Penyebab Kontrak Pengadaan Sering Molor

Pendahuluan

Proyek pengadaan melalui mekanisme lelang seharusnya menjadi sarana yang efisien dan transparan untuk mendapatkan barang atau jasa dengan harga terbaik, sekaligus menegakkan prinsip akuntabilitas negara. Namun kenyataannya, banyak proyek lelang yang gagal di berbagai tingkatan pemerintahan maupun swasta. Kegagalan ini tidak sekadar berakibat hilangnya kesempatan untuk mendapatkan output sesuai kebutuhan, melainkan juga menimbulkan kerugian finansial, menurunkan kepercayaan publik, bahkan memperlambat laju pembangunan. Artikel ini bertujuan mengulas secara mendalam penyebab-penyebab kegagalan proyek lelang, mulai dari faktor regulasi dan birokrasi, kapasitas peserta, transparansi dan korupsi, spesifikasi teknis, risiko eksternal, hingga tantangan digitalisasi. Dengan memahami akar persoalan, diharapkan pembuat kebijakan dan praktisi pengadaan dapat merumuskan langkah perbaikan yang komprehensif dan berkelanjutan.

Bagian 1: Regulasi dan Birokrasi yang Kompleks

Salah satu penyebab utama kegagalan lelang adalah kerumitan regulasi dan birokrasi yang mengelilingi seluruh proses mulai dari perencanaan hingga pelaporan. Di Indonesia, misalnya, peraturan pengadaan barang dan jasa diperbarui secara berkala oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), namun seringkali perubahan tersebut memperkenalkan prosedur baru yang memerlukan penyesuaian cepat bagi unit kerja pengadaan. Akibatnya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan panitia lelang kerap kebingungan memahami dokumen regulasi yang terus berkembang, sehingga dokumen pemilihan rekanan (tender document) menjadi amburadul: dari syarat administrasi yang menumpuk hingga jadwal yang tidak realistis.

Birokrasi internal instansi juga berperan memperlama proses. Setiap tahapan-mulai verifikasi dokumen, persetujuan anggaran, hingga evaluasi penawaran-memerlukan sejumlah tanda tangan. Dalam praktiknya, keterlambatan satu tanda tangan dapat menunda keseluruhan proses, bahkan memaksa pelelangan dibatalkan apabila tenggat waktu penyelesaian kontrak mendekati akhir tahun anggaran. Pengaturan waktu yang terlalu kaku ini memaksa panitia lelang menghentikan proses meski peserta sudah ada, hanya karena sisa waktu tidak mencukupi untuk tahapan evaluasi dan klarifikasi.

Lebih jauh lagi, tumpang tindih kewenangan antar-lembaga semakin menambah kompleksitas. Dalam proyek multi-instansi, acuan standar dokumen dan teknik evaluasi berbeda-beda. Hal ini memunculkan kebingungan penempatan PPK, tanggung jawab audit internal, dan prosedur penyampaian hasil lelang. Akibatnya, kepastian hukum dan akuntabilitas melemah, sementara risiko keputusan sepihak meningkat. Kondisi regulasi dan birokrasi yang tidak ramping inilah yang membuat banyak proses lelang “gagal di tengah jalan” sebelum punah anggaran digunakan secara produktif.

Bagian 2: Kurangnya Pengalaman dan Kapasitas Peserta

Keberhasilan lelang tak hanya ditentukan oleh panitia, melainkan juga oleh kualitas dan jumlah peserta. Sayangnya, di banyak daerah, jumlah pelaku usaha lokal yang mampu mengikuti prosedur lelang masih minim. Keterbatasan ini bisa berasal dari kurangnya pengalaman menyusun dokumen keuangan, risiko kredit, hingga manajemen proyek yang lemah. Pada saat registrasi dan pra-kualifikasi, banyak perusahaan kecil-menengah (UKM) terpaksa mundur karena tidak memenuhi nilai asset minimum atau pengalaman teknis yang diminta.

Lebih lanjut, peserta yang lolos kualifikasi belum tentu paham tata cara mengelola administrasi kontrak setelah penetapan pemenang. Kesalahan pengisian jaminan penawaran, program kerja, atau bahkan sertifikat keahlian personil dapat memicu diskualifikasi administratif. Meskipun biasanya ada masa sanggah yang diperuntukkan memperbaiki berkas, bagi banyak UKM hal ini terlalu membebani waktu dan sumber daya, sehingga memilih tidak melanjutkan gugatan. Akhirnya, hanya segelintir perusahaan besar yang mendominasi, dan kalau pun mereka absen, pelelangan batal karena tak ada peserta memenuhi syarat.

Selain itu, mindset pelaku usaha juga kerap kurang proaktif. Alih-alih menyimak sosialisasi teknik lelang atau mengikuti pelatihan pengadaan, banyak UKM menganggap lelang sebagai ajang “bersaing harga murah saja”. Akibatnya, mereka tidak mengalokasikan tim khusus untuk pengelolaan tender, dan ketika dokumen syarat berubah mendadak, mereka tidak memiliki time buffer untuk penyesuaian. Ketergantungan pada konsultan eksternal yang berbayar mahal justru makin membebani kas kecil dan mendorong perusahaan menarik diri. Keseluruhan dinamika ini berkontribusi besar pada tingginya angka lelang yang gagal karena partisipasi yang terlalu sedikit atau kualitas peserta yang tak memenuhi standar.

Bagian 3: Isu Transparansi dan Praktik Korupsi

Prinsip dasar lelang adalah menjunjung tinggi transparansi. Namun di lapangan, kurangnya keterbukaan informasi sering membuka celah praktik korupsi. Misalnya, dokumen tender yang seharusnya dipublikasikan lengkap di e‑procurement portal hanya diunggah sebagian atau diposting perbaikan di saat-saat terakhir. Hal ini mengurangi akses peserta untuk mempelajari spesifikasi secara menyeluruh, sehingga hanya pihak tertentu yang mendapatkan “keuntungan insider”.

Panitia lelang yang tidak independen juga berpotensi melakukan kecurangan. Mereka dapat menyusun kriteria yang menguntungkan satu perusahaan-baik melalui spesifikasi teknis “khusus merek” maupun bobot evaluasi biaya-teknis yang tidak seimbang. Selain itu, praktik pre‑bid meeting “tertutup” dengan calon pemenang memungkinkan diskusi persyaratan di luar catatan resmi. Akibatnya, peserta lain kehilangan kesempatan klarifikasi yang adil, dan apabila mereka mengajukan sanggahan, prosesnya berlarut-larut sehingga anggaran habis.

Korupsi berkedok gratifikasi juga umum terjadi: penyedia jasa sengaja memberikan “uang pelicin” agar evaluasi harga atau dokumen administrasi diperlakukan lunak. Meski sistem e‑procurement diresmikan untuk mencegah pertemuan fisik dan interaksi langsung, realitasnya tidak semua proses sepenuhnya online. Sesi klarifikasi dan negosiasi harga seringkali diselenggarakan langsung, tanpa pengawasan ketat. Praktik semacam ini membuat peserta lain yang patuh menjalankan aturan merasa terpinggirkan dan akhirnya memilih mundur-lalu lelang dinyatakan gagal karena kurang peserta.

Bagian 4: Spesifikasi Teknis yang Tidak Realistis

Penyusunan spesifikasi teknis yang terlalu ketat atau justru terlalu longgar dapat menghambat kelancaran lelang. Di satu sisi, dokumen tender yang menuntut standar kualifikasi tinggi-misalnya pengalaman minimal 10 proyek berskala besar dalam 3 tahun terakhir-akan meminggirkan perusahaan kecil yang sebenarnya kompeten. Syarat semacam ini acapkali tidak disertai kajian kebutuhan lapangan; lebih didikte oleh anggapan “jika tidak superbesar, cepat rusak”.

Di sisi lain, spesifikasi yang tidak jelas dan terlalu umum juga menimbulkan kebingungan. Contoh: dalam lelang pengadaan peralatan IT, ketentuan “spesifikasi minimal RAM 16 GB” tanpa menyebutkan standar kecepatan atau kompatibilitas modul memicu penawaran komponen murahan. Sesudah penandatanganan kontrak, instansi menyadari perangkat tidak mendukung aplikasi tertentu sehingga proyek tidak bisa dijalankan. Panitia kemudian membatalkan kontrak dan mengulang lelang-prosesnya memakan waktu, anggaran, dan reputasi.

Ketiadaan standar acuan teknis (SAT) yang konsisten di setiap sektor juga memperparah. Misalnya, Kementerian PUPR, Kemenkes, dan Kemendikbud memiliki panduan berbeda untuk spesifikasi material bangunan. Instansi daerah yang hendak membangun sarana publik terpaksa menyesuaikan dua atau tiga panduan sekaligus, sehingga dokumen persyaratan menjadi kontradiktif atau membuat spektrum calon penyedia menjadi sangat sempit. Akibatnya, lelang terpaksa dibatalkan meski ada penawarannya, lantaran tidak ada peserta yang bisa memenuhi keseluruhan kriteria teknis.

Bagian 5: Faktor Eksternal dan Risiko yang Tidak Terantisipasi

Meski regulasi, peserta, transparansi, dan spesifikasi sudah diatur, proyek lelang tetap rentan pada faktor eksternal tak terduga. Fluktuasi harga bahan baku, misalnya, dapat membuat penawaran harga menjadi terlalu tinggi dibanding perkiraan awal panitia. Bila pergeseran harga melebihi ambang toleransi (sering ditetapkan 10-15 %), panitia wajib melakukan evaluasi ulang. Jika evaluasi ulang ini dinilai merugikan negara, proses lelang dibatalkan. Padahal ketidakstabilan pasar global-seperti kenaikan harga minyak atau logistik akibat konflik geopolitik-bukan kesalahan penyedia maupun panitia semata.

Bencana alam, pandemi, ataupun gangguan distribusi logistik juga tidak selalu masuk dalam risiko awal. Saat pandemi COVID‑19, banyak tender pembangunan fisik terhenti karena pembatasan aktivitas, kekurangan tenaga kerja serta SOP kesehatan yang baru. Namun dokumen tender sering kali tidak mencantumkan klausul force majeure secara memadai, sehingga proses negosiasi perpanjangan waktu dan penyesuaian kontrak memicu ketidakcocokan antara pihak-pihak terkait. Jika kesepakatan tak tercapai, lelang batal di tengah jalan.

Kebijakan fiskal dan moneter juga menimbulkan penyesuaian mendadak. Kebijakan pembatasan defisit anggaran atau revisi plafon pinjaman daerah memaksa pemerintah daerah menunda atau membatalkan proyek yang sudah diumumkan lelangnya. Diskresi politik-seperti rotasi pimpinan daerah dan pergantian pejabat-juga kerap berhenti di tengah siklus pengadaan. Kepala daerah baru bisa saja meninjau ulang rencana proyek, memutuskannya perlu perubahan dokumen, dan akhirnya membatalkan lelang untuk menyesuaikan visi misi baru.

Bagian 6: Tantangan Digitalisasi dan Transformasi Sistem

Sejak diluncurkannya Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) oleh LKPP, banyak proses lelang beralih ke platform e‑procurement. Platform ini menawarkan kemudahan akses dokumen, penawaran daring, serta pelaporan real time. Meski demikian, implementasi di lapangan belum seragam. Beberapa daerah masih mengalami gangguan jaringan internet, kurangnya infrastruktur TI, atau SDM panitia yang belum mahir mengoperasikan sistem. Pada sesi pra-kualifikasi, sering ditemui file flood (dokumen tidak terkirim sempurna), timeout akses, atau error pada modul evaluasi otomatis-yang mengharuskan panitia tertatih mengerjakan manual, lalu menunda jadwal.

Kendala lain muncul dari interoperabilitas antar-sistem. Data keuangan dari aplikasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum terintegrasi mulus dengan SPSE, sehingga PPK mengimpor data secara manual. Proses ini meningkatkan risiko human error-angka plafon tidak konsisten, jadwal kontrak meleset, hingga dokumen pemberian e‑monev (electronic monitoring and evaluation) tidak tercatat dengan benar. Apabila kesalahan baru diketahui saat evaluasi akhir, panitia harus membuka kembali portal untuk perbaikan, yang pada prakteknya mempublikasikan jeda waktu dan memicu sanggahan dari peserta.

Transformasi digital juga menuntut perubahan budaya organisasi. Banyak panitia enggan beralih dari mekanisme manual-dokumen kertas, rapat tatap muka, tanda tangan basah-karena merasa “lebih aman” dan familiar. Akibatnya, data sisa anggaran, realisasi kontrak, dan catatan sanggahan tersebar di berbagai file lokal, bukan terpusat di SPSE. Kurangnya commitment untuk memanfaatkan fitur digital end-to-end membuat efisiensi sistem terganggu dan menimbulkan ketidakkonsistenan data, sehingga lelang berulang kali harus dihentikan untuk audit dan sinkronisasi ulang.

Kesimpulan

Kegagalan proyek lelang merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi saling bersarangnya faktor regulasi, birokrasi, kapasitas peserta, transparansi, spesifikasi teknis, risiko eksternal, dan tantangan digitalisasi. Untuk menurunkan angka kegagalan, diperlukan pendekatan multi-dimensi: menyederhanakan regulasi dan memangkas birokrasi yang tidak perlu; meningkatkan kapasitas UKM dan pendampingan teknis; memperkuat sistem pengawasan anti-korupsi sekaligus memperjelas protokol transparansi; menyusun dokumen tender yang realistis dan berbasis kajian kebutuhan lapangan; mengantisipasi risiko eksternal dengan klausul kontrak yang memadai; serta mengakselerasi transformasi digital melalui pelatihan, infrastruktur, dan integrasi data lintas sistem.

Upaya sinergis antara pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha, dan lembaga pengawas wajib dilakukan. Sosialisasi regulasi yang lebih intensif, pelatihan e‑procurement yang berkelanjutan, serta forum diskusi terbuka antara panitia dan penyedia jasa akan menciptakan kultur pengadaan yang lebih sehat. Dengan landasan aturan yang jelas, proses yang efisien, dan partisipasi yang luas, target pengadaan yang akuntabel, tepat mutu, tepat harga, dan tepat waktu akan lebih mudah dicapai. Pada akhirnya, hal ini akan meningkatkan kualitas layanan publik, mempercepat pembangunan infrastruktur, dan memaksimalkan nilai uang negara.