK wajib memfasilitasi Acceptance Test Procedure (ATP) yang terstruktur-mulai dari pengecekan dokumen, uji fungsional, hingga simulasi beban operasional. Apabila PPK terlalu cepat menerbitkan Berita Acara Serah Terima (BAST) hanya berdasarkan nota kelengkapan dokumen, potensi klaim ketidaksesuaian setelah pembayaran penuh menjadi tinggi. Untuk itu, PPK perlu membuat checklist rinci yang mencakup status barang, tanggal pengujian, hasil validasi teknis, dan rekomendasi tim teknis. Dengan demikian, PPK berperan sebagai penyeimbang: tidak hanya memastikan kelancaran administrasi, tetapi juga menjaga mutu dan akuntabilitas pengadaan barang/jasa.
Bagian V: Peran Tim Teknis dan Pengujian Barang
Unit teknis pengguna barang (end-user) memiliki peran penting untuk melakukan uji coba dan verifikasi kualitas sebelum barang diterima resmi. Proses pengujian bisa meliputi tes laboratorium, uji fungsional, maupun uji operasional di lapangan. Ketika tim teknis tidak dilibatkan sejak tahap perencanaan, spesifikasi yang disusun bisa tidak relevan dengan kebutuhan operasional. Bahkan, kondisi di lapangan-seperti iklim, beban kerja, atau interaksi dengan sistem lain-mempengaruhi kinerja barang. Tim teknis yang kuat akan menyediakan laporan terperinci berisi hasil uji, rekomendasi perbaikan, atau justifikasi penolakan barang. Apabila pengujian terlewat atau dilakukan asal-asalan, maka klaim penyedia soal “barang sudah memenuhi syarat” sulit disangkal meski faktanya tidak layak dipakai.
Bagian VI: Sistem Pengawasan dan Audit Internal
Ketidaksesuaian sering kali baru diketahui pasca pembayaran jika audit internal dan eksternal tidak berfungsi dengan baik. Institusi pemerintah umumnya memiliki Inspektorat Jenderal (Itjen) atau auditor internal yang melakukan pemeriksaan berkala. Jika audit hanya fokus pada kepatuhan administratif-apakah tagihan dan dokumen pendukung lengkap-tanpa verifikasi fisik, potensi kecurangan atau ketidaksesuaian barang rawan terlewat. Selain itu, mekanisme whistleblowing belum sepenuhnya efektif di semua entitas publik, sehingga pelaporan indikasi ketidaksesuaian sangat bergantung pada inisiatif tenaga teknis di lapangan. Penguatan sistem pengawasan bisa dilakukan melalui digitalisasi laporan BAPPH, penggunaan teknologi IoT untuk memantau kualitas barang secara real-time, dan integrasi data antara unit pengadaan, tim teknis, dan auditor.
Bagian VII: Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Apabila terjadi ketidaksesuaian dan pihak penyedia enggan memperbaiki, maka mekanisme penyelesaian sengketa dapat ditempuh lewat beberapa jalur. Pertama, mediasi internal oleh PPK dan Unit Pengadaan. Kedua, alternatif penyelesaian sengketa di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Ketiga, penyelesaian melalui pengadilan negeri jika tuntutan melibatkan kompensasi finansial besar atau bukti tindak pidana korupsi. Setiap jalur memiliki kelebihan dan kekurangan: mediasi lebih cepat dan murah, namun tergantung itikad baik; arbitrase memberikan putusan mengikat dengan prosedur formal, namun relatif lebih mahal; litigasi di pengadilan menawarkan putusan eksekutorial, tetapi memakan waktu lama. Pilihan jalur hendaknya didasarkan pada nilai kontrak, biaya sengketa, dan risiko reputasi instansi.
Bagian VIII: Implikasi Hukum dan Sanksi
Ketidaksesuaian barang tidak hanya menimbulkan kerugian operasional, tetapi juga konsekuensi hukum. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa penyedia yang melakukan manipulasi barang dapat dijerat pasal gratifikasi atau tindak pidana korupsi jika manfaat yang diperoleh melebihi Rp 100 juta. Bagi pejabat pengadaan, Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 mengancam sanksi disiplin hingga pemberhentian tidak dengan hormat jika terbukti lalai menyebabkan kerugian negara. Selain itu, Presiden dapat mengeluarkan kebijakan blacklist terhadap penyedia nakal berdasarkan rekomendasi LKPP, yang berimbas pada larangan mengikuti tender selama jangka waktu tertentu. Implikasi administrasi ini menuntut setiap pihak lebih berhati-hati dan taat pada prosedur.
Bagian IX: Pencegahan Melalui Best Practices
Untuk meminimalkan risiko ketidaksesuaian barang dengan kontrak, berbagai best practices dapat diadopsi. Pertama, kunci sukses terletak pada penyusunan dokumen kontrak yang komprehensif: spesifikasi teknis terukur, timeline pengiriman, syarat quality assurance, dan mekanisme penalti jelas. Kedua, libatkan tim teknis sejak awal perencanaan agar spesifikasi mencerminkan kebutuhan riil. Ketiga, gunakan procurement analytics untuk menilai kinerja historis penyedia, mengurangi potensi choosing the wrong vendor. Keempat, terapkan acceptance testing yang ketat-bukan sekadar dokumen tanda terima-untuk mencegah pengesahan barang abal-abal. Kelima, integrasikan sistem e-procurement dengan platform monitoring, sehingga proses pengadaan, uji coba, dan klaim warranty tercatat secara transparan. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, instansi dapat meningkatkan efektivitas pengadaan dan menekan potensi sengketa.
Bagian X: Studi Kasus dan Pembelajaran
Contoh nyata dapat ditemukan pada proyek pembangunan jalan tol X pada tahun 2023, di mana kontraktor memasok cor beton dengan mutu rendah-ditandai retak dini pada permukaan jalan-disebabkan kelalaian dalam proses curing. Tim pengadaan terlambat mendeteksi, karena uji kekuatan beton hanya dilakukan sekali pasca pengerasan, bukan secara berkala. Akibatnya, proyek mengalami penundaan perbaikan selama enam bulan dengan biaya tambahan miliaran rupiah. Kasus ini memperlihatkan pentingnya continuous testing dan quality assurance yang berkelanjutan, bukan hanya acceptance test pada momen akhir. Pembelajaran lain adalah perlunya budaya antisipasi, di mana setiap tahap produksi dan logistik dipantau, termasuk kondisi penyimpanan dan transportasi material.
Kesimpulan
Ketidaksesuaian barang dengan kontrak merupakan fenomena kompleks yang melibatkan berbagai pihak: penyedia barang, pejabat pengadaan, tim teknis, hingga sistem pengawasan dan audit. Menentukan siapa yang salah bukan semata menuntut ganti rugi, tetapi merumuskan akar persoalan agar tidak terulang di masa depan. Kunci pencegahan terletak pada kejelasan dokumen kontrak, keterlibatan tim teknis, pengujian berkala, dan pengawasan yang terintegrasi. Ketika sengketa tetap muncul, mekanisme mediasi, arbitrase, atau litigasi dapat diambil sesuai kebutuhan, dengan mempertimbangkan biaya, waktu, dan risiko reputasi. Dengan mengimplementasikan best practices, kualitas pengadaan dapat ditingkatkan, kerugian diminimalkan, dan kepercayaan publik terhadap institusi terjaga. Pada akhirnya, kesesuaian barang dengan kontrak bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga cerminan tata kelola pengadaan yang profesional, transparan, dan akuntabel.