Proses pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu fungsi penting dalam organisasi, baik sektor publik maupun swasta. Pengadaan yang dilakukan secara transparan dan adil dapat mendukung operasional organisasi dan memberikan nilai optimal. Namun, proses pengadaan juga rentan terhadap berbagai bentuk penyelewengan yang merugikan organisasi, menghambat efisiensi, dan mengurangi kepercayaan publik. Berikut adalah 5 bentuk penyelewengan umum dalam proses pengadaan yang perlu diwaspadai:
1. Kolusi dalam Proses Tender
Kolusi adalah bentuk penyelewengan yang melibatkan kesepakatan rahasia antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengadaan. Kolusi bisa terjadi antara pejabat pengadaan dengan vendor, atau antara vendor yang seharusnya bersaing. Tujuannya adalah untuk mengatur hasil tender sehingga hanya pihak tertentu yang diuntungkan.
Contoh kolusi dalam pengadaan:
- Beberapa vendor bekerja sama untuk mengatur harga penawaran agar salah satu dari mereka memenangkan kontrak, sementara yang lainnya memberikan penawaran yang secara sengaja tidak kompetitif.
- Pejabat pengadaan memberikan informasi rahasia kepada vendor favorit, sehingga vendor tersebut dapat mempersiapkan penawaran yang lebih unggul dari pesaing.
Kolusi merusak persaingan yang sehat dan menyebabkan pemborosan anggaran karena kontrak diberikan bukan kepada vendor terbaik, melainkan kepada vendor yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat pengadaan atau yang terlibat dalam persekongkolan.
2. Mark-Up atau Penggelembungan Harga
Mark-up atau penggelembungan harga adalah bentuk penyelewengan di mana harga barang atau jasa yang ditawarkan dalam pengadaan dinaikkan secara tidak wajar dibandingkan dengan harga pasar. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengalihkan keuntungan berlebih kepada pihak tertentu, baik vendor maupun pejabat pengadaan.
Contoh penggelembungan harga:
- Vendor menaikkan harga barang hingga dua kali lipat dari harga pasar dengan persetujuan pejabat pengadaan, di mana keduanya berbagi keuntungan dari selisih harga tersebut.
- Pejabat pengadaan memilih vendor yang menawarkan harga lebih tinggi karena adanya perjanjian kickback, meskipun ada vendor lain yang menawarkan harga lebih murah dengan kualitas yang sama.
Praktik mark-up merugikan organisasi secara finansial dan mengurangi daya saing dalam proses pengadaan.
3. Penunjukan Langsung Tanpa Justifikasi
Penunjukan langsung dapat diterapkan dalam situasi tertentu, seperti keadaan darurat atau untuk kontrak dengan nilai yang relatif kecil. Namun, penyelewengan terjadi ketika penunjukan langsung dilakukan tanpa justifikasi yang jelas, atau ketika proses tender yang seharusnya terbuka diabaikan untuk memberi keuntungan kepada vendor tertentu.
Contoh penunjukan langsung yang menyimpang:
- Pejabat pengadaan menunjuk vendor tertentu tanpa melalui proses tender atau evaluasi yang layak, padahal proyek tersebut layak untuk dilakukan tender terbuka.
- Penunjukan langsung dilakukan dengan alasan yang dibuat-buat, seperti kedaruratan palsu, demi menghindari persaingan dan memastikan vendor favorit mendapatkan kontrak.
Penunjukan langsung tanpa justifikasi dapat merusak kepercayaan publik terhadap organisasi, mengurangi transparansi, dan membuka peluang korupsi.
4. Manipulasi Spesifikasi
Manipulasi spesifikasi terjadi ketika pejabat pengadaan menyusun spesifikasi teknis atau persyaratan tender dengan cara yang sengaja menguntungkan satu vendor tertentu. Hal ini dilakukan untuk mengecualikan pesaing lain dan memastikan bahwa hanya satu vendor yang memenuhi persyaratan.
Contoh manipulasi spesifikasi:
- Spesifikasi teknis barang disusun sedemikian rupa sehingga hanya produk dari vendor tertentu yang bisa memenuhinya, meskipun ada produk lain dengan kualitas dan harga yang lebih baik.
- Pejabat pengadaan menambahkan persyaratan yang sangat spesifik atau berlebihan, seperti sertifikasi yang hanya dimiliki oleh satu perusahaan, untuk membatasi peserta tender.
Manipulasi spesifikasi mengurangi keadilan dalam proses pengadaan dan menghambat organisasi mendapatkan barang atau jasa dengan nilai terbaik.
5. Pembayaran untuk Pekerjaan yang Tidak Dilakukan
Pembayaran fiktif adalah bentuk penyelewengan serius di mana organisasi membayar vendor untuk barang atau jasa yang tidak pernah diterima atau pekerjaan yang tidak pernah dilakukan. Praktik ini sering kali melibatkan pejabat pengadaan yang berkolusi dengan vendor untuk memalsukan dokumen atau laporan pekerjaan.
Contoh pembayaran fiktif:
- Pejabat pengadaan menyetujui pembayaran penuh kepada vendor meskipun proyek belum selesai, atau bahkan belum dimulai.
- Vendor menerima pembayaran untuk barang yang seharusnya dikirimkan, tetapi barang tersebut tidak pernah sampai ke organisasi, dan pejabat pengadaan tidak memverifikasi penerimaannya.
Pembayaran untuk pekerjaan yang tidak dilakukan menyebabkan kerugian langsung bagi organisasi dan sering kali merupakan bagian dari skema penipuan yang lebih besar.
Penutup
Penyelewengan dalam pengadaan merupakan ancaman serius terhadap transparansi, efisiensi, dan keadilan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Praktik-praktik seperti kolusi, mark-up, penunjukan langsung tanpa justifikasi, manipulasi spesifikasi, dan pembayaran fiktif adalah beberapa bentuk penyelewengan yang sering terjadi. Untuk mencegah hal ini, organisasi perlu menerapkan kebijakan pengadaan yang ketat, melibatkan audit internal, serta membangun budaya integritas di semua tingkatan.
Dengan mengenali tanda-tanda awal penyelewengan dan memahami bentuk-bentuk umum praktik tidak etis dalam pengadaan, organisasi dapat lebih waspada dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat untuk menjaga integritas proses pengadaan.