Lelang Gagal Berulang, Apa Solusinya?

Pendahuluan

Lelang atau tender merupakan salah satu metode utama dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ia menjadi tulang punggung dalam memastikan proses belanja negara berjalan transparan, efisien, dan kompetitif. Namun, dalam praktiknya, tidak jarang proses lelang mengalami kegagalan-bahkan, dalam beberapa kasus, kegagalan tersebut terjadi secara berulang. Fenomena “lelang gagal berulang” bukan hanya menjadi kendala teknis administratif, tetapi juga bisa berimplikasi serius terhadap keterlambatan pelaksanaan kegiatan, serapan anggaran, hingga terganggunya pelayanan publik.

Apa sebenarnya yang menyebabkan lelang bisa gagal berulang kali? Apakah sistem pengadaan yang bermasalah, penyusunan dokumen yang tidak cermat, atau kurangnya pelaku usaha yang berminat? Bisa jadi semua itu menjadi penyebabnya. Namun, alih-alih hanya menyalahkan satu sisi, penting untuk menggali lebih dalam berbagai faktor yang saling terkait dan mencari solusi konkret untuk meminimalkan-jika tidak dapat menghilangkan-kemungkinan terjadinya lelang gagal berulang.

Artikel ini akan membahas secara komprehensif tentang penyebab umum lelang gagal, karakteristik kegagalan yang berulang, serta menawarkan berbagai pendekatan solutif yang dapat dilakukan oleh pelaku pengadaan, baik dari sisi Perangkat Daerah, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kelompok Kerja Pemilihan (Pokmil), maupun pelaku usaha. Harapannya, artikel ini menjadi bahan refleksi sekaligus rujukan praktis dalam membenahi proses pengadaan di instansi masing-masing.

1. Memahami Definisi dan Jenis Kegagalan Lelang

Kegagalan lelang dapat terjadi karena tidak adanya peserta yang memasukkan penawaran, tidak ada peserta yang lulus evaluasi, atau karena adanya temuan pelanggaran yang menyebabkan proses dibatalkan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya, disebutkan bahwa kegagalan tender harus segera ditindaklanjuti dengan proses ulang.

Jenis kegagalan sendiri bisa diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar: kegagalan administratif dan kegagalan substantif. Kegagalan administratif biasanya terkait dengan dokumen yang tidak lengkap, kesalahan format, atau keterlambatan pengunggahan. Sementara kegagalan substantif melibatkan aspek kualitas penawaran yang tidak memenuhi spesifikasi teknis atau harga yang tidak wajar.

Ketika kegagalan terjadi satu kali, itu bisa dianggap sebagai “kecelakaan prosedural”. Namun jika kegagalan terus berulang, maka itu menandakan adanya permasalahan struktural yang harus ditelusuri lebih jauh.

2. Akar Masalah Lelang Gagal Berulang

Kegagalan lelang yang terjadi berulang kali menunjukkan adanya masalah yang lebih mendalam. Beberapa akar masalah umum antara lain:

  • Penyusunan Dokumen Pemilihan yang Tidak Menarik atau Tidak Realistis
    Dokumen pemilihan yang terlalu kompleks, penuh persyaratan tidak relevan, atau terlalu kaku dalam hal spesifikasi teknis dan administratif, sering kali menjadi penghambat. Banyak pelaku usaha yang mundur bahkan sebelum memasukkan penawaran karena merasa tidak bisa memenuhi semua ketentuan tersebut.
  • Estimasi Harga yang Tidak Sesuai Pasar
    Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang tidak realistis atau tidak mencerminkan kondisi pasar akan membuat penyedia tidak berminat untuk ikut serta. Penyedia tentu enggan menawarkan jasa atau barang di bawah harga keekonomian.
  • Kurangnya Sosialisasi atau Informasi Tender
    Tidak semua pelaku usaha mengetahui bahwa suatu paket pengadaan sedang ditenderkan. Informasi yang minim, tidak strategis, atau hanya terpaku di LPSE tanpa jangkauan komunikasi yang luas akan menyulitkan upaya mendapatkan peserta yang kompeten.
  • Kurangnya Kapasitas Pelaku Usaha Lokal
    Di beberapa daerah, kapasitas penyedia barang/jasa lokal masih terbatas, baik dari segi teknis, manajerial, maupun administratif. Ketika proyek terlalu spesifik atau menuntut kompetensi tinggi, penyedia lokal kerap tidak mampu mengikutinya.
  • Persepsi Negatif terhadap Paket Pengadaan Tertentu
    Jika suatu paket pengadaan memiliki reputasi buruk di kalangan pelaku usaha-misalnya karena sering gagal, dicurigai rawan intervensi, atau terlalu banyak pengulangan proses-maka minat untuk mengikuti tender tersebut akan menurun.

3. Dampak Kegagalan Lelang yang Terus Berulang

Lelang yang gagal berulang memberikan dampak domino yang serius. Pertama, waktu pelaksanaan proyek semakin tertekan. Misalnya, kegiatan konstruksi yang seharusnya dimulai awal tahun bisa tertunda hingga semester kedua, bahkan bisa jadi tidak terlaksana sama sekali.

Kedua, serapan anggaran menjadi rendah. Ini bukan hanya berdampak pada kinerja unit kerja, tetapi juga akan mencoreng reputasi pemerintah daerah atau lembaga tersebut di mata publik dan lembaga pengawas.

Ketiga, pelayanan publik bisa terganggu. Contohnya, pengadaan alat kesehatan atau sarana pendidikan yang gagal berulang dapat langsung mempengaruhi akses dan kualitas layanan kesehatan atau pendidikan.

Terakhir, kegagalan lelang berulang juga bisa membuka peluang terjadinya praktik manipulatif. Ketika proses berulang-ulang gagal, tekanan untuk “mengamankan” pemenang bisa meningkat, yang pada gilirannya membuka celah penyimpangan.

4. Strategi Solutif: Revisi Dokumen dan Pendekatan Realistis

Langkah pertama yang bisa dilakukan untuk mencegah kegagalan lelang adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dokumen pemilihan. Pokja harus berani melakukan revisi terhadap ketentuan-ketentuan yang terlalu memberatkan atau tidak relevan.

Spesifikasi teknis perlu disusun dengan memperhatikan standar industri dan diselaraskan dengan kemampuan pasar. Demikian pula syarat administrasi, seperti pengalaman sejenis, personel, dan peralatan, harus ditetapkan berdasarkan kebutuhan riil, bukan formalitas berlebihan.

Penyusunan HPS pun perlu didasarkan pada survei harga yang representatif. Penggunaan aplikasi referensi harga, konsultasi dengan ahli, serta pencermatan harga aktual di e-katalog dapat membantu menetapkan harga yang wajar dan menarik.

5. Komunikasi Proaktif dan Strategi Menarik Minat Penyedia

Agar proses lelang mendapatkan partisipasi yang optimal, perlu ada komunikasi proaktif dari pemilik pekerjaan kepada penyedia potensial. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain:

  • Menyebarluaskan informasi tender melalui berbagai kanal: media sosial, asosiasi usaha, papan pengumuman fisik, dan forum komunikasi pelaku usaha.
  • Menggelar market sounding atau forum konsultasi pra-lelang, terutama untuk paket strategis atau bernilai besar.
  • Mengundang penyedia potensial untuk berdiskusi secara informal terkait peluang dan tantangan paket yang akan dilelang.

Dengan pendekatan seperti ini, kepercayaan dan minat pelaku usaha akan meningkat. Mereka merasa dilibatkan dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas terkait proyek yang akan ditangani.

6. Peningkatan Kapasitas Pelaku Pengadaan dan Penyedia

Tidak hanya penyedia, pelaku pengadaan dari sisi pemerintah juga perlu terus ditingkatkan kapasitasnya. Pelatihan, bimbingan teknis, dan pembelajaran dari studi kasus sangat diperlukan, khususnya dalam penyusunan dokumen pemilihan, analisis pasar, dan evaluasi penawaran.

Bagi penyedia, pemerintah daerah dapat menggandeng asosiasi usaha untuk menyelenggarakan pelatihan teknis, penguatan manajemen proyek, dan literasi pengadaan berbasis sistem elektronik. Tujuannya adalah agar semakin banyak pelaku usaha lokal yang mampu bersaing secara sehat dan profesional.

7. Peran APIP dan UKPBJ dalam Pengawasan dan Pembinaan

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) memiliki peran penting dalam mencegah dan menangani kegagalan lelang yang berulang. APIP dapat melakukan audit tematik terhadap proses pengadaan yang sering gagal, untuk menemukan pola dan merekomendasikan perbaikan.

UKPBJ juga harus lebih aktif memberikan asistensi teknis kepada PPK dan Pokja Pemilihan, serta melakukan evaluasi terhadap kualitas dokumen yang disusun. Dengan pendekatan berbasis pembinaan, bukan sekadar pengawasan, potensi kegagalan bisa ditekan lebih dini.

8. Solusi Digital: Data Analitik dan Peringatan Dini

Kemajuan teknologi memungkinkan integrasi data pengadaan untuk mendeteksi potensi kegagalan secara lebih cepat. Sistem informasi pengadaan dapat dikembangkan untuk memberikan early warning system terhadap paket-paket yang berisiko tinggi gagal. Misalnya, sistem dapat mengenali pola paket yang tidak diminati, memiliki HPS terlalu rendah, atau terlalu sering mengalami koreksi dokumen.

Dengan data analitik tersebut, pengambil keputusan bisa segera melakukan intervensi sebelum tender dimulai. Inilah salah satu langkah modernisasi pengadaan yang berbasis prediksi dan pencegahan, bukan sekadar respons terhadap masalah.

Kesimpulan

Lelang gagal berulang bukanlah sekadar masalah prosedural dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Ia adalah sinyal dari adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan pemerintah dengan kapasitas pasar, ketidaktepatan dokumen tender, atau lemahnya komunikasi dengan penyedia. Jika tidak segera ditangani, dampaknya bisa meluas-dari keterlambatan proyek, penurunan serapan anggaran, terganggunya layanan publik, hingga potensi praktik menyimpang.

Solusinya tidak tunggal, melainkan harus dilakukan secara kolaboratif dan sistemik. Mulai dari memperbaiki kualitas dokumen, melakukan pendekatan pasar yang lebih komunikatif, meningkatkan kapasitas pelaku pengadaan dan penyedia, sampai mengembangkan sistem digital berbasis analitik. Pengawasan dan pembinaan yang bersifat mendukung, bukan menghukum, juga menjadi kunci agar pengadaan tidak sekadar “aman prosedur”, tapi juga efektif hasil.

Semakin cepat instansi pemerintah menyadari bahwa lelang gagal berulang adalah masalah serius, semakin cepat pula upaya pembenahan bisa dilakukan. Sebab pada akhirnya, keberhasilan pengadaan bukan hanya soal serapan anggaran, tapi juga tentang kualitas pelayanan publik dan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi.